Share

Sang Dewa Penolong

“Bang, ngga ada syarat lain, bang? Saya ngga bisa mengerjakan pekerjaan seperti itu.” Yuna gusar. Sebenarnya dia tahu, apa pun bentuk penolakan yang ia sampaikan akan terbantahkan. Ponco tidak bisa didebat. 

“Kenapa ngga bisa? Belum pengalaman?” Ponco membalas dengan kekehan genit. Dia berdiri dari kursi, berpindah tempat. Laki-laki itu duduk di pinggir meja tepat di hadapan Yuna. Ponco mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya kini hanya berjarak 5-sentimeter saja dari wajah Yuna. 

“Atau mau abang ajarkan dulu?” 

Jemari Ponco membelai dagu Yuna. Yuna menepis kasar, emosinya tersulut karena diperlakukan seperti itu. Sepertinya Ponco tidak menyukai penolakan.

“Eh, ngga sopan Dek Yuna ini. Mau nolak saya, yah?” 

Ponco berubah beringas. Dia yang tadi duduk, kini berdiri, kemudian mencengkeram tubuh mungil Yuna. Gadis itu dibekap dari depan kemudian dibaringkan di meja. Ponco menindih Yuna seperti kesurupan serigala yang dikuasai nafsu, berperilaku liar dan lepas kendali. 

“Bang, lepaskan, Bang!” Yuna berontak. Sementara Ponco semakin liar mempreteli gadis itu, mencabik setiap helai kain yang membalut tubuh. 

Yuna tak mau pasrah. Apa yang dilakukan Ponco sudah melewati batas. Gadis itu meraba-raba meja, mencari-cari sesuatu untuk dijadikan senjata. Tangan Yuna merasakan benda keras dan padat, asbak keramik milik Ponco seukuran mangkok sup besar. Asbak itu digenggam dan Yuna melayangkannya dengan keras, tepat menghantam pelipis Ponco sebelah kiri. Asbak keramik pecah berderai, menyisakan luka menganga dengan darah yang mengucur dari pelipis laki-laki kejam itu.

“Bang-s4t!” 

Ponco brutal membalas serangan Yuna. Kali ini bukan endusan dan rab4-an, melainkan pukulan dan tamparan bertubi pada wajah gadis yang malang itu. Yuna mengaduh, mengerang meminta ampun, namun Ponco semakin hilang kendali. Dia terus menghajar Yuna sampai babak belur.

Tangan laki-laki itu berhenti memukul ketika mendengar suara pintu yang dibuka. Ponco melihat siapa yang datang. Parlin anak buahnya, dia datang membawa Bakti, ayah Yuna masuk ke ruangan. Wajah Bakti sudah kuyu kusut dan penuh lebam, tangannya terikat tali. Baju yang ia kenakan sudah kotor dan tercabik. Entah apa yang telah dilakukan Ponco pada tawanannya itu.

“Yuna?!” Bakti terpekik. Matanya sontak melebar melihat putrinya tergelatak di atas meja dengan wajah babak belur dengan tubuh yang sudah separuh tel4n-jang.

“Anakmu kurang ajar! Lihat ini!” Ponco menghardik Bakti sambil menunjuk darah yang menetes di pelipis. 

“Apa yang terjadi di sini?” Bakti menatap Ponco dengan tatapan ngeri. “Kau apakan dia?” Bakti bertanya dengan suara yang takut-takut dan lemah. Ponco hanya menyeringai karena tahu, Yuna dan Bakti sama-sama tidak berdaya untuk melawannya.

“Ayah, keluar aku dari sini.” Yuna merintih parau, meminta perlindungan pada ayahnya. Bakti hanya bisa menunduk kemudian ambruk berlutut ke lantai. Dia terisak. Tangisnya pecah karena tahu tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk melindungi Yuna. 

“Sekarang, saksikan oleh mata dan kepalamu sendiri, aku akan memangsa anak gadismu! Biar bisa menjadi pelajaran untuk kalian!” 

Ponco kembali kesetanan. Dia kembali melanjutkan aksinya. Aksi gila yang bia-d4b. Dia akan mengg4-gahi Yuna tepat di hadapan ayahnya sendiri. 

“Jangan, jangan lakukan itu. Urusanmu cuma sama aku, jangan libatkan putriku!” Bakti memohon, tapi Ponco tak acuh dan semakin bernafsu mewujudkan fantasi liar di kepalanya.

Ponco menindih Yuna yang masih berada di atas meja, dia mengulang kembali apa yang telah dilakukannya tadi. Mengendus, mera-b4 dan menikmati tubuh gadis itu. Yuna meronta, namun tak kuasa melawan. Dia hanya bisa melolong kesakitan tanpa ada yang bisa menyelamatkan. 

Bakti hanya berlutut pasrah di lantai dan menundukkan kepala. Dia menulikan telinga pada teriakan Yuna yang mengiris hati. Sampai akirnya, nyali nekad pun melintas di kepalanya. Bakti bangkit berdiri. Dengan tangan yang masih terikat, dia nekad menyerang Ponco. Mendorong pria yang menindih putrinya itu sampai terjatuh ke bawah meja. 

Tapi sebenarnya, hanya serangan ini yang mampu Bakti lakukan. Parlin yang berdiri di belakang lansung mengejar. Tanpa ampun menusuk pinggang Bakti dengan belati. Pria malang itu seketika ambruk ke lantai dan mengerang kesakitan.

“Ayah!” Yuna histeris melihat ayahnya tumbang dengan pisau yang tertancam di pinggang.

“Kalian bia-d4b!” Yuna mengumpat di sela tangisnya. Tubuh gadis malang itu gemetaran, tangannya bersedekap melindungi dada yang terbuka setelah hoody burgundy-nya dibuka paksa.

Ponco dan Parlin memang bukan manusia. Mereka malah menendang kepala Bakti yang sudah terkapar lemah menunggu ajal di lantai. Menghajar laki-laki itu tanpa nurani. Tapi setidaknya, pengorbanan sang ayah tak sia-sia. Yuna bisa terbebas sejenak dari bulan-bulanan Ponco.

Saat keduanya semakin brutal menghajar Bakti, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka lebar. Seorang pria berkemeja biru tua berdiri di sana. Dia mengokang senjata. Tanpa basa-basi, membidik paha Ponco dan Parlin. Kemudian melepaskan timah panas dari pistol kedap suaranya. 

“Baji-ng4n! Si-siapa kau?” Ponco mengerang di tengah kesakitan. Bukannya menjawab, si pria misterius malah menembaknya lagi di bagian betis. Ponco benar-benar tumbang. Dia berguling dan mengerang menahan kesakitan. Sementara Parlin, cepat-cepat mengangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah agar tidak mendapatkan tembakan selanjutnya. 

“A-am-pun, Bang.” Parlin memohon dan gentar. Wajahnya meringis menahan sakit karena pahanya telah berlubang. 

Si Pria berjalan mendekat ke arah Yuna. Menyimpan pistolnya, membuka kemeja. Kini tersisa hanya kaos ketat tanpa lengan yang mencetak otot-otot kekar pria itu. Mata Yuna nanar melihat kedatangannya. 

“Jasku sudah keberikan padamu, sekarang aku cuma punya kemeja,” ucap si Pria misterius sambil menyelimuti tubuh Yuna dengan kemeja. Dia membantu Yuna bangkit dari posisi telentang. Gadis itu duduk dan lansung menghambur ke pelukan si Pria yang sudah dua kali menyelamatkan dirinya dari jeratan maut. 

“Terima kasih, Mas. Terima kasih.” Yuna merintih, dia menangis, melepas ketegangan yang menggelayut hati. Si pria membiarkan Yuna memeluk tubuhnya sampai gadis itu puas. Setelah ketegangan hati Yuna mereda, dia melepas pelukan. 

“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Yuna seraya menatap lekat manik cokelat dewa penolongnya itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status