Share

Pria Gila dan Perempuan Tidak Waras

Mizobata Sho, pria yang menikahiku kemarin pagi. Kami menikah juga karena perjodohan orang tua, lalu kami pun menjalaninya dengan sebuah surat perjanjian. 

Wajahnya memang tampan. Seperti umumnya orang Jepang, kulitnya putih bersih, mata sipit, dan berperawakan tinggi atletis. Tulang hidungnya tinggi di atas wajah tirusnya. Tapi siapa yang sangka mulutnya sepedas cabai setan. 

Seperti hari ini, seenaknya dia mengatakan aku kerbau, memencet hidungku, dan kurang ajarnya dia hadir di dalam mimpi indahku!

Dengan malas aku turun dari tempat tidur, kuikat rambut yang berantakan ini. Begitu pintu kamar kubuka, aroma lezat terhidu di penciumanku. Aroma nasi goreng seketika membuat perutku keroncongan. 

Aku menuju dapur, ternyata pria perusak mimpi yang sedang memasaknya. Aku berdiri di sebelahnya. Melihat caranya memasak. Dia tampak ahli seperti koki.

Nasi goreng memang salah satu makanan kesukaanku, kesukaannya juga. Lima belas tahun Sho pernah tinggal di Indonesia, menjadikan makanan Indonesia menjadi favoritnya.

"Ohayou-selamat pagi!" sapanya datar tanpa menoleh kepadaku.

Dia sibuk memberi garam dan perisa makanan lainnya. 

"Ohayou!" jawabku malas. Aku duduk di kursi makan sebelahnya.

"Kau membuat pagiku buruk. Terlebih apa yang telah kau lakukan kepadaku. Hidungku sampai perih karena cubitanmu." Kulayangkan protes tajam kepadanya.

"Mau bangun jam berapa? Matahari sudah naik sepenggalan. Rezekimu dipatok ayam!"

"Kau juga merusak mimpiku!" Aku berkata sengit. 

"Mimpimu?" Dia menoleh kepadaku, mengernyitkan kening, lantas mematikan kompornya. "Halusinasimu, maksudnya?!" lanjutnya, kemudian menyeringai. 

"Heh, sembarangan. Kau bahkan belum minta maaf atas apa yang terjadi pagi tadi!" tukasku sengit. 

"Maaf karena apa?" tanyanya masih tanpa menoleh kepadaku, juga tanpa merasa bersalah. Aku menggeram kesal.

"Karena kau mencubit hidungku, karena kau merusak mimpi indahku!"

Dia mematikan kompornya, lalu menuangkan nasi goreng pada dua piring, kemudian berbalik menatapku. Wajahnya dekat dengan wajahku.

Aku beringsut mundur, tapi terpentok tembok. Tangannya memegang tembok tempatku bersandar, menghalangiku. Embusan napasnya terasa di wajahku.

"Kau! Mau apa?" sentakku, tapi aku mulai gentar.

"Mimpi indah bersama kekasih halusinasimu? Kau sebut nama kekasih khayalanmu berulang-ulang, sementara kau umpat nama suamimu sepanjang mimpi," cerocosnya. 

"Baka! Itu kan hanya mimpi! Lantas kenapa sekarang kau begitu dekat denganku, menjauhlah dariku!" 

Mataku menyipit, aku mulai khawatir dengan sikapnya, meski kami menikah dengan perjanjian, tapi bagaimana pun dia suamiku. Jangan-jangan dia akan memperkosaku. Tuhan, kumohon jangan!

"Kau takut kalau aku begini, hah?" suaranya terdengar berat.

"Dengar, aku-aku tidak suka dengan cara seperti ini. Bukankah kita telah sepakat untuk …" ujarku pelan, sambil memalingkan wajah darinya.

"Baka!" Dia menarik dirinya, lalu menyeringai beringsut menjauhiku. Aku bernapas lega. Rasanya aku masih trauma dengan mimpiku.

Dia lalu mengangsurkan sepiring nasi goreng kepadaku.

"Makanlah dulu. Biar kewarasanmu terjaga!" ucapnya lagi.

Sho kemudian menuju meja makan. Nasi gorengnya disantap perlahan.

Aku yakin, Sho tidak akan melakukan hal yang menakutkan. Aku rasa yang terjadi itu hanya dalam mimpi. Sho benar, mungkin belakangan ini kewarasanku tidak lengkap. Tapi penyebabnya pasti karena perjodohan ini. Aku yakin sekali.

"Kau, jangan melakukan hal menakutkan seperti tadi! Atau aku akan berteriak!"

"Berteriak? Lalu siapa peduli? Siapa percaya kalau ada suami memperkosa istrinya?" 

"Ish, kau jahat sekali!" ucapku geram.

Dia tak menjawab ocehanku. Terus saja dia makan nasi gorengnya. 

"Sudahlah, makan saja dulu, aku tidak menaruh obat tidur atau obat perangsang pada makanan itu."

"Sho-kun, kau ini!" Aku hanya bisa membelalakkan mata, mendengus kesal dengan ocehannya. Aah, tapi aku sudah lapar.

Kumakan nasi goreng buatannya. Oh, Tuhan, aku baru pertama merasakan masakannya. Ini apa? Lidahku dimanjakan dengan rasanya.

"Kau tahu juga, ya, caranya membuat moodku kembali membaik,"

"Kenapa? Enak 'kan? Kalau kau mau, aku pun bisa membuat moodmu seketika membaik. Kita bisa saling menyenangkan."

Dia tersenyum nakal ke arahku. Aku menduga, pasti hal tak senonoh ada dalam kepalanya. 

"Dasar mesum!" bentakku seketika. 

Dia menyeringai, lalu menandaskan makanan dan minumannya. Sejurus kemudian dia berdiri. 

"Mesum? Maksudmu begini?"

Secepat kilat dia mencium bibirku. Mataku terbelalak. Sepersekian detik membuatku seperti disengat lebah. 

Dengan terbahak dia meninggalkanku. Dia keluar apato. Sementara aku masih membeku memegang bekas ciumannya di bibir. Sialan. Ini kali kedua dia mencium bibirku setelah pernikahan konyol kemarin pagi. 

"Aku ada janji dengan klien. Baik-baiklah di rumah, istriku. Ittekimasu-aku pergi," ucapnya riang.

"Pergi sana! Temukan cinta sejatimu!" jeritku histeris. Napasku masih memburu. Dasar tukang ambil kesempatan!

Kupikir, bukan hanya aku yang tidak waras, tapi dia pun gila. Sangat gila! 

***

Tiga bulan silam.

"Nande-apa? Menikah dengan Mizobata Sho?" 

Aku seperti tersengat ribuan voltase, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari Ibu dan Otousan (Ayah). Malam ini adalah malam nahas bagiku. Pantas saja Ibu memasakkan makanan favoritku, tempe mendoan! Ternyata ada udang di balik tepung bumbu krispi! 

Pantas juga makan malam ini semua anggota keluarga lengkap, termasuk Popo - anggora gendut berbulu lebat. Hanya Popo yang terus makan, di sebelah Mas Tama. Dia tidak terusik dengan suara kerasku barusan.

"Iya, menikah dengan Sho. Sho baik, cerdas, tampan. Kita juga sudah mengenal dia dan keluarganya satu sama lain. Daripada kamu nikah sama pria enggak jelas, lebih jelas kamu nikah sama Sho, 'kan?" 

Aaaah, aku menggaruk kepala yang tak gatal.

"Tapi aku enggak cinta sama Sho, Bu!"

"Cinta bisa hadir secara perlahan, Nares." Otousan angkat bicara. Otousan membersihkan mulutnya dengan serbet, lalu meminum air putih. 

"Dalam rumah tangga itu, cinta saja tidak cukup. Kami sudah memikirkan masak-masak, kalau Sho memang pilihan yang tepat untukmu," sambung Otousan lagi.

Aku menarik napas dalam. Ini masalah serius, sungguh serius, mahaserius. Ini masalah kebahagiaanku selamanya. Ini masalah keberlangsungan kehidupanku selanjutnya.

Dikira mudah apa, menikah, jadi istri, melayani suami dua puluh empat jam, beranak pinak, lalu mengurus rumah tangga, hidup satu atap bersama pria yang tidak kita inginkan. Membayangkannya saja aku tidak sanggup. Horror!

"Ya, intinya kami ingin yang terbaik untuk kamu. Nikah aja kalau modal cinta, bakalan repot. Cinta enggak bakal bikin kamu kenyang. Cinta enggak akan nyelesein masalah kalau kamu kesulitan," ucap Ibu, sambil merapikan alat-alat makan yang telah selesai kami gunakan. 

"Lah, kalau bukan cinta terus apa,dong! Emang Ibu sama Otousan dulu enggak pake cinta?" tukasku sengit.

"Maksud Ibu enggak gitu juga, Nares." Mas Tama cepat ikut bicara. Kakakku ini adalah garda terdepan dalam membela Ibu. Aku sudah paham, dan sayangnya aku sering kehabisan kata saat mendebatnya.

"Cinta bisa datang seiring waktu, sementara semua kebaikan yang lain ada pada Sho itu justru yang paling utama," lanjut Mas Tama lagi.

"Kebaikan apanya?!" tukasku keras. "Sho mana ada baiknya sama aku!"

"Sst...jangan bilang gitu," sanggah Ibu, "Enggak baik. Sho itu orang baik, dan kami yakin dia yang terbaik untukmu."

"Udah, debat gini enggak akan selesai," kata Otousan lagi."Nares dengar, ide perjodohan ini bermula dari Kakek Mizobata Ryu. Dia ingin cucu semata wayangnya itu menikah, dan gadis yang tepat untuk Sho adalah kau. Mestinya kau bangga di mata Kakek Mizobata kau gadis terbaik." 

Aku menjambak-jambak rambut mendengar penjelasan Otousan. Rasanya aku hampir gila. Satu lagi yang membuatku terkejut, karena Kakek Mizobata sendiri yang memintanya. Jangankan aku, orang tuaku saja tak enak menolaknya. 

Aku sadar, kami berutang budi banyak sekali dengan kakeknya Sho. Setelah usaha orang tuaku pailit di Jakarta, Otousan memutuskan untuk pindah ke Kyoto. Tinggal di rumah warisan orang tuanya, dan membuka usaha baru di Kyoto, yaitu usaha penginapan atau disebut ryokan. Andil Kakek Mizobata cukup besar di sini, tidak hanya membantu keuangan, tetapi juga membantu memperkenalkan dengan investor yang akhirnya membuat usaha Otousan jadi berkembang pesat. 

Aku jadi curiga. Jangan-jangan, orang tuaku juga memiliki utang kepada Kakek Mizobata, lantas aku digunakan sebagai alat penjamin utang. Ish, mengerikan! Tapi apapun itu, sekarang sulit bagiku untuk menolaknya.

Ibu, Ibu juga alasan tersulit untukku menolak perjodohan ini. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Ibu lagi jika aku menolak rencana ini. Beberapa waktu lalu sebelum pindah ke Kyoto aku pernah menolak untuk ikut. Aku lebih senang tinggal di Jakarta daripada di Kyoto. Tak disangka, Ibu langsung sakit dengan penolakanku, berhari-hari Ibu dirawat di rumah sakit karena itu. Setelah itu, aku berjanji untuk tidak menolak permintaan Ibu lagi. Meski akhirnya seperti ini, aku yang tersiksa.

AKhirnya rapat keluarga ditutup. Hasilnya aku kalah suara, karena dikeroyok, tinggal aku yang pusing tujuh keliling. Dengan langkah gontai kugendong Popo yang telah tertidur pulas. Kubawa Popo ke dalam kamar. Mas Tama menepuk-nepuk pundakku, mungkin memintaku bersabar, tapi aku telanjur gusar. Dengan wajah berlipat kuabaikan Mas Tama, kutepis tangannya dengan kasar. Aku ingin berteriak kencang, meski dalam hati.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status