Share

Hilang Sabar

Jam lima pagi, Ratna, Ibu tiri Yuna, tergopoh-gopoh memasuki ruangan IGD tempat Bakti dirawat. Tangannya penuh dengan belanjaan sayur dan lauk untuk dagangan warteg. Wanita 40-tahunan itu sedang berbelanja di pasar subuh tadi saat Yuna mengabari tentang keadaan Bakti.

“Oalah, Bang. Ini kamu kenapa? Kok bisa babak belur begini? Memangnya beberapa hari ini kamu kemana?”

Ratna lansung memburu Bakti dengan ribuan tanya. Wanita itu meletakkan kantong-kantong belanjaan lauk dan sayurnya di atas ranjang rumah sakit yang bersprei putih bersih.

“A-ku, aku ….” Bakti terbata menjawab pertanyaan Ratna. Dia tidak berani jujur. Laki-laki itu melirik ke arah Yuna, berharap putrinya mau membantunya untuk menjelaskan. Ratna juga ikut melirik ke arah Yuna yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang dengan wajah penuh tanda tanya.

“Kenapa bapakmu, Yun?”

“Ayah dihajar Ponco karena ngga bisa bayar hutang.” Yuna menjawab singkat dan jujur. Sudah tak perlu lagi berbohong pada Ratna. Mata Ratna membelalak lebar melihat ke arah suaminya saking terkejut mendengar jawaban Yuna.

“Kamu masih main ke situ? Astaga Bang, katanya sudah tobat. Kamu benar-benar ngga bisa dipercaya.” Ratna malah meradang, tak peduli pada keadaan suaminya yang sedang sakit.

“Iya, maaf, Rat. Aku khilaf.” Bakti mengucap maaf dengan ogah-ogahan pada istrinya. Tanda tak terlalu serius dengan kata maafnya itu.

“Maaf-maaf. Gitu aja terus!” Ratna berkacak pinggang, tidak ada raut khawatir di wajahnya pada Bakti.

“Maafin Ayahku, Mba. Katanya abis ini dia mau tobat, kok. Aku jamin ngga diulang lagi. Udah mau mati gitu, pasti dia kapok.”

Yuna ikut angkat suara. Dia tidak nyaman dengan sikap ibu tirinya yang tidak menghargai ayahnya sedikit pun. Terlepas ayahnya seorang yang menyebalkan, Yuna tak suka jika ayahnya direndahkan.

“Mati gimana? Cuma kena tonjok gini, kok.” Ratna memegang wajah Bakti dan memutarnya ke kanan dan ke kiri. Menurutnya, luka Bakti tidak parah.

“Pinggangku tertusuk,” terang Bakti.

“Apa? Pinggangmu tertusuk?” Ratna ingin melihat luka Bakti di bagian pinggang belakang sebelah kiri. Laki-laki itu memiringkan tubuh sedikit untuk memperlihatkan pada Ratna.

“Terus gimana? Ginjalmu ngga bocor, kan?” Bukannya kasihan, Ratna malah berkata seperti itu.

“Engga, mba, ngga sampai bocor.” Yuna menimpali dengan ketus karena Ibu tirinya tidak menunjukkan empati sedikit pun..

“Syukurlah. Soalnya, kalau dia nakal lagi dan berhutang. Itu ginjal bisa dijual buat bayar.”

Ratna berkata seenaknya, Yuna semakin tidak nyaman berada satu ruangan dengan Ibu tirinya. Dia melirik jam, sudah jam tujuh pagi. Gadis itu punya alasan untuk pergi dari sana.

“Astaga, Mba! Aku balik dulu. Aku mau pergi kerja.” Yuna bangkit tergesa dari kursi dan menggamit tas.

“Ayah, aku pamit dulu. Mau kerja. Nanti malam ke sini lagi.” Yuna pamit pada Bakti dan melempar senyum malas pada Ratna.

“Kamu masih kerja di situ?” tanya Bakti dengan nada suara kasian. Dia tahu, kerja sebagai penagih hutang adalah pekerjaan yang beresiko untuk anaknya.

“Ya masihlah, yah. Mau kerja di mana lagi?” Yuna menjawab getir. Dia melirik Ratna lagi.

“Yun, mampirlah ke warteg, lumayan bisa bungkus-bungkus sisa-sisa lauk jualanku buat dibawa ke kost.” Basa-basi busuk Ratna membuat Yuna menghela napas dalam. “Iya, makasih,” jawabnya malas. Yuna melangkah keluar, ketika di ambang pintu, langkahnya terhenti lagi ulah suara Ratna.

“Yun! Bayar rumah sakit siapa?” tanya Ratna. Yuna memutar bola matanya dan kemudian membalik badan.

“Mba ngga usah khawatir, aku sudah bayar penuh. Siang ini ayah akan dipindah ke ruang rawat kelas tiga. Tolong dibantu urus.”

“Oh! Baguslah. Selamat tabungan aku.”

Yuna melangkah pergi dengan geleng-geleng kepala melihat tabiat Ratna yang perhitungan dan pelitnya minta ampun. Tapi Yuna tidak boleh membenci perempuan itu. Setidaknya, ayahnya memiliki pendamping hidup dan tidak kesepian dengan menjadi suami Ratna, janda yang dinikahi ayahnya sembilan bulan yang lalu.

Dengan menaiki ojek, Yuna tiba di kost-an. Gadis itu membersihkan badan dan bersiap berangkat kerja. Setelah mandi, badan Yuna bertambah ringan, kantuk yang mendera semakin menyerang. Gadis itu keliyengan.

Masih dalam balutan dalaman two pieces selesai mandi, Yuna mempersiapkan dirinya. Gadis itu bercermin, memakai foundation lebih tebal dari biasanya untuk menutup bekas memar yang ada di pipi dan di sudut bibir. Diliriknya jam di dinding, sudah pukul setengah sembilan, dia punya waktu setengah jam untuk tiba di kantor.

Sebelum berangkat, gadis itu menyeduh kopi hitam ke dalam termos botol minum. Dia meneguk kopinya sepanjang perjalanan menuju kantor saat di atas ojek.

Di pintu ruangan operator, ruang kerja Yuna sebagai debt collector, seseorang menyambutnya dengan wajah cemas. Dia adalah Mega, teman kantornya.

“Yun, lu jadi gantiin Sisi? Hotelnya kebakar, lho. Lu ngga kenapa-kenapa ‘kan? Viral lho videonya di tiktok.”

Mega lansung mengeluarkan ponsel, memperlihatkan rekaman Video kebakaran lantai 25 hotel Magenta. Alis Yuna tertaut, mendadak dia merasa tegang. Ternyata kejadian semalam viral.

“Hmmm … aku ngga jadi kerja di sana.”

“Masa’ sih? Ada video yang nayangin orang yang mirip kamu, lho.” Mega makin antusias mengobrak-abrik video yang tersimpan di ponselnya.

“Wajahku?” tanya Yuna heran.

“Iya, rekaman CCTV. Kamu lagi lari-larian sama cowok ganteng di parkiran.”

“Mana videonya?”

Mega memperlihatkan pada Yuna. Sebuah video di lokasi parkiran. Ada dua orang berlari menuju mobil. Satu pria mengenakan jas dan satu perempuan mengendakan dress mini merah dengan bando telinga kelinci.

“Ngga, itu bukan aku.” Yuna berkilah. Dia tidak ingin ketahuan berada di sana. Itu akan merepotkan, karena siapa pun yang ada di sana, pasti akan dihubungi polisi untuk diminta keterangan dan diminta menjadi saksi. Yuna sudah sangat jengah dengan urusan hidupnya, dia tidak mau ribet.

“Masuk, yuk!” Yuna mengajak Mega masuk ruangan. Mega mengikuti langkahnya dengan jidat yang masih berkerut. Teman satu kerja Yuna itu masih mengamati video yang ada di ponsel dan bergumam-gumam tak yakin, “Mirip si Yuna, kok.”

Seperti hari-hari sebelumnya, Yuna memulai pekerjaan. Duduk di depan layar computer, mengenakan headset dan menelepon satu per satu para penunggak pinjol. Kantuk yang menyerang dan tidak tidur sama sekali, membuat kesabaran Yuna menguap ke udara. Mood-nya berantakan, emosinya tidak stabil apalagi menghadapi para penunggak yang kasar.

“Saya cuma nanya, kapan Pak Mamat bisa bayar?” Yuna menekan nada suaranya agar tak tinggi untuk menahan sabar.

[Gue kagak punya uang, g0bl0k!]

Penunggak hutang bernama Mamat menghardik Yuna dari seberang telepon.

“Tapi akan dibayarkan ‘kan, pak? Kapan? Biar kami catat.” Yuna masih sabar.

[Punya telinga ngga sih, Lu? Gue ngga akan bayar! Mau apa lu?]

“Idih! Gini amat manusia miskin. Makan duit hutang aja yang bisa, bayarnya ngga mau!” Yuna lepas kendali. Kesabarannya sudah benar-benar habis.

[“Eh, kurang aja lu, yah! Berani ngatain gue miskin.”]

Mamat semakin meradang.

[“Emang lu miskin!”] Yuna menghardik. Suaranya menyeruak keras memekakkan seisi ruangan operator yang berisi enam orang.

[“Mau cari mati nih, cewek. Siapa nama lu tadi? Gue cari lu sampai dapat! Belum tahu lu sama si Mamat Boncet!”]

“Heh! Mamat. Ngga usah ngancam! Gue ngga takut. Datang aja kalau berani!” Yuna tidak mau kalah dan semakin garang.

[“Nantangin lu, yah. Okeh, gue cari lu! Awas lu!”]

“Elu yang awas!” Yuna menggebrak meja. Telepon terputus. Kini, enam pasang mata melihat ke arah Yuna dengan jidat berkerut dan heran. Yuna tidak pernah sekasar ini sebelumnya pada pelanggan yang menunggak bayaran. Bahkan, selama ini dialah yang paling sabar. Hari ini, Yuna berbeda.

“Sorry ya, Guys. Kesel gue,” ucap Yuna tak enak hati.

“Yang tabah ya, Yun. Orang memang gitu kalau ditagih hutang, galaknya ngalahin macan.” Mega yang duduk di hadapan Yuna menenangkan.

“Mau nyerah, tapi gue terlalu miskin untuk ngga kerja,” kata Yuna getir. Gadis itu melepas headset dari kepala. Menopang dagu dengan kantuk yang semakin keras menyerang.

Susah payah, Yuna melanjutkan pekerjaannya hari itu. Menelepon puluhan nomor dengan mood yang sangat berantakan. Waktu berlalu terasa lambat, Yuna semakin didera rasa kantuk yang hebat. Tiba-tiba, sebuah suara besar dan kasar mengagetkan seisi ruangan operator. Semua mata tertuju ke pintu, termasuk Yuna.

“Siapa di sini yang bernama Yuna Mahardika?”

Seorang pria berbadan besar, kepala pelontos, berwajah sangar penuh codet, memakai rompi hitam tanpa lengan, di pangkal lengannya ada tattoo bergambar jangkar seperti tattoo popeye, berdiri berkacak pinggang menanyai siapa di ruangan ini yang bernama Yuna Mahardika. Perhatian semua orang di ruangan beralih pada Yuna. Darah Yuna mendesir dengan hebat. Jantungnya berdegup kencang memukul-mukul dada.

“A-a-pa-kah dia Pak Mamat Boncet?” gumam Yuna dalam hati dengan nyali yang teramat ciut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status