Share

BAB 7 Makan Siang Berdua

"Aku juga masak sayur, kok. Sayur bayam dan jagung buat Ibu. Tadi Ibu nyuruh aku buat cepetan masak, tapi malah nyuruh Mas Rendi buat beli diluar. Pengeluarannya kan jadi double," ucapku yang sakit hati dengan ulah Ibu Mertuaku, yang seolah sengaja selalu melakukan apapun untuk menguji kesabaranku di depan Mas Rendi.

"Memangnya Ibu lagi menyusui dibikinin sayur bayam? Ayam goreng buatan kamu juga selalu keras, sakit kalau dimakan sama Ibu yang giginya udah setua umur Ibu juga," ujar Ibu Mertuaku.

Terdengar menyebalkan, bukan?

Kelakuan Ibu Mertuaku memang sukses membuat aku gemas, geram dan tak tahan menahan emosi. Aku tahu, jika diumur Ibu yang sekarang, dia akan memasuki kembali fase kanak-kanak, tetapi ini rasanya lebih menyebalkan dari sekedar tingkah laku anak kecil.

"Udahlah, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali juga. Kata dokter kan menjaga suasana hati Ibu, bisa turut mempercepat masa pemulihan, karena kita membahagiakan batin dan mentalnya," bela Mas Rendi terdengar seperti bijaksana, tetapi itu nyatanya membuat hatiku terluka.

'Terus suasana hatiku bagaimana?' batinku yang ingin sekali berteriak tepat di depan wajahnya.

Namun aku juga tidak tega, sikap lembut Mas Rendi tidak bisa membuatku melakukan hal yang mungkin membuatnya sakit hati. Meski sebenarnya, semua rasa kesalku pada Ibu Mertuaku, aku curahkan semua pada Mas Rendi.

"Terserah Mas Rendi saja," ucapku tidak ingin terus bersitegang sementara Ibu Mertuaku selalu di atas angin karena Mas Rendi yang selalu menuruti apapun yang dikatakan oleh Ibunya.

Kadang aku berpikir, aku akan sangat bahagia, aku akan sangat beruntung mendapatkan suami yang begitu sayang keluarga terutama Ibu. Namun nyatanya, hal itu malah membuatku bersaing dengan Ibu Mertuaku sendiri yang memang egonya tinggi dan seolah tidak mau berbagi perhatian dan kasih sayang dari Mas Rendi.

Aku kembali ke dapur untuk makan masakan aku, sendiri!

Usai makan dan membereskannya kembali, aku langsung masuk ke kamar, Mas Rendi pun sudah selesai mandi.

"Kata Ibu, kamu sudah mendapatkan pekerjaan Sayang? Ceritakan sama Mas bagaimana proses kamu kemarin?" tanya Mas Rendi sambil mendekat padaku yang tengah memakai night skincare rutin.

"Semuanya dimudahkan, aku udah langsung bisa bekerja besok."

Mas Rendi memelukku dari belakang dan menatapku lewat pantulan cermin.

"Mas sebenarnya masih belum rela kamu bekerja lagi. Mas nggak rela kamu nantinya berinteraksi dengan banyak pria. Apalagi kamu sebagai seorang sekretaris yang nantinya akan selalu ikut sama bos kamu," ucap Mas Rendi dengan kekhawatirannya.

Aku mengerti betul dengan yang ditakutkan oleh Mas Rendi. Sebab, baru saja aku tahu kalau penyebab berpisahnya Mas Rendi dengan istrinya terdahulu, karena perselingkuhan Mbak Dyan. Itulah mengapa Mas Rendi tidak pernah ingin lagi mengungkit masa lalu.

Seketika saja aku juga langsung teringat kejadian di bioskop beberapa bulan yang lalu. Itu adalah tindakan terbodoh yang pernah aku lakukan di belakang Suamiku sendiri.

"Aku kerja, Mas. Bukan untuk berbuat macam-macam."

"Ya, namanya juga takut, Sayang. Soalnya istri Mas kan cantik sekali," ucap Mas Rendi sambil meraih bibirku.

Mas Rendi menggodaku, runtuh lah benteng pertahanan yang aku bangun untuk mendiamkan Mas Rendi karena drama tadi saat makan malam.

Mas Rendi mengangkat tubuhku dan membaringkannya di atas ranjang. Seperti biasa, lampu utama dimatikan, tinggallah ruangan yang temaram menemani permainan panasku dan Mas Rendi.

Itu adalah kali pertamanya aku kembali berhubungan badan dengan Mas Rendi semenjak berpindah ke rumah Ibu. Meski tidak pernah berlangsung lama, tetapi aku menikmatinya karena itu bersama suamiku sendiri. Hanya terkadang aku merasa harus menuntaskan sesuatu yang tak bisa dituntaskan oleh Suamiku.

Keesokan harinya, aku bangun pagi sekali untuk menyiapkan sarapan. Aku tidak ingin terlambat untuk hari pertamaku masuk kerja. Hari ini adalah hari di mana aku menjadi seorang istri juga bisa dikatakan sebagai wanita karir, bukan? Aku hanya berharap aku akan nyaman di tempat kerjaku nanti.

"Mas, aku pamit berangkat duluan, ya. Aku sudah siapkan sarapan buat Mas dan Ibu di meja makan."

"Iya, Sayang. Semangat untuk hari pertama kerja. Maaf tidak bisa mengantar kamu, karena arah tempat kerja kita kan berbeda."

"Nggak apa-apa, Mas. Tolong bilang sama Ibu aku sudah berangkat, aku nggak mau ganggu tidurnya."

Mas Rendi mengangguk dan aku langsung keluar sebab ojek online yang aku pesan sudah sampai.

Setibanya di kantor, aku langsung saja naik ke lantar di mana ruangan CEO berada untuk mengetahui job desc-ku apa saja di hari ini juga hari-hari selanjutnya.

Karena Pak Anggara belum sampai, akhirnya aku duduk menunggu di mejaku saja. Sambil melihat berkas-berkas yang tersusun di rak belakang meja.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki, aku bersiap untuk menyapa sebab aku tahu jika itu adalah bosku. Aku begitu yakin karena memang di lantai itu hanya ada ruangan Pak Anggara dengan berbagai ruangan pribadinya yang lain.

"Selamat pagi, Pak," sapaku beramah-tamah.

"Ikuti saya," titah Pak Anggara yang masuk ke dalam ruangan dan meminta aku untuk masuk juga.

Setelah ada di dalam ruangan, aku sedikit merasa gugup. Meskipun sudah memiliki pengalaman bertahun-tahun, tetapi ketika memulai kembali hal yang sudah lama tidak dilakukan rasanya tetap mendebarkan.

"Karena tiga bulan ke depan masih masa training, jadi kamu belum bisa meng-handle seluruh pekerjaan sebagai sekretaris saya. Semua schedule saya, sudah diurus oleh Hans. Kamu perhatikan saja cara dia bekerja. Kalau ada masalah atau hal yang ingin kamu tanyakan seputar pekerjaan, kamu langsung tanyakan pada Hans."

Aku mengangguk mengerti dengan instruksi dari Pak Anggara. "Baik, Pak."

"Untuk sekarang, kamu buatkan saya kopi. Besok kamu harus pastikan kopi sudah ada di meja saya."

"Siap, Pak."

Berjam-jam kemudian, waktu istirahat sudah tiba. Akhirnya aku sudah merasa sedikit lega. Aku memang hanya sebatas memperhatikan dan mengikuti Pak Anggara juga Pak Hans saat ada rapat internal, tetapi itu memang cukup melelahkan.

"Kamu makan siang dengan saya," ucap Pak Anggara mengajakku makan siang diluar.

Rezeki memang tidak baik jika ditolak.

Setelah sampai di restoran yang tidak jauh dari kantor, aku mulai merasa tidak nyaman, sebab Pak Anggara hanya mengajak makan siang berdua saja. Padahal aku pikir, Pak Hans pun akan ikut serta. Aku hanya menenangkan diriku sendiri, bahwa makan siang ini hanya sebatas profesional bekerja. Statusku sebagai istri orang di pekerjaan seperti ini, ternyata malah membuat aku selalu mengingat Mas Rendi dan merasa bersalah.

"Pak, kita makan siang hanya berdua saja? Saya pikir Pak Hans juga akan ikut makan bersama," ucapku memulai pembicaraan sambil menunggu makanan yang sudah dipesan datang.

"Iya, kenapa? Kamu tidak suka makan siang bersama saya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status