Share

BAB 5 Wajah yang Tak Asing

Beberapa hari setelah bertemu dengan Mbak Dian, aku merasa penasaran tentang cerita masa lalu suamiku, yang padahal dari awal pertemuan kami, aku tidak bertanya apapun terkait mantan istrinya.

Bukan cerita indah yang membuatku merasa penasaran, melainkan cerita yang sepertinya tidak jauh berbeda dari apa yang sedang aku alami sekarang di rumah tanggaku bersama Mas Rendi.

"Mas, ini kopinya," ucapku sambil menaruh kopi panas yang sudah aku buat untuk Suamiku setelah makan malam bersama tadi.

"Iya, terima kasih, Sayang."

"Mas, boleh aku tanya sesuatu?"

"Iya boleh, tanya saja. Kenapa harus tanya gitu dulu? Biasanya langsung nanya."

"Simpan dulu dong HP-nya," protesku.

"Iya apa?"

"Aku ketemu sama mantan istri Mas. Dan kami ngobrol sebentar. Terus ada hal yang membuat aku kepikiran. Kalau boleh tau, kalian berdua berpisah karena apa?"

Brak!!

Aku terkejut bukan kepalang, reaksi dari Mas Rendi sama sekali diluar ekspektasiku. Ini adalah kali pertamanya Mas Rendi terlihat marah.

"Mas?!"

"Mas paling nggak suka diungkit soal masa lalu. Emang apa pentingnya sampai kamu harus tau alasan perceraian Mas sama mantan istri Mas?"

"A--aku cuman mau tau aja, Mas. Kenapa Mas marah banget kaya gini? Kalau Mas nggak mau jawab juga tinggal bilang baik-baik, aku bakalan mengerti."

"Sudahlah!!"

Mas Rendi langsung keluar dari rumah bahkan kopi yang baru aku buatkan tidak ia sentuh sama sekali.

Satu bulan berlalu setelah kejadian itu, Mas Rendi sudah mulai kembali hangat padaku. Cukup lama ia mengabaikanku dan akupun mencoba untuk terus meminta maaf dan akhirnya Mas Rendi luluh meski rasa penasaranku belum terbayarkan.

Setelah selesai memasak, aku langsung mandi dan bersantai sambil menunggu Mas Rendi pulang.

Tring!

Aku mengerutkan kening, sudah jam pulang tetapi Mas Rendi malah meneleponku alih-alih muncul batang hidungnya.

"Hallo, Mas? Kamu pulang sekarang atau lembur?"

"Aku lagi di rumah sakit."

"Apa?" Aku terkejut dan panik karena takut terjadi sesuatu pada suamiku. "Mas kenapa?"

"Mas nggak apa-apa. Ibu kecelakaan, kamu ke sini, ya."

Tanpa berlama-lama aku langsung ke rumah sakit.

Rupanya Ibu mertuaku mengalami kecelakaan tunggal. 

"Jadi bagaimana kondisi Ibu saya, Dok?" tanya Mas Rendi saat dokter sudah keluar dari ruangan.

Kami berdua menyimak apa yang dijelaskan oleh Dokter dengan sangat rinci, mengenai kondisi, tindakan yang harus dilakukan, pengobatan serta biaya yang harus dikeluarkan. Tak lupa juga dengan rekomendasi rumah sakit yang memang menjadi rujukan untuk pengobatan Ibu Mertuaku.

Keesokan harinya, aku sudah menyiapkan segala keperluan untuk keberangkatan Mas Rendi dan Ibu ke Singapura. Sejujurnya aku merasa tidak setuju jika pengobatan Ibu sampai harus keluar negeri, padahal Dokter merekomendasikan beberapa rumah sakit terbaik di Indonesia, tetapi aku tidak berani untuk mengatakannya. Aku masih sadar akan situasi dan tidak ingin memancing keributan.

Ibu Mertuaku harus menjalani operasi dan pemulihan di Singapura selama satu pekan. Itu berarti Mas Rendi mengambil cuti kerja selama itu pula.

Tak berhenti sampai disitu, pasca operasi pun harus tetap melakukan terapi jalan selama 10 bulan. Tentu saja uang yang dikeluarkan tidak sedikit. Uang tabungan untuk pendidikan anak, sudah ludes. Bahkan Mas Rendi harus menjual rumah kami berdua, sehingga kini aku tinggal bersama di rumah Ibu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi sampai mencegah Mas Rendi menjual rumah demi pengobatan Ibu, sebab jika bukan Mas Rendi yang bertanggung jawab, siapa lagi? Aku hanya bisa membantu menjaga Ibu dikala Mas Rendi bekerja.

"Bawa apa itu, Mas?" tanyaku pada Mas Rendi yang baru pulang.

"Ini buah-buahan untuk Ibu. Tolong kamu kupasin, ya."

Semakin hari keuangan kami berdua semakin pas-pasan saja. Bahkan aku sudah tidak bisa lagi menyisihkan uang untuk aku tabung.

Kupingku juga rasanya sudah makin kebal saja dengan semua omongan Ibu yang pastinya masih membuatku sakit hati. Entah masalah keturunan apalagi masalah keuangan.

"Mas, kayanya aku mau kerja lagi."

"Kerja lagi? Kenapa?"

"Mas tanya kenapa? Apa aku perlu jelaskan?"

"Maafkan, Mas. Tapi kamu sendiri tau kan kalau Ibu butuh diutamakan sebelum kamu? Ibu perlu terapi untuk pemulihannya. Belum lagi --"

"Maka dari itu, aku mau nyoba nyari kerjaan. Aku nggak mau nambah beban buat kamu. Udah dua bulan ini aku sama sekali nggak megang uang."

"Tapi, nanti yang jaga Ibu siapa, sayang?"

"Jangan khawatirkan soal Ibu."

Tiba-tiba saja terdengar suara Ibu Mertuaku keluar dari rumah dengan kursi rodanya. Meski dengan keadaan yang belum sehat total, juga dengan bicara yang masih terbata, tetapi kebenciannya padaku masih sangat membara dimatanya.

"Ada Bu Ningsih, tetangga Ibu yang bisa jagain Ibu sampai kamu pulang, Nak. Izinkan saja istri kamu buat cari kerjaan lagi. Biar dia juga merasakan lelahnya cari uang kalau sudah berumah tangga. Biar bisa bersyukur. Lagian di rumah juga dia gak pernah bener-bener ngurus Ibu!"

"Iya, Bu. Udah Ibu ke dalam lagi, ya. Udara malam nggak baik untuk Ibu. Sayang, soal keinginan kamu Mas setuju. Kalau kamu mau bekerja, Mas dukung sepenuhnya. Mas ke dalam dulu, kasihan Ibu."

Sudah dua Minggu berlalu, aku masih menunggu panggilan dari beberapa perusahaan yang aku lamar. Hanya saja belum ada kabar.

Sampai akhirnya, karena aku bosan di rumah. Ibu Mertuaku juga sudah ada yang jaga, aku mau jalan-jalan sore ke taman komplek. Aku melewati rumahku yang sudah di jual dan kini masih kosong. Ingin rasanya kembali tinggal di sana.

Saat aku memperhatikan rumah lamaku, aku melihat ada sesuatu yang menarik tertempel di kaca rumah. Aku mendekat, ternyata sebuah selebaran.

"Hah? Lowongan pekerjaan?"

Aku cukup merasa senang melihat selebaran itu, entah bagaimana bisa aku yang sedang membutuhkan banyak informasi lowongan pekerjaan, tiba-tiba menemukan yang aku butuhkan.

Aku membaca selebaran itu, rupanya lowongan untuk seorang sekretaris yang sudah berpengalaman. Membaca sampai disitu saja aku merasa sudah ada peluang besar. Namun, terkadang aku selalu merasa tidak percaya diri sebab statusku yang sudah menikah.

Lalu aku membacanya lagi sampai tuntas, status pernikahan tidak menjadi hambatan. Karena yang diutamakan adalah pengalaman.

Tanpa pikir panjang, aku membawa selebaran itu dan pulang. Aku sama sekali tidak menghiraukan Ibu Mertuaku dan langsung masuk ke kamar untuk menyiapkan lamaran, sebab walk interview dilaksanakan sampai esok hari.

Esok harinya aku berangkat dengan begitu bersemangat. Tadinya aku ingin diantarkan oleh Mas Rendi, hanya saja bertepatan dengan jadwal kontrol Ibu yang tentunya Mas Rendi akan lebih mementingkan Ibu.

Perusahaan yang akan aku lamar cukup besar. Sempat merasa kurang percaya diri tetapi aku sangat ingin kembali bekerja.

"Mbak, permisi. Saya mau ngelamar pekerjaan. Di selebaran yang saya lihat, hari ini ada walk interview," ucapku bertanya pada resepsionis.

"Ditunggu sebentar, Mbak."

Resepsionis itu langsung menelepon yang entah siapa akupun tidak tahu. Akhirnya aku dipersilahkan naik ke lantai 30 untuk menemui kepala HRD.

Setelah berjalan mencari ruangan, akhirnya akupun menemukan ruangan kepala HRD itu. Anehnya, tanpa banyak berbasa-basi, aku langsung di ajak untuk ke lantai paling atas di gedung ini. Katanya yang akan mewawancaraiku adalah CEO-nya sendiri.

Jelas saja aku merasa keringat dingin. Meski sempat berpikir aneh, tetapi HRD itu menjelaskan jika CEO di perusahaan itu cukup selektif dalam mencari sekretaris, jadi harus ia sendirilah yang menyeleksinya.

Tokk, tokk, tokk ....

Kami berdua masuk ke ruangan yang cukup luas, malah sangat luas bagiku yang dulu bekerja di perusahaan kelas menengah.

"Pak, ini saya bawakan pelamar. Saya tinggal, permisi."

Lalu, aku ditinggal begitu saja di ruangan bersama CEO yang belum aku lihat jelas wajahnya sebab ia tengah melihat ke arah luar.

Saat berbalik, wajah itu tampak tidak asing untukku. Dan dia tersenyum seolah memang mengenalku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puspita Adi Pratiwi
yg membayar belanjaanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status