Share

BAB 4 Bertemu Mantan Istri Suamiku

Dua bulan berlalu setelah kejadian di bioskop waktu itu, aku belum bertemu dengan Ibu Mertuaku lagi. Karena dia masih saja marah dan menganggap bahwa aku mengenyampingkan kepentingan keluarga hanya demi kesenangan sendiri.

Salahku memang yang tidak bertanya pada Mas Rendi mengapa ia membatalkan rencana kita keluar, sebab aku yang sudah terlanjur kecewa selalu menjadi nomor dua.

Wajarkah jika aku cemburu terhadap Ibu mertuaku sendiri? Mau bagaimana lagi, aku memang merasa dinomorduakan. Dan disisi lain, Mas Rendi sendiri yang selalu bersikap abu-abu.

"Mas pulang," ucap Mas Rendi yang langsung menyadarkan lamunanku.

"Oh iya, Mas. Mas udah makan di rumah Ibu, kan? Soalnya aku gak masak lagi hari ini." Aku langsung berdiri menghampiri suamiku untuk membawa tas kerjanya seperti yang biasa aku lakukan.

"Iya, Mas udah makan. Kamu udah makan juga?"

"Udah," ucapku yang langsung segera berpaling.

Jujur saja aku masih tidak sanggup jika harus bertatapan lama dengan suamiku. Perasaan bersalah yang aku rasakan akan semakin memuncak saja rasanya. Dan seolah hal itu mendorongku untuk berkata jujur tetapi logikaku selalu bilang, tidak! Rahasia itu harus aku simpan sampai mati!

Saat aku hendak ke kamar, Mas Rendi menahan lenganku. Dan hal itu malah membuat aku kembali mengingat pria asing yang dua bulan ini memenuhi otakku. Sehingga aku selalu merasa tidak sanggup berhadapan dan bertatapan dengan Mas Rendi.

"Sayang, duduk dulu. Mas mau bicara."

Mas Rendi menuntunku untuk duduk di sofa.

"Mas gak tau kamu kenapa akhir-akhir ini --"

Obrolan pembuka dari Mas Rendi benar-benar membuatku takut. Pikiranku sudah tidak karuan, aku takut jika Mas Rendi menyadari perubahan sikapku dan berpikiran yang tidak-tidak.

"Kenapa, Mas? Aku gak apa-apa, lho."

"Kamu coba temui Ibu dan minta maaf, kalian berdua itu wanita yang penting dihidup Mas. Mas gak enak kalau kalian saling diam. Jadi, karena kamu masih muda, tolong kamu yang maklumin Ibu. Turunkan ego kamu sedikit, dan minta maaflah."

Rupanya aku sudah salah mengira. "Apa sih, Mas? Memang aku salah apa? Yang ngediemin aku kan Ibu sendiri. Padahal aku udah jelasin kenapa gak bisa bantu-bantu acara peringatan meninggalnya Ayah."

Aku yang tadinya merasa takut dan gugup karena kesalahanku, malah dibuat emosi dengan Mas Rendi yang memintaku untuk minta maaf pada Ibu.

"Sayang ---"

"Sudahlah, Mas." Aku langsung masuk ke dalam kamar.

***

Beberapa bulan kemudian ....

"Mas, kok uang bulanan makin kecil aja. Aku sampai pakai uang tabungan pendidikan anak kita lho, Mas. Karena uang yang Mas kasih itu kurang," keluhku yang sudah tak bisa lagi aku tahan-tahan.

Uang dari Mas Rendi setiap bulannya semakin membuat dompet menjerit saja karena tidak pernah bertahan lama. Bukan karena boros, tetapi karena memang sedikit yang aku terima.

"Pakai dulu yang ada, sayang. Mau gimana lagi. Mas juga masih berusaha supaya ekonomi kita kaya dulu. Masih untung Mas nggak di PHK juga," jawab Mas Rendi membuatku kembali merasa iba karena merasa membebaninya. Namun aku juga tak tahu harus mengeluh pada siapa kalau bukan pada Suamiku sendiri.

"Ya udah. Sekarang Mas harus anter aku ke supermarket, setiap hari Jum'at selalu ada diskonan sampai 50 persen. Lumayan kalau buat perlengkapan mandi sama kebutuhan dapur," ajakku pada Mas Rendi dengan niat hati menghemat uang yang biasa aku pakai buat naik taksi online karena belanjaan juga cukup banyak.

"Nggak bisa, sayang. Mas mau antar Ibu ke toko bangunan. Rumah Ibu kan banyak yang bocor dan perlu direnovasi. Apalagi sekarang musim hujan, kasihan. Jadi sekarang mau pesan dulu bahan materialnya biar ikut pengiriman besok. Soalnya besok toko tutup jadi nggak bisa pesan," jawab Mas Rendi membuat hatiku remuk hancur.

Aku mengangguk sambil tersenyum miris. Ya, miris. Miris pada diriku sendiri. Seorang istri yang seolah terbuang.

"Jadi uang bulanan buat aku makin dikit, karena uangnya buat renovasi rumah Ibu?" tanyaku masih baik-baik tapi penuh dengan emosi di dalamnya

Mas Rendi menganggukkan kepalanya lemah.

"Oh ya udah, silahkan, Mas. Aku bisa sendiri, kok. Masih sore ini."

Aku pun langsung keluar dari rumah setelah berganti pakaian. Tak perlu pamit karena memang Mas Rendi sudah berangkat ke rumah Ibunya.

Setelah selesai berbelanja di supermarket biasa, belanjaanku pun tak begitu banyak, hanya satu kantung besar saja. Rasanya malas sekali jika harus langsung pulang, karena Mas Rendi sudah dipastikan belum pulang kalau langit belum berubah menjadi gelap. Di rumah sendirian membuatku merasa kesepian. Aku sampai lupa terkahir kali disentuh oleh Mas Rendi itu kapan. Lucu memang rumah tanggaku ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk makan di mall supermarket itu saja. Biar sejenak aku melupakan permasalahan rumah tanggaku yang selalu itu-itu saja, mertua dan sekarang masalah uang.

Disaat aku tengah makan, aku melihat seorang wanita yang tidak asing diingatanku. Ya, Mbak Dyan, mantan istri Suamiku.

Tadinya aku ingin berpura-pura tidak melihatnya, hanya saja Mbak Dyan sudah melihatku terlebih dahulu dan bahkan sekarang dia berjalan ke arahku.

"Tiana, istri Mas Rendi, kan?" 

Aku tersenyum dan mengangguk. "Mbak Dyan. Apa kabar, Mbak?" tanyaku basa-basi.

"Baik. Boleh aku duduk?"

"Silakan, Mbak. Mbak bukannya di Surabaya, ya?"

"Aku udah pindah, ikut calon suami. Gimana kabar Mas Rendi? Kalian baik-baik aja, kan?"

Aku berpikir sejenak untuk mencari jawaban, rasanya tidak mungkin jika aku menceritakan semua masalah keluargaku pada mantan istri Suamiku sendiri. Apalagi aku tidak tahu alasan mereka berdua mengapa bisa bercerai. Ditambah Ibu Mertuaku yang selalu membandingkan aku dengan Mbak Dyan.

"Baik, Mbak."

"Ah, syukurlah kalau mereka udah tobat. Setidaknya kamu gak ngerasain penderitaan aku pas masih rumah tangga sama Mas Rendi yang masih disetir sama Ibunya. Belum lagi masalah-masalah lainnya," ucap Mbak Dyan tanpa aku bertanya.

Namun dengan Mbak Dyan berkata demikian, aku berpikir mungkinkah perpisahan diantara mereka karena semua hal yang sedang aku alami juga?

Tiba-tiba ponsel Mbak Dyan berbunyi bahkan sebelum aku memberikan responku terhadap apa yang dikatakan Mbak Dyan. 

"Ah sorry, Tiana. Aku harus segera pulang. Tapi sebelumnya aku cuman mau bilang, jangan dipaksakan kalau kamu sudah gak kuat menanggungnya. Pernikahan itu harus membawa kebahagiaan bukan malah penderitaan. Sakit secara fisik mungkin masih bisa diobati, tapi kalau sudah menyangkut masalah mental? Trauma taruhannya. Sayangi masa depan kamu," ucap Mbak Dyan, ia tersenyum dan pergi berlalu.

Aku tidak mampu mengucapkan salam perpisahan sebelum Mbak Dyan pergi, karena aku terlalu tenggelam dalam ucapan dia yang seolah tengah membuka mataku, yang sengaja aku tutup hanya demi mempertahankan rumah tangga bersama Mas Rendi.

Sejenak aku berpikir, apakah aku terlalu pemaaf atau sebenarnya aku terlalu naif? 

Diantara banyaknya masalah yang bisa aku jadikan alasan untuk perpisahan, aku lebih memilih bertahan hanya demi satu alasan. 

Hah ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status