Share

BAB 6 Tak Tersentuh

"Lho? Kamu bukannya --?"

Aku langsung teringat jika pria yang ada di hadapanku itu ternyata pria yang membantuku membayarkan belanjaanku tempo hari. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Mungkin memang sudah takdirnya aku bertemu lagi dengan dia, hanya saja aku kembali merasa dongkol sebab dia yang sudah menimbulkan kesalahpahaman tetapi dia juga tidak berusaha membantuku untuk meluruskan.

Pria dihadapan aku langsung tersenyum seolah dia juga masih mengingat wajahku.

"Wanita di supermarket?"

"Jadi, kamu CEO di perusahaan ini?"

"Benar, selamat datang di perusahaanku. Kamu berniat untuk melamar pekerjaan di sini, kan? Biarkan saya melihat CV-mu terlebih dahulu," pinta pria itu yang ternyata bernama Anggara saat aku melihat name tag di meja kerjanya.

Sebenarnya aku masih merasa marah padanya, kalau saja aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku sudah mengurungkan diri untuk bekerja di sana.

Dia membaca CV-ku, sementara aku duduk di kursi yang ada di hadapannya. Besar sekali harapanku untuk bisa diterima bekerja, sebab dari banyaknya lowongan pekerjaan, hanya di perusahaan inilah yang tidak mempedulikan status pernikahan juga tidak ada batasan umur. Cukup dengan pengalaman juga pendidikan yang aku sendiri lumayan percaya diri dengan background pendidikanku juga pekerjaanku dulu.

"Apa kamu ingin sekali bekerja di sini?" tanya Anggara setelah selesai melihat CV-ku. Sesuai dengan apa yang ada di jadwal memang hari ini langsung interview.

"Benar, Pak."

"Apa kelebihanmu yang bisa saya pertimbangkan untuk bekerja di sini?"

"Saya memiliki pengalaman bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan yang sudah cukup maju. Saya sudah terbiasa meng-handle pekerjaan sekretaris yang memang sudah menjadi job desk saya dulu," jawabku dengan percaya diri.

"Di CV tertera bahwa kamu sudah sudah menikah? Lalu, bagaimana cara kamu membagi waktu antara pekerjaan dan tugas kamu sebagai seorang istri?"

"Saya bisa membagi waktu saya dengan baik, saya juga akan bekerja dengan profesional tanpa mencampuradukkan masalah rumah dan juga pekerjaan saya nanti."

"Itu memang sudah seharusnya. Kalau begitu, besok kamu sudah mulai bekerja dalam masa training selama 3 bulan."

Aku mengerutkan keningku, bukan apa-apa. Hanya saja aku merasa mengapa wawancara yang kulakukan begitu mudah dan cepat. Aku tidak perlu melalui berbagai tes dan besok sudah mulai masuk bekerja. Aku sampai bertanya dalam hatiku sendiri, 'Sehebat itukah aku? Aku bisa diterima dengan mudah di perusahaan besar dengan pengalaman kerjaku yang hanya 4 tahun, apalagi dengan persyaratan yang tidak mempermasalahkan perihal status perkawinan.

"Kamu siap bekerja besok? Atau kamu mau mengurungkan niat melamar di sini?" tanya Anggara memastikan sebab ia tersadar aku malah terdiam sambil terheran-heran.

"Si-siap, Pak." Aku langsung mengangguk, tak ada pilihan lain karena aku memang sedang membutuhkan pekerjaan. Siapa pula yang akan menyia-nyiakan kesempatan bisa bekerja di perusahaan besar dengan posisi yang memang sesuai dengan keahlian dan kesenanganku.

Setelah sesi wawancara, aku tidak langsung untuk pulang ke rumah Ibu Mertuaku. Aku malah berdiam diri sebentar dan duduk di depan teras rumahku dengan Mas Rendi yang sudah di jual. Betapa rindunya aku dengan rumah ini.

Beberapa saat kemudian, aku memutuskan untuk pulang saja karena sudah lewat tengah hari. Aku juga melewatkan makan siangku.

Niat ingin masuk ke rumah lewat pintu samping untuk menghindar dari Ibu Mertuaku, tetapi ternyata Ibu sedang ada di teras bersama Bi Wati, tetangga yang dibayar untuk menjaga Ibu. Ya, karena memang Ibu Mertuaku tidak ingin dijaga olehku. Meski membuat pengeluaran menjadi lebih besar karena membayar orang, disisi lain aku juga setuju sebab daripada aku harus terus membatin selama menjaga Ibu, akan lebih baik jika aku bekerja saja.

"Aku pulang," ucapku berbasa-basi.

"Gimana? Dapet kerjaannya?" tanya Ibu dengan nada mengejekku seolah aku akan kesusahan mencari pekerjaan seperti pikiranku yang sempat pesimis.

"Aku udah keterima kerja kok, Bu. Besok udah mulai masuk hari pertama."

"Di mana? Jadi pelayan rumah makan?"

"Di perusahaan cukup besar, Bu. Jadi sekretaris lagi."

Ibu Mertuaku menyunggingkan bibirnya dengan tatapan meragukanku. "Masa sih? Jangan bohong, jangan gengsi sama Ibu. Lagian perusahaan mana yang mau nerima sekretaris yang udah berumur, belum lagi udah nikah, meskipun belum punya anak jadi badannya belum melebar."

Sakit?

Jangan tanya lagi!

"Gak apa-apa kalau Ibu nggak percaya. Yang terpenting aku sudah mendapatkan pekerjaan sesuai yang aku harapkan. Tuhan mempermudah semuanya."

"Inget, ya. Meskipun kamu bekerja, kamu jangan sampai lupa sama kewajiban kamu sebagai istri. Jangan sampai anakku tidak kamu urus. Ingat, kamu menumpang di sini jadi jangan merasa menjadi Nyonya. Kamu juga harus urus rumah."

Padahal Ibu yang selalu mengurus Mas Rendi, mulai dari makan bahkan sampai berbelanja baju yang dipakai dia bekerja atau sekedar baju santai. Tapi sekarang malah melimpahkan semua padaku, seolah ingin melihatku sibuk dengan segala pekerjaan rumah dan juga pekerjaanku di kantor nanti.

Andai saja Mertuaku baik, aku juga akan suka rela mengurusnya tanpa mengomel dan menggerutu dalam hati. Aku hanya manusia biasa! Bisa emosi dan bisa juga sakit hati.

"Ibu tenang saja."

"Ya sudah masuk. Masak dulu, bentar lagi Rendi bakalan pulang. Jangan sampai dia pulang, makanan belum tersaji di meja makan."

"Memangnya hari ini Mas Rendi gak lembur, Bu?" tanyaku yang biasanya aku tahu bahwa Mas Rendi selalu lembur untuk mendapatkan uang tambahan. Sehingga selalu pulang ketika sudah gelap.

"Ibu yang suruh Rendi buat nggak lembur lagi mulai hari ini. Apalagi sekarang kamu sudah kerja, jadi Rendi nggak perlu kerja dari pagi sampai gelap. Kasihan dia selalu kurang tidur."

Mendengar itu, aku merasa sedikit tak rela. Meskipun yang aku lakukan memang untuk meringankan beban Mas Rendi yang harus menafkahiku, menafkahi dan membayar biaya pemulihan Ibunya sendiri.

"Oh, begitu." Aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah untuk segera memasak.

Sekitar satu jam kemudian, makanan sudah tersaji di meja makan. Jam di dinding pun sudah menunjukkan pukul 5 sore. Mas Rendi pasti sudah dekat dan aku segera mandi.

Setelah selesai mandi, benar saja Mas Rendi sudah pulang.

"Sudah pulang, Mas?" tanyaku melihat Mas Rendi dan Ibu tengah makan di ruang televisi. Padahal tadi aku lihat di meja makan, makanan yang sudah masak masih utuh tertutup tudung saji.

"Makan, sayang."

"Mas makan sama apa? Aku sudah masak di meja makan. Ada ayam goreng kesukaan Mas," ucapku cukup bergetar karena sakit hati melihat makananku sama sekali tidak tersentuh.

"Ibu tadi telpon katanya mau makan sama yang berkuah. Jadi Mas beli soto betawi, ini Mas sisakan untuk kamu."

Menetes sudah bulir embun di pelupuk mataku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status