Share

Ciuman Pengantin

Tepat di usiaku yang keduapuluh enam lebih dua hari, aku menikah. Pengantin perempuan yang berdiri di sebelahku adalah Kimura Nareswari. Resmi sudah aku menjadi suaminya, meski melalui perjodohan yang konyol.

Ojisan berpesan padaku, bahwa aku harus merebut hatinya. Sangat mudah bagi perempuan untuk mencintai laki-laki setelah menikah. Selama pria tersebut berbuat baik, cinta akan datang dengan sendirinya. Aku menuruti nasihat Ojisan, meski tak terlalu yakin itu bisa terjadi pada Nares. Sebab selama ini, hanya Alex yang ada di pikirannya. 

Pesta pernikahan kami pun diadakan di taman hotel. Sepanjang hari aku dan Nares melempar senyuman kepada tamu. Meski mereka tak perlu tahu, bahwa selama kami berdiri, Nares terus berbisik kepadaku. Ada-ada saja keluhannya. Mulai dari kakinya yang pegal karena sepatu hak tingginya, wajah yang terasa berat dengan riasannya, dan betapa susahnya dia menahan buang air kecil.

"Gaun pernikahan ini membuatku sulit bergerak, perutku mulai tak nyaman, dadaku juga tidak bisa bernapas bebas!" sungutnya dengan berbisik kepadaku.

"Tahan-tahan saja. Pokoknya tunjukkan senyum terbaik kita, agar mereka bahagia."

"Tersenyum sambil menahan pipis? Kau tahu bagiamana rasanya? Tanya padaku!" jawabnya ketus.

"Sabar, sebentar lagi kuantar kau ke toilet."

"Ish! Menikah saja rumitnya seperti ini!"

"Jangan bawel, tetap senyum, oke!"

Aku juga terus tersenyum. Senyum yang aku tak tahu maksudnya apa. Tapi sementara ini aku berusaha menunjukkan kebahagiaan atas pernikahan ini.

"Sho-kun, Nares-chan, kalian belum menunjukkan ciuman sepasang pengantin!" celetuk Bibi Miyazaki. 

Mendengar itu aku dan Nares langsung berpandangan, pias. Kami tersenyum kebas, kemudian kulihat wajahnya menegang.

"Cepat katakan padanya, kita tidak bisa melakukan di tempat umum!" bisik Nares tajam, dia membelalakan matanya.

Aku menggeleng pelan. Sebab setelah celetukan Bibi Miyazaki, para tamu sontak riuh. Mereka ternyata menyepakati usulan Bibi Miyazaki, pelayan restoran milik Tante Widia.

"Kissu … kissu ...kissu…."

Kami tersenyum kikuk pada tamu yang hadir. 

"Ayolah, jangan malu, kalian kan sudah menjadi suami istri!" celetuk Tante Widia, ibu mertuaku.

Aku menatap Nares, dia malah mencubit pahaku diam-diam. Sontak aku meringis kesakitan.

"Anggap saja kita artis yang tengah shooting film. Sebentar saja, agar mereka tak curiga!" bujukku, meski aku dibuatnya gemas.

"Kau jangan ambil kesempatan, ya!" geramnya kesal.

"Bukan aku yang mau!" tukasku sengit.

"Kissu … kissu … kissu." Para hadirin kompak berteriak. 

Nares mulai panik. Aku pun mulai berkeringat. 

"Maksud mereka cium pipi atau bagaimana?" tanya Nares dengan polosnya.

"Baka! Tentu ciuman di bibir yang panjang dan hangat!"

Matanya yang berhias maskara membundar sempurna. "Heeeeeh, cium bibir?!" Dia terkejut sekali.

"Terus gimana caranya? Aku belum pernah!" bisiknya lagi. Suaranya makin terdengar panik.

"Naniii-kenapa! Tinggal cium saja, kenapa masih diskusi segala!" celetuk Bibi Miyazaki. 

"Dengar, kau ikuti saja aku. Sekarang kau hanya perlu memejamkan kedua matamu!" 

Nares akhirnya mengangguk. Aku yakin dia gugup sekali, sama sepertiku yang tak kalah panik. Aku menelan ludah. Kubalikkan badan dan menatap wajahnya. 

Keringat makin deras, membasahi keningku. Tuhan, baru aku menyadari , wajahnya seperti bidadari. Kami saling bertatapan, meski berbagai rasa kecamuk di hati. 

"Pejamkan matamu," bisikku. Dia menurut, matanya terpejam. 

Tanganku kiriku gemetar menggamit pinggangnya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya, lalu tangan kananku memegang kepalanya. Bak seorang aktor aku menjalankan akting dengan cukup baik, sebab tidak akan ada adegan ulang, atau itu akan terlihat memalukan.

Sepersekian detik, kudekatkan wajah ini ke wajahnya. Aku menelan ludah. Tuhan, mencium istri sendiri mengapa segugup ini? Lantas dengan cepat kulepaskan kecupan lembut ke bibirnya. 

Riuh tepukan tangan dan teriakan "kawaii" mengiringi adegan ciuma kami. Cepat aku tarik kembali wajahku mundur. Nares lekas membuka matanya, menatapku dengan bengis, tapi wajahnya memerah. Entah malu atau marah, tapi yang jelas kami berhasil menjalankan akting tanpa cela.

"Bibirmu masih baik-baik saja 'kan?" 

Pertanyaan bodoh sebenarnya, tapi itu lebih baik untuk menetralisir perasaanku.

"Baka!" desisnya sengit. 

Kami lalu kembali berpura-pura tersenyum pada para tamu. Para tamu tampak puas dengan apa yang kami pertontonkan barusan. Kulihat Ojisan ikut mengacungkan ibu jarinya kepadaku. Aku tersenyum kebas.

"Sho-kun, gawat!" bisik Nares. 

"Gawat apanya?" Aku menatapnya pias.

"Aku hampir pipis di celana, dari tadi kutahan, tapi sekarang sudah sulit …."

"Aaah, kau ini! Ayo, kuantar ke toilet!"

Dia menggeleng cepat, wajahnya menahan sesuatu. 

"Aku tidak bisa jalan, rasanya kayak udah mau keluar di celana!"

"Heh!" Mataku terbelalak.  

Aku tak tahan lagi, tak ada cara lain, daripada kulihat dia meringis tak nyaman. Kubopong saja tubuhnya. Nares tampak terkejut.

"Heh, mau apa kau?!"

"Mengantarmu sampai toilet, akan memalukan jika sampai keluar di sini. Sudah diam saja, pegang tanganmu ke leherku!"

Sontak para tamu kembali riuh melihat aku membopong Nares. Mereka mungkin berpikir kalau kami melakukan adegan romantisme lagi. Andai mereka tahu aku begini karena ada yang menahan air kecil?!

"So .. Kawaii desu!"

"Ano..minna, gomen. Kami masuk dulu," ucapku cepat, tanpa memedulikan reaksi dan respons mereka. Dengan berlari, aku menggendong Nares mencari toilet. 

****

Aku menunggu Nares di dalam kamar ganti. Lama sekali dia di toilet. Kuketuk pintu toilet. 

"Kau masih lama?"

"Gomenne, perutku mulas!" serunya dari toilet dengan suara tertahan. 

"Di saat seperti ini!?!" Aku berteriak dengan kesal. 

"Go-men, ta-taa-di paa-gi, aku sarapan banyak sekali, daripada aku kelaparan dan pingsan," jawabnya terbata-bata, pasti dia sedang mengejan. Ada-ada saja tingkahnya, juga dengan alasan yang absurd. 

Aku kembali ke kamar ganti. Beberapa menit, dia sudah selesai. Gaun pengantinnya basah, tapi wajahnya tampak lebih lega.

"Aku mau ganti pakaian saja," ujarnya ringan.

"Acara belum selesai. Jangan berbuat seenakmu!"

"Tapi aku sudah tak tahan dengan pakaian ini, lagipula gaunku basah begini,nanti kalau mereka berpikir yang tidak-tidak tentang kita, bagaimana?"

Kudekati dia, kupegang wajahnya. "Dengar, kau ganti baju atau pun tidak, sama saja. Mereka berpikir tentang kita, itu urusan mereka! Jangan pikirkan omongan orang, dan kita tak perlu mengklarifikasi pada mereka!"

"Acaranya masih lama, ya?" Waiahnya memelas.

Aku menarik napas dalam. Aku kasihan kepadanya. Sehari-hari dia tidak pernah bersolek. Pakaiannya seenaknya, asalkan nyaman di tubuh. Kaus dan kemeja selalu menjadi favoritnya. Meski penampilannya hari ini seperti bidadari, tapi dia merasa tersiksa. 

"Sabar, ya. Bagaimana pun kita hanyalah anak-anak. Tak ada salahnya membuat mereka bahagia di hari yang mereka anggap istimewa ini." 

Aku menepuk-nepuk kepalanya pelan. Dia mengangguk. 

"Kalau kau lelah, mau kugendong lagi?" tanyaku jail.

"Baka! Kalau tidak darurat tidak perlu!" 

Dia kemudian berjalan meninggalkanku, tapi seulas senyum tertahan di wajahnya. Aku tersenyum tipis, sambil berjalan mengikutinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status