Share

From Kyoto With Love
From Kyoto With Love
Author: Puput Sekar

Suami Menyebalkan

Aku mengayuh sepeda semakin kencang, berusaha mengejar ketertinggalanku darinya. Sepeda Kak Alex melesat jauh di depanku. Sesekali dia menoleh ke belakang, terseyum lebar, menampakkan geliginya yang rapi. Aku mengulum senyum, rasa lelah seperti tak kumiliki, meski peluhku sudah membasahi tubuh.

"Ayo, kejar aku!" teriak Kak Alex, lalu tertawa kencang. Mata birunya berkilauan diterpa cahaya mentari.

"Awas, ya, aku pasti bisa mengejar!" Aku berteriak penuh semangat. Kucepatkan lagi laju sepedaku, meski aku masih tertinggal sekitar lima meter di belakangnya.

Di sepanjang taman kota ini, kami bersepeda, di bawah kanopi sakura yang tengah bermekaran, merah jambunya, serupa dengan wajah dan hatiku saat ini. Terasa magis sekali memang, aku bersama pria yang selama ini hanya dapat kukhayalkan saja. Sekarang tampak nyata di depan mata. 

Sepedaku semakin melaju, tapi tiba-tiba saja, Kak Alex menghentikan sepedanya tepat di tepi danau. Dia turun dari sepeda, lalu bersandar pada sepedanya. Seketika aku pun lekas mengerem sepeda. Kuhentikan secara mendadak. 

"Kenapa berhenti mendadak, 'kan belum finish?"protesku. Aku pura-pura marah dengan memajukan bibir, dia malah tersenyum.

"Terkadang tidak perlu mencapai finish yang ditargetkan, jika yang dituju sudah berada di depan mata," ujarnya dengan mata mengerling jenaka kepadaku.

Aku terkesiap, semoga aku tidak salah menerjemahkan maksud dari perkataannya. Meski samar, entah mengapa aku merasa kalimat itu tertuju kepadaku. 

Aku 'kah tujuan utama itu?

Sejurus kemudian dia mendekatiku, menggenggam tanganku, lalu menggandeng. Mengajakku berdiri lebih dekat menuju tepian danau. 

Di danau, tampak sekumpulan ikan koi berenang dengan lincahnya, menyembul beraneka warna ke permukaan, juga sepasang angsa asyik dimabuk asmara, serupa denganku di sisi Kak Alex. Genggamannya membuat gemuruh jantungku tak menentu. 

Seketika Kak Alex menoleh kepadaku, tatapan matanya begitu dalam. Aku dibuat kikuk olehnya, aku pun tertunduk malu. Dia meremas genggaman tanganku. Aku hanya bisa mengigit bibir.

"Nares," panggilnya lirih, lalu perlahan mengangkat daguku, wajahku kini semakin memanas. Aku hampir limbung, kalau jatuh, biarlah aku jatuh di pelukannya, pada dadanya yang bidang. Perlahan kuberanikan untuk menatap matanya yang teduh.

"Sepertinya aku telah menemukan tujuanku selama ini," sambungnya lagi. 

"Ma-maksudnya, Kak?" tanyaku terbata. Aku dibuatnya gelagapan. Ah, tapi aku suka. Sensasi rasa degupan jantung karena asmara, membuat dunia ini semuanya tampak merona.

"Tujuanku berkeliling dunia tak tentu arah, bukan karena ketenaran, bukan karena pujian, juga bukan untuk penelitian. Aku ingin terus berjalan bersama tujuanku yang sebenarnya." 

Dia diam sejenak, masih menatapku dalam. Kami sama-sama mematung. Semilir angin di musim semi ini menyapa kami berdua yang tengah menata semua rasa di hati. 

"Tujuanku selama ini adalah kau, Nares!" lanjutnya lagi. Dia jelas sekali mengatakannya.

Oh, Tuhan, jantungku bergemuruh hebat sekali. Jangan sampai dia mendengar degup jantung ini, atau aku bisa benar-benar rebah karenanya.

Aku kembali tertunduk, tapi cepat dia menahan wajahku, dia memegang kedua pipiku yang kuyakin telah merona.

"Nares, maukah kau menemani sisa perjalananku?" tanyanya dengan pelan tapi terdengar begitu jelasnya.

Aku membelakkan mata. Rasanya ingin melonjak dengan gembira, tapi aku tak kuasa. Mulut ini rapat terkunci, lidah pun seolah membeku. 

"Nares, aku tidak akan mengulang pintaku lagi. Tapi kalau terpaksa harus mengemis, akan kulakukan itu."

Aku tak kuasa menjawab dengan kata. Cukuplah isyarat dengan menganggukkan kepala untuk membuatnya paham kalau hati ini pun menginginkannya. Aku yakin sekali, wajahku sudah merah sempurna. Dia lantas tersenyum lebar melihat isyarat yang kuberikan.

Kak Alex makin menatapku lekat, sinar matanya menunjam sampai ke sukma. Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tak kusangka, dopamine di tubuhku bekerja dengan hebatnya. Spontan aku menutup mata, hangat napasnya terasa di wajahku. Aku menunggunya, meski jantung ini bertalu-talu.

Namun sekejap mata, kurasakan tangan seorang pria menarikku dengan kasar.

"Dia milikku!" 

Gelegar suaranya sontak membuat mataku terbuka. Aku menoleh kepadanya. 

"Sho-kun!" Aku tak percaya pada pria yang tiba-tiba ada di antara aku dan Kak Alex. Dengan kasar dia terus menarikku menjauh dari Kak Alex. Kulihat Kak Alex pun tak kalah terkejutnya.

"Heh, nande-kenapa, kau tiba-tiba berada di sini, hah!" tanyaku gusar. Aku berusaha mengibaskan tangannya, tapi cengkramannya sangat kuat.

Sho tak menjawab pertanyaanku, dia malah merengkuh tubuhku, dan mengunci agar aku tak bisa bergerak banyak. Aku meronta, berusaha melepakan diri darinya.

"Sho-kun, lepaskan aku!" jeritku histeris. 

Sho masih tak menjawab, dia makin membawaku menjauh dari Kak Alex. Kulihat Kak Alex hanya termangu dengan pemandangan dramatis ini. 

"Kak Alex tolong aku!"

Aku makin histeris, tapi Kak Alex diam di tempat, mematung. Tatap matanya sendu. Dia seperti tak berdaya untuk menolongku. Padahal kurasa dia mampu. Tubuhnya jauh lebih besar dari Sho. Aku meronta sejadinya. Sho malah terus menyeretku untuk menjauhinya. 

Lepaskan aku Sho, lepaskan! Kumohon Sho, biarkan aku bahagia!" jeritku, dengan tangis yang tak kalah kencang. 

Sho tetap bergeming, begitu pun Kak Alex. Aku semakin jauh dengan Kak Alex, dia bahkan kini berbalik meninggalkanku, menjauhiku.

"Kak Aleeeeeex!" jeritku histeris. "Jangan tinggalkan aku, aku hanya ingin bersamamu!" 

Percuma aku berteriak, Kak Alex terus melangkah pergi. Punggungnya makin jauh dari penglihatanku, hingga ia benar-benar tak tampak lagi. 

Aku histeris menyebut namanya. Aku meronta dari rengkuhan tangan Sho, tapi tak mampu. Lalu tiba-tiba Sho membalik tubuhku, menatapku dalam-dalam. Aku memalingkan wajah, tak sudi melihat wajahnya. 

"Kau sekarang menjadi milikku, Nares!"

Sho tertawa sinis, oh tidak, dia menyeringai. Mengerikan, seperti seekor serigala yang siap mencengkram kuku dan taringnya yang tajam.

"Sialan, kau Sho! Lepaskan aku!" Aku berulang kali menjerit, meronta, bahkan histeris, namun tetap saja percuma.

Lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, aku meronta terus, sampai rasanya aku semakin lelah. Deru napasnya terasa di wajahku, seketika pula dia mencubit hidungku keras sekali, aku hampir tak bisa bernapas. Dia ingin membunuhku!

Jarinya makin keras memencet hidungku, aku sulit bernapas. Wajah Sho semakin dekat di wajahku, dia mau apa lagi?

"Hei, kau tidur terus-terusan mengigau!" ujarnya.

Suaranya terdengar dekat sekali di telingaku. Mataku terbuka seketika, kesadaranku mulai utuh. Tuhan, ternyata aku berada di tempat tidur. Mataku berusaha beradaptasi dengan cahaya lampu di kamar ini.

Lalu kulihat seorang pria menundukkan wajahnya di dekatku. Tangannya masih mencubit hidungku.

"Lepaskan, Sho!" teriakku kesal. Aku menepis tangannya dengan gusar.

"Kau tidur seperti kerbau semalaman, di pagi hari malah mengigau tak karuan. Astaga, bahkan halusinasimu semakin parah!"ejeknya, lalu meninggalkanku di dalam kamar. 

Aku semakin gusar. Kutendang selimut yang menutupi tubuhku. Dengan malas aku bangun dari tidur, duduk bersandar di ranjang. Aku mengusap wajahku kasar. Kuingat-ingat lagi mimpi yang barusan kurasakan, semua tampak nyata. Indah, manis, bahkan sampai saat ini aku masih merasakan hangat tangan Kak Alex di wajahku. Tapi sekaligus juga mimpi terkutuk! Bongkahan amarah dalam mimpi tadi masih kurasakan sampai kini.  

Mizobata Sho, baka-bodoh! Bisa-bisanya dia membuat pagiku seburuk ini. Aah, aku mengacak rambutku lagi. Bagaimana bisa ini terjadi pada diriku, nyatanya dia adalah pria menyebalkan yang menikahiku kemarin pagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status