Share

BAB 2 Ujian Rumah Tangga?

"Mas, tenang dulu. Aku akan jelaskan apa yang terjadi. Tapi nggak diluar kaya gini. Ayo kita masuk ke dalam dulu," ucapku dengan tenang saat mendengar Mas Rendi memanggil namaku lirih.

"Jangan mau percaya sama istri kamu, Ren. Kamu itu udah diperdaya sama dia. Sama Ibu aja udah berani ngelawan. Pasti dia juga akan ngelawan kamu. Sekarang aja udah berani masukin laki-laki ke dalam rumah disaat kamu gak ada. Udah jelas dia wanita gak bener. Gak heran kalau dia jadi susah untuk hamil. Tuhan lebih tau kalau istri kamu belum pantas jadi seorang Ibu." 

Ucapan Ibu Mertuaku yang sengaja mengompori Mas Rendi, sudah sangat keterlaluan. Apalagi saat itu ada orang asing yang mendengar hinaan yang ditujukan untukku. Dan kesalnya, pria asing itu terus diam saja. Menyimak tanpa sedikitpun ingin membantu menjelaskan kesalahpahaman.

"Bu, mending Ibu diam dulu. Jangan memperunyam masalah ini. Ini hanya kesalahpahaman yang harus aku luruskan saja."

"Haduh, lagu lama. Alasan klasik orang yang ketauan selingkuh itu, ya gitu, 'salah paham'. Nih denger ya, Tiana. Dari awal Ibu gak setuju Rendi nikah sama kamu. Masih lebih baik mantan istri Rendi. Firasat Ibu emang gak pernah salah, kalau Rendi ternyata malah nikahin wanita gak bener. Emang bener kata orang-orang, kalau nikahin wanita mantan sekretaris itu, begini resikonya. Kegatelan!"

Aku mengepalkan kedua tanganku dengan keras seiring hinaan dan cacian dari Ibu Mertuaku yang semakin tidak berperasaan saja.

Adanya Mas Rendi sebagai suami pun, sama sekali tidak berguna untukku. Aku tetap terhinakan dan itu sangat memalukan, apalagi dihadapan orang asing. Bahkan beberapa tetangga dekat terlihat mulai keluar dari rumah mereka karena suara Ibu yang cukup nyaring saat lontaran demi lontaran kata-kata tidak pantas itu untukku terucap.

"Bu, cukup!"

"Bener-bener istri yang gak tau malu. Abis selingkuh, malah bentak Ibu. Lihat, Ren! Ini akibat kamu selalu memanjakan istri kamu. Jadinya kurang ajar, udah salah bukannya minta maaf malah cari alasan."

Ya Tuhan, kalau saja aku sudah merasa habis kesabaran, mungkin aku sudah merobek mulut Mertuaku. 

Aku? Kejam seperti monster? Tapi Ibu Mertuaku lah yang sudah membentukku menjadi monster yang selalu berpikir untuk bisa menghancurkannya. Hebat sekali mentalku dibuat hancur, selalu dipermalukan seakan aku beban dan sesuatu yang membuat malu nama baik keluarga.

"Mas! Ayo masuk ke dalam dulu!" 

Aku langsung saja menarik tangan suamiku untuk masuk ke dalam rumah. Setidaknya agar Ibu mertuaku juga masuk, sehingga aku memiliki kesempatan untuk menceritakan semuanya.

Dan sialnya, sampai disaat aku masuk ke dalam rumah pun, pria yang mengantarkanku pulang hingga terjadi kesalahpahaman sama sekali tidak berniat untuk membantuku menjelaskan duduk perkaranya. Seolah dia malah menikmati tuduhan perselingkuhan itu memang terjadi.

Ketika kami bertiga sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rendi dan Ibu masih diam saja. Dan tentunya akulah yang akan memulai pembicaraan.

"Mas tadi itu ---"

Aku pun bercerita semuanya, dari awal sampai akhir. Tidak ada yang aku kurangi dan tidak ada yang aku tambahkan. Semua kejadian yang benar terjadi aku ceritakan semua di depan suami dan juga Ibu Mertuaku.

"Anak SMP juga bisa kalau cuma mengarang cerita seperti itu. Ibu udah hafal sekali tabiat menantu macam istri kamu, Ren. Makin hari makin berani saja," ucap Ibu mertua yang tentu saja tengah memberikan pengaruh buruknya pada suamiku.

Mas Rendi menghela napas panjang. "Masuk ke kamar! Mas mau antar Ibu pulang dulu. Baru kita bicarakan berdua."

"Mas, Ibu kan bisa pulang sendiri. Cuma di kompleks sebelah aja."

"Nurut sama Mas! Ayo, Bu. Aku antar Ibu pulang dulu."

Setelah suami dan Ibu mertuaku pergi, aku benar-benar kehabisan kata-kata, kehabisan tenaga pula untuk membela diriku. Tidak ada tanggapan apa-apa dari Mas Rendi dari awal sampai tadi sekalipun. Datar begitu saja.

Salahkah aku sebagai seorang istri yang hanya ingin dibela di depan mertuaku?

Aku bukan meminta Mas Rendi menjadi anak durhaka, tetapi setidaknya aku ingin Mas Rendi menunjukkan bela dia terhadap istrinya yang selalu tertindas oleh Ibunya sendiri. Karena aku yakin, Mas Rendi juga merasa jika sikap Ibu padaku selalu saja keterlaluan dan menyakitkan hati.

Tak lama kemudian, Mas Rendi pulang.

"Sayang mau istirahat sekarang?" tanya Mas Rendi yang membuatku merasa tidak habis pikir.

Padahal perkara tadi saja, belum bisa dikatakan tuntas bagiku. Hatiku masih sangat sakit dengan tuduhan Ibu, tetapi Mas Rendi bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.

"Mas? Serius kamu tanya itu? Kamu gak mau bahas lagi masalah tadi?" tanyaku sambil berdiri.

"Mas percaya, kok. Kamu bukan wanita seperti yang dituduhkan oleh Ibu."

"Terus kenapa Mas diam saja tadi? Harusnya Mas belain aku di depan Ibu, bukan diam saja dan malah nyuruh Ibu pulang."

"Udahlah, sayang. Gak perlu dibesar-besarkan. Mas juga yakin Ibu nggak bermaksud nuduh kamu yang nggak-nggak. Wajar saja reaksi Ibu kaya tadi, karena syok aja ada pria asing keluar dari rumah kita," ucap suamiku yang malah membela dan mewajarkan apa yang Ibu perbuat padaku.

"Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, Mas. Kamu dari tadi diam saja nggak ngebela aku sama sekali. Padahal pas kita lagi berdua seperti ini, kamu percaya sama aku. Kenapa sih, Mas? Kenapa kamu selalu kaya gini? Kenapa kamu begitu takut sama Ibu dan selalu ngorbanin perasaan aku? Padahal aku sudah ngalah, kamu selalu antar Ibu ke mana-mana walaupun kamu pulang kerja sore. Sedangkan aku? Aku belanja ke supermarket saja sendirian, nelepon kamu berkali-kali pun kamu nggak ada respon. Dan ujung-ujungnya seperti ini? Kamu emang pria baik, anak yang penurut sama orang tua, penyayang Ibu, tapi kamu keterlaluan dan jahat sama istri kamu sendiri!"

Tak terasa aku menumpahkan air mataku yang sudah tidak terbendung lagi. Aku terlalu banyak membatin saat bersama suamiku yang tidak pernah ada untukku. Baik waktu dan juga perhatiannya.

Selalu saja Ibunya yang menjadi nomor satu. Bukan aku tak suka mendapatkan suami yang sayang keluarganya, tetapi ini sangat tidak adil. 

Apa gunanya suami kalau sudah begini? Kebutuhan batinku tak pernah terpenuhi, kebutuhan lahirku pun dibatasi karena suamiku menafkahi Ibunya pula setelah Ayah Mertuaku meninggal. Sabar macam mana lagi yang harus aku lakukan?

"Sayang, memang apa bedanya? Lebih penting Mas percaya sama kamu, apapun yang kamu lakukan. Dari pada Mas curiga tetapi pura-pura membela kamu. Itu tidak baik. Yang terpenting Mas sayang sama kamu," ucap Mas Rendi sambil mengecup keningku.

Hah .... Kadang lelah sama diri sendiri, mudah marah, mudah tersinggung, tetapi juga mudah untuk diluluhkan. Tidak perlu sebuah rayuan, tidak perlu gombalan, hanya sebatas pelukan dan kecupan saja hatiku sudah meleleh. Mas Rendi memang selalu memenangkan hatiku.

Walau bagaimanapun, memang aku sangat mencintai suamiku. Dia yang tidak pernah marah dari awal menikah sampai sekarang. 

Mungkin memang benar, tidak ada rumah tangga yang benar-benar sempurna. Pasti akan ada kekurangan sebagai ujiannya.

"Mas ...." Aku menatap penuh arti pada suamiku.

"Jangan sekarang ya, sayang."

"Kenapa lagi?"

"Mas sudah pesankan tiket nonton bioskop besok. Udah lama kita gak nonton. Mau?"

Mas Rendi lagi-lagi menolak ajakanku. Entah kapan terakhir kali kami bercinta. Aku sudah merindukannya, tapi seolah hal itu adalah hal yang sulit diberikan oleh Mas Rendi setahun terakhir ini.

Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk berangkat ke bioskop. Aku keluar dari kamar sebelah yang kujadikan sebagai walk in closet sebelum kami mempunyai keturunan.

"Loh, Mas kok belum siap-siap?"

"Maaf, sayang. Ibu ---"

"Oke cukup, Mas. Aku pergi sendiri saja."

Tanpa berlama-lama aku segera pergi dari rumah. Aku bahkan tidak bertanya alasan apalagi yang membuat Mas Rendi akan menghabiskan waktu akhir pekannya bersama Ibunya, lagi dan lagi dibanding denganku.

Aku membatin, hanya berharap film yang aku pilih banyak pula yang menontonnya. Lalu aku berpapasan dengan seorang pria yang baru keluar dari toilet, dan tak sengaja aku menyenggolnya.

"Maaf," ucapku sambil menundukkan kepalaku.

Dan pria itu berlalu begitu saja.

'Wangi ini?' batinku yang sembari mengingat aroma yang rasanya tidak asing. Dan aku yakin ini berasal dari pria yang berpapasan denganku. 

Kini, aku pun sudah masuk ke dalam teater. Aku memilih kursi di row E, tidak terlalu atas juga tidak terlalu bawah. Aku memang memilih view yang bagus saat melihat filmnya.

Dan ternyata baru ada satu orang saja di sana. Satu row denganku hanya saja selisih dua kursi kosong yang memisahkan kami berdua. Aku tidak bisa begitu jelas melihat wajahnya, karena dia memakai topi hitam juga terus menunduk sambil memainkan poselnya. Namun yang jelas pria itu adalah pria yang tak sengaja aku senggol saat di depan toilet tadi. Aku masih sangat hafal pakaian yang ia kenakan, serba hitam hari ujung kepala sampai ujung kaki.

Aroma mint pun kembali menyeruak masuk ke dalam rongga penciumanku. Membuatku terus berpikir, jika wangi itu memang tidak asing. Hanya aku tidak bisa mengingatnya.

Setelah iklan yang kurang lebih hampir setengah jam, lampu teater dimatikan pertanda film akan segera diputar. Dan mataku masih saja tertuju pada arah pintu masuk, sama sekali tidak ada yang datang lagi, sehingga hanya aku dan pria itu di dalam teater.

Aku mencoba bersikap tenang, toh aku tahu di dalam teater ada CCTV, dan aku akan aman-aman saja.

Selama film berlangsung, rasa takut karena aku seorang diri malah hilang, tergantikan dengan rasa takut alur film yang sedang aku tonton.

'Ah, horor macam apa ini?! Aku lebih baik nonton hantu daripada pembunuhan sadis kaya gini,' batinku sambil menutup wajah dengan tangan.

Durasi film yang aku tonton, sekitar dua jam. Dan baru saja setengah jalan, tetapi sudah menegangkan dari awal. Sampai aku tidak menyadari jika pria yang tadinya selisih dua kursi dariku, kini tepat ada di sampingku.

"Boleh aku duduk disampingmu?" bisik pria itu membuatku terkejut dan merinding tak karuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status