Share

Namaku Ares

“Aku ngga sengaja mampir.”

“Apa? Kamu sering mampir ke sini?”

Si Pria tidak sempat menjawab pertanyaan Yuna. Dia menoleh dengan cepat ke arah Ponco yang bangkit menyerangnya. Si pria lansung menyambut Ponco dengan tendakan telak di bagian leher. Membuat laki-laki yang telah tertembak di bagian kaki itu seketika terkapar dan pingsan. Sementara Parlin, terus memohon agar jangan dihajar, si Pria mengampuni dan dia berlari dengan kaki terpincang-pincang ke luar ruangan. 

Yuna lansung melompat turun dari meja dan histeris melihat keadaan Bakti. Dia bersimpuh di lantai di sebelah tubuh Bakti yang bersimbah darah dan lemah. 

“Ayah … ayah.” Yuna mengguncang tubuh Bakti. Ayahnya masih sadar dan sanggup membuka mata. “Ayah, bertahanlah.” 

Tangis Yuna pecah lagi melihat kondisi ayahnya yang sekarat. Sementara tangan Bakti terangkat lemah ke atas, ingin menyentuh pipi Yuna yang lebam. Suaranya lirih dan parau mengucapkan kata maaf.

“A-aku memang pecundang, Yuna. Maafkan ayah.”

“Kamu memang pecundang, ayah. Tapi bagaimana pun juga, kamu tetap ayahku.” 

Si Pria asing pun ikut berlutut di lantai di sebelah Yuna. Dia memeriksa luka Bakti dan membebatnya dengan sweater Yuna yang ia temukan di lantai. Kemudian, pria itu melihat ke arah Yuna dengan tatapan segan. 

“Yuna, pasang dulu kemejanya baik-baik. Biar aku saja yang membantu ayahmu.”

Yuna melihat ke arah dadanya yang masih terbuka, ia baru tersadar dan lansung merasa malu, kemeja itu hanya terpasang serampangan di tubuhnya tanpa terkancing. Cepat-cepat memutar badan, Yuna merapikan kemeja. 

“Bisa jalan, Pak?” si Pria asing memapah tubuh lemah Bakti untuk berdiri.

Bakti mengangguk lemah, wajahnya sudah pucat sempurna. 

“Yuna, kita harus cepat pergi dari sini sebelum yang lain datang.”

Yuna mengangguk dan setuju untuk cepat-cepat pergi. Dia juga menyempatkan diri untuk meraih amplop berisikan uang yang ada di meja sebelum keluar. 

Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Yuna melirik ke arah Ponco sebentar. Wajah gadis itu menatap dengan penuh dendam. Saking emosi, dia menendang rahang laki-laki yang sedang pingsan itu. 

“Ayo, cepat!” Si Pria sudah di pintu, geleng-geleng kepala melihat tindakan Yuna. 

Mereka bertiga keluar gedung tanpa hambatan, menyusuri Lorong-lorong lengang dan melewati pintu belakang. Orang-orang terlalu sibuk di gedung itu, sehingga tak tahu apa yang telah terjadi. Termasuk anak buah Ponco yang sedang bersenang-senang di lantai dasar. Rata-rata, mereka tidak tahu apa yang terjadi pada bosnya, setidaknya untuk sementara waktu sampai Parlin menyampaikan kabar berita pada mereka semua. 

Mobil sedan hitam terparkir di sudut gelap belakang gedung, si Pria mengajak Yuna dan ayahnya ke sana. Bakti ditempatkan di bangku belakang ditemani Yuna. Mobil melesat cepat meninggalkan lokasi. 

“Kita bawa ayahmu ke rumah sakit terdekat.”

Yuna mengangguk, si Pria berkendara dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Yuna tak berhenti memarahi ayahnya. 

“Semoga ayah tobat setelah ini. Apa yang ayah lakukan itu berbahaya dan nyaris membunuh kita berdua. Mereka itu orang-orang jahat, ayah, mereka bukan manusia.”

Tak peduli pada ayahnya yang sedang kesakitan, Yuna terus saja meracau. Namun Bakti sangat memaklumi reaksi putrinya itu.

“Maafkan aku, Yuna. Aku sudah terjebak dalam ketololanku sendiri.”

“Ayah sudah ribuan kali meminta maaf tapi tetap saja melakukannya.” Yuna bersedekap tangan ke dada, dia melihat ke depan. Tatapannya bertemu dengan si Pria yang ternyata mencuri-curi pandang padanya lewat spion kabin mobil. 

“Apakah istrimu tahu? Kalau kamu disekap Ponco?” tanya Yuna lagi.

“Tidak, Ratna tidak tahu. Dia pasti berpikir aku sedang ada kerjaan,” jawab Bakti terbata. 

“Seharusnya ayah bantu dia di warteg saja, bukannya bermain judi di tempat Ponco dan berhutang banyak pada psikopat itu. Memangnya Ayah mau ditinggal istri lagi karena perangai ayah?”

Ratna, istri ke sekian Bakti. ibu tiri ketiga untuk Yuna.  Semenjak ibu kandung Yuna meninggal 10 tahun yang lalu, hidup Bakti memang hancur berantakan. Dia seperti laki-laki yang tidak bersemangat untuk hidup. Terkadang, dengan semangat hidup yang lemah, Bakti sering menjalani hidupnya dengan serampangan, banyak dari istrinya yang tidak tahan dan meminta cerai. 

Pria berusia 50 tahunan itu melirik si Pria yang ada di bangku kemudi. Dia pun penasaran dengan sosok yang telah menyelamatkannya itu. 

 “Yuna, siapa pria yang bersamamu ini? Apakah dia pacarmu?” tanya Bakti pada Yuna, bukan bertanya lansung pada si Pria.

“Sejujurnya aku juga tidak kenal sama dia, ayah. Meski dia orang asing, tapi dia bisa melindungiku, tidak seperti ayah yang suka menempatkan aku dalam bahaya.”  Ternyata sisa-sisa kekesalan belum sepenuhnya hilang dari hati Yuna. Dia masih saja jutek pada ayahnya sendiri. 

Si pria yang sedang mengemudi terkekeh pelan mendengar ucapan Yuna yang sedari tadi menceramahi Bakti, dia tidak mau ikut campur dan diam saja di depan. Namun sangat tertarik dengan topik pembicaraan dua ayah dan anak itu.

“Siapa pun kamu, anak muda, saya ucapkan terima kasih karena sudah menyelamatkan putriku.”

“Tidak masalah, Pak,” jawab si Pria santai.

Mobil mereka berhenti di depan ruang IGD rumah sakit, Yuna menyerahkan ayahnya pada perawat yang bertugas, sementara si Pria tidak ikut masuk. Yuna mengurus semua pendaftaran pengobatan. Beruntung, uang yang seharusnya dibayarkan ke Ponco masih di tangan. Jumlahnya cukup untuk membayar biaya pengobatan ayahnya. Setelah mengurus pendaftaran pasien, dan Bakti mendapatkan perawatan, Yuna kembali keluar ruang IGD, matanya menyusuri sepanjang parkiran, berharap si Pria belum pergi. Ternyata benar, dia masih di parkiran. Bersandar santai ke kap mobil depannya. Yuna lansung menghampiri.

“Terima kasih. Mungkin kamu bosan mendengar kata terima kasih dariku. Tapi, memang itulah kenyataannya, aku benar-benar sangat berterima kasih. Aku ngga tau, kenapa aku begitu sial hari ini. Andai ngga ada kamu, entah seperti apa nasibku.”

“Sama-sama, ngga apa-apa, aku juga heran, kenapa dalam 24 jam ini, aku ketemu terus sama kamu.” Si Pria tersenyum tipis, membuat wajah yang selalu tanpa ekspresi itu berubah manis. 

“Oh, ya, memangnya kamu sering mampir ke gedung itu? Ngapain? Sepertinya bukan kelas kamu.”

“Engga sih, sebenarnya. Aku ke sana nyariin kamu. Tadi, aku balik lagi ke kostmu, tapi, aku malah lihat kamu pergi lagi dan aku ikuti. Ternyata kamu ke gedung itu. Aku kembali, karena mau minta jasku.”

“Oh, sorry, aku tidak membawanya.”

“Tidak apa-apa. Lain waktu saja, yang jelas, kamu jangan pernah mencucinya. Gantung di tempat aman. Lain waktu aku jemput.”

“Pasti jasnya mahal, yah.”

“Bukan, bukan karena itu.” Senyum tipis dan manis itu tersungging lagi. Membuat mata Yuna tak jemu memandangnya. 

“Oh ya. Terima kasih sekali lagi,” kata Yuna yang salah tingkah karena terlalu terpaku memandangi. 

“Masuklah, ayahmu pasti memerlukanmu. Temani dia. Aku pamit dulu, yah. Sampai jumpa.”

Yuna mengangguk, dia berbalik badan meninggalkan si Pria setelah mengulangi lagi kata terima kasih dan pamit pergi. Baru saja beberapa langkah, suara si Pria menghentikannya. 

“Namaku Ares,” teriak si Pria. Yuna memutar badan. Terkejut mendengar si Pria misterius itu akhirnya mengenalkan namanya. Gadis itu pun tergelak, mencetak lesung pipi di pipi kirinya. 

“Ares, nama yang bagus. Seperti nama dewa perang,” balas Yuna yang juga berbicara sedikit berteriak karena posisi mereka lumayan berjarak.  

Ares tergelak, bukan tersenyum tipis lagi. Garis bibirnya tertarik lebar, menambah pesona pada wajahnya yang rupawan. 

“Okey, salam kenal Ares. Semoga kita bertemu lagi, tapi dalam keadaan yang baik, bukan dalam kondisi seperti sebelum-sebelumnya.”

Ares mengangkat jempol tanda setuju. Yuna membalasnya dengan lambaian tangan. Akhirnya mereka berpisah di parkiran. Ares pergi dengan mobilnya, sementara Yuna harus kembali ke IGD. 

Setelah keduanya benar-benar berpisah, ada debaran asing yang tiba-tiba mengusik hati keduanya. Tak hanya Yuna, tapi Ares juga. Pria itu diserang debaran aneh yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status