Share

BAB 3 Pria Asing

Aku masih belum berani untuk menoleh. Saking parnonya karena film, aku malah sempat berpikir jika pria disampingku bukanlah manusia.

"Tenang saja aku bukan pria jahat."

Aku masih merasa aman karena adanya kamera tersembunyi di dalam teater. Sehingga aku kembali fokus saja pada film dilayar.

"Kamu datang sendiri?" bisik pria itu lagi.

Aku mengangguk saja, berharap ia tidak terus-menerus bertanya hal yang tidak penting.

"Mengapa sendiri?" 

Lagi!

Aku menoleh dengan niat ingin menegurnya agar tidak terus mengajakku berbicara. "Ma---" 

Aku malah diam membeku karena kini aku berhadapan dengannya dengan jarak yang cukup dekat, dekat, sangat dekat. Sontak aku langsung menjauhkan wajahku karena terkejut sekaligus takut.

"Sudah aku bilang, aku bukanlah orang jahat. Aku hanya ingin mengobrol saja."

"Aku sudah punya suami!"

"Memangnya kenapa? Apa ada aturannya kalau sudah bersuami tidak boleh mengobrol dengan orang lain?"

"Aku sedang fokus pada film!"

"Baiklah."

Setelahnya, aku pikir akan berhenti sampai disitu. Ternyata tidak, karena tiba-tiba saja tanganku dipegang.

"Mas, apa-apan, sih?" Aku menepis tangan pria itu. 

"Benarkah kamu sudah bersuami? Mengapa tidak datang dengan suamimu?"

"Pertanyaan Anda sungguh tidak sopan, Mas!"

"Padahal niatku sangat baik, aku tidak bisa tega saat melihat seorang wanita duduk sendiri apalagi di bioskop. Apa kamu ada masalah dengan suamimu?" tanya pria itu yang tidak menggubris perasaanku yang sudah tidak nyaman dekat dengannya.

"Kalau Mas berbicara seperti itu pada wanita-wanita muda yang masih lajang, mungkin tidak masalah. Masalahnya saya sudah katakan kalau saya sudah menikah, jangan menggoda saya!"

"Menggoda?" Pria itu tampak tersenyum penuh arti.

Beberapa waktu berlalu, pria yang ada di sampingku tak lagi menggangguku lagi. Entah mengapa aku malah penasaran, aku melihat dengan ekor mata. Dan benar saja perasaan tak enak yang aku rasa karena pria itu terus melihat ke arahku alih-alih melihat layar besar di depan.

"Mas, tolong jangan buat saya tidak nyaman. Saya hanya ingin nonton film ini dengan tenang. Saya sudah bayar dua tiket, jadi saya tidak ingin rugi!"

Pria itu tersenyum, dengan tetap tak mengalihkan pandangannya. "Apa saya bilang tadi, tidak mungkin kamu datang sendiri. Jadi, suamimu tidak bisa datang karena pekerjaan atau ternyata ada wanita lain?"

Ah, sial! Kenapa aku harus keceplosan segala.

"Bukan urusan Anda!"

"Biar aku tebak, sepertinya bukan karena pekerjaan, tapi karena wanita lain. Benar? Dan wanita ketiga ini bukanlah wanita penggoda suami orang melainkan Ibu mertua kamu."

Mendengar kebenaran yang dikatakan pria itu, aku yang tadinya tidak ingin lagi memperpanjang urusan karena tidak penting, kini malah merasa penasaran mengapa dia bisa tahu. Atau mungkin hanya asal berucap saja?

Namun kasus yang sedang aku alami ini, bukanlah hal yang bisa dengan mudah ditebak oleh orang lain tanpa aku bercerita sendiri.

"Kenapa menatapku seperti itu? Apa yang aku katakan memang benar?"

"Ck!"

Akupun menganggap bahwa hal itu hanya sebuah kebetulan saja.

"Jika suamimu sayang padamu, dia akan memprioritaskan dirimu. Dan kalau Ibu mertuamu menghargaimu, dia akan mengerti jika anak laki-lakinya sudah bukan sepenuhnya milik dia lagi. Tidak ada laki-laki yang benar-benar sibuk dalam urusan pribadinya, hanya mungkin beda prioritas saja. Dari situ harusnya kamu tau, ada di nomor berapa urutan prioritas kamu sebagai seorang istri."

Meski aku tidak menoleh sama sekali, tapi semua yang diucapkan oleh pria itu, jelas terdengar olehku. Bahkan aku mengerti betul maksud dari apa yang dia katakan.

Aku yang sudah tiga tahun lebih, menjadi Ibu rumah tangga yang tidak banyak bergaul dengan orang lain, yang otomatis aku tidak punya tempat untuk berbagi, tiba-tiba merasakan hal lain. Hal yang selama ini aku butuhkan, yaitu tempat berbagi keluh kesah atas apa yang aku rasakan. Terutama sakit hati karena Ibu Mertuaku, juga kekesalanku pada suami yang tidak pernah ada dipihakku, dan pada kebodohanku yang selalu menganggap peristiwa yang terjadi menjadi sebagai angin yang akan segera berlalu.

"Terima kasih sebelumnya, tapi kamu tidak harus mengurusi rumah tangga orang lain."

"Terima kasih? Apakah itu artinya kamu membenarkan tebakanku?"

Aku meliriknya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apa-apa lagi.

"Kamu tau one night stand?"

"Jangan macam-macam ya, Mas!" 

Karena aku sudah benar-benar merasa tidak nyaman, akhirnya aku bangkit untuk keluar dari teater walaupun film belum selesai. Tidak lagi kupikirkan sayangnya uang yang sudah keluar percuma untuk dua orang, ditambah aku yang bahkan tidak begitu menikmati film yang disuguhkan sampai akhir cerita.

Namun dengan cepat tanganku ditahan oleh pria itu. "Memang kamu sekuat apa? Bisa bertahan dihubungan yang tidak membuat kamu bahagia? Jika alasanmu bertahan hanya karena tidak ingin sendiri disaat tidak punya keluarga lagi, sebaiknya berpisahlah."

Aku memicingkan mataku, mencoba menatap lekat pria yang ada dihadapanku yang bahkan aku belum melihat dengan jelas seperti apa rupanya karena masih tertutup sebagian dengan topi.

"Kamu tidak tau apa-apa! Yang kamu katakan semua hanyalah opini saja. Itu semua omong kosong!"

Aku langsung bangun dan berniat untuk segera pergi. Namun tiba-tiba saja tangan kekar itu kembali menarik tanganku hingga aku berhadapan dengan dia. Dengan posisi seperti itu, aku merasa itulah kesempatanku untuk melihat siapakah pria yang seolah tahu kehidupan rumah tanggaku.

Cup!!

Sebuah kecupan mendarat tepat dibibirku.

"Jika kamu penasaran siapa aku, datanglah padaku. Akan aku pastikan kebahagiaanmu," ucap pria itu dengan pelan tanpa mengizinkan wajahnya terlihat olehku.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanyaku yang sudah kehilangan kesabaran karena rasa penasaran. 

Aku mengangkat satu tanganku mencoba untuk membuka topi yang menutupi sebagian wajahnya, ditambah dengan pencahayaan di dalam teater yang sangat minim sehingga tidak terlihat jelas.

Namun, pria itu menahan tanganku. Dan sebelah tangannya menarik tubuhku masuk ke dalam pelukan. "Datanglah padaku. Aku akan ungkapkan siapa diriku."

Aku mencoba memberontak, tetapi tubuh kekarnya tidak bisa aku kalahkan. Dia terlalu dominan.

"Jangan macam-macam!" ucapku menggeram sambil memukul-mukul dadanya.

Dan pria itu malah mendekatkan wajahnya, membuat wajahku terdorong tetapi keadaan itu malah membuat tubuhku semakin masuk dalam kungkungan badan kekarnya.

Pada akhirnya pria itu bisa meraih bibirku dan kami berciuman walau aku merasa terpaksa, tetapi paksaan dan penolakan dariku seolah berjalan seirama. Hingga tak sadar, aku semakin melemah, menyerah dan pasrah. Sesuatu yang sudah lama tidak aku dapatkan dari Suamiku, malah aku merasakan sensasi lain bersama pria asing.

Beberapa menit berlalu, alam bawah sadarku mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Aku membuka mata lalu mendorong pria yang lengah dan tak lagi memelukku dengan erat.

Tanpa berlama-lama, aku segera berlari keluar. Rasa penasaran terhadap siapa sosok pria itu tergantikan dengan rasa bersalah saat aku teringat Suamiku di rumah.

Sesampainya di rumah, perasaan bersalah malah semakin menyelimutiku. Aku tidak mungkin menceritakan semuanya, tetapi aku juga tidak ingin membohongi Suamiku sendiri atas kesalahan yang sudah aku perbuat.

"Kamu baru pulang, sayang?"

Tiba-tiba saja aku mendengar suara Mas Rendi saat hendak membuka pintu rumah.

"Ah, Mas! Ngagetin aja. Iya aku baru pulang. Ka--kamu sendiri baru pulang dari rumah Ibu?" 

"Iya, soalnya tadi dibantu tetangga juga. Jadi pekerjaannya cepet selesai."

"Memangnya ada acara apa sih, Mas?" tanyaku yang memang tidak tahu karena tadi aku langsung berangkat begitu saja saking kesalnya.

"Peringatan meninggalnya Ayah. Makanya aku gak bisa nolak tadi."

"Astaga aku sampai lupa, Mas. Pasti Ibu marah sama aku karena gak bantu-bantu tadi."

"Nggak, Mas udah jelasin sama Ibu."

"Bohong. Mana mungkin Mas ada dipihak aku kalau di depan Ibu."

"Loh kok kamu gitu sama Mas? Mending kita masuk terus kamu ceritain gimana tadi di bioskop," pinta Mas Rendi sembari membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.

Aku malah dibuat bingung dengan perasaan bersalah yang semakin menjadi-jadi.

'Apa kali ini aku benar-benar bisa dikatakan berselingkuh setelah apa yang terjadi di bioskop tadi?' batinku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status