Share

Malam Pertama

"Sho-kun, aku sudah tidak tahan lagi!" Nares berkata lirih. 

Setelah melepaskan sepatunya, kemudian diletakkan pada genkan- ruangan di depan pintu untuk membuka alas kaki, badannya yang sempoyongan rebah di sofaku. 

"Dame-jangan! Kenapa kau tidur di sini, di kamar sana!" 

"Aku tak tahan lagi," ujarnya setengah tak sadar, lalu benar-benar pulas seperti bayi. 

****

Pesta pernikahan kami memang tidak berlangsung lama. Tetapi ternyata ada turunan acara selanjutnya. Setelah istirahat sebentar di rumah Nares, malamnya Ojisan dan ayah mertuaku melakukan perjamuan makan malam untuk kolega ekslusifnya. Tak pelak, kami juga turut serta. 

Nares juga bolak balik mengeluh kelelahan dengan acara yang membosankan. Jelas, karena dia tak paham dan mengenal siapa tamu yang datang, terlebih pembicaraannya pun tidak ia mengerti. 

Kolega eksklusif Ojisan dan ayah mertua, kebetulan aku mengenalnya. Pengusaha properti ternama di wilayah Kansai. Mereka kerap memakai jasa konstruksi kami, dan aku yang merancang bangunannya. 

Aku berusaha menyesuaikan, di saat bicara dengan mereka dan menghibur Nares yang dilanda kebosanan. Namun ternyata Nares punya cara tersendiri untuk menghibur diri. Kulirik dia tak berhenti mengunyah. Hampir semua yang tersaji di meja makan pelan-pelan ia tandaskan. Pelan tapi pasti. Tentulah, bagaimanapun juga ia masih tetap berusaha menjaga image

"Cukupkan makananmu. Lain hari kuajak kau ke sini lagi!" Aku berbisik pelan di telinganya. 

"Tapi ini caraku menghibur diri, kau tahu, aku lelah sekali, tapi acara terus berjalan, entah sampai kapan!" rengeknya dengan berbisik. 

"Aku tahu, aku bahkan sudah paham sebelum kau katakan, tapi kita mesti bersabar. Sebentar lagi kita ke apatoku, kau aman!"

Nares hanya mengambil napas keras. Ia menghentikan makannya. Namun beralih meminum sake. 

"Dame! Kau-aku, paling tidak bisa minum sake! Minum sedikit saja sudah mabuk!"

Nares merengut seperti anak TK yang dilarang ini itu. Wajah lelah dan mengantuk itu mendelikkan mata ke arahku. 

"Sebentar, aku coba nego Ojisan agar kita bisa pulang duluan." 

Nares mengangguk cepat, ada sinar mata penuh harap. Meski sebenarnya aku ragu untuk mengatakan kepada Ojisan agar kami boleh meninggalkan acara terlebih dahulu, tetapi kondisi Nares sudah terlalu letih. Aku sudah berjanji padanya untuk bertanggung jawab penuh atasnya. 

Kudatangi Ojisan yang tengah berbincang dengan koleganya. Seluruh keberanian kukumpulkan. Aku berbisik pada Ojisan tentang kondisi Nares yang sudah kelelahan. Ojisan tersenyum padaku. 

Tak kusangka, dia justru mengizinkan aku dan Nares untuk pulang dulu. Sambil membisikkan sesuatu yang seketika membuat darahku berdesir. 

"Berikan aku cicit yang cantik atau tampan. Ganbatte. Semoga berhasil!" bisik Ojisan seraya menepuk-nepuk pundakku. 

Aku tersenyum kebas. Segera kuraih tangan Nares untuk berpamitan juga pada mertuaku. Ternyata reaksi yang sama juga dari ibu mertuaku. Entah apa yang dibisikkan kepada Nares, sehingga membuat wajahnya memerah dan salah tingkah melihatku. Aku pura-pura lugu. Secepatkan kami harus meninggalkan ruangan ini. 

Benar juga, setelah sampai apatoku Nares langsung roboh. Dia bahkan sama sekali tidak khawatir saat kugendong masuk ke kamar. Rasa lelahnya mengalahkan kekhawatirannya kepadaku. 

Nares menggeliat di ranjangku. Aku naik ke atas ranjang. Kurebahkan tubuh ini di sebelahnya. Aku menoleh kepada perempuan yang kini terlelap di tempat tidurku. Setelah bertahun-tahun kami berteman, baru sekarang dia tidur bersamaku. Kutatap wajah perempuan yang telah kunikahi dengan usaha Ojisan di belakangnya. Kuakui aku pengecut. Andai Nares mengetahui keadaan ini, entah kemarahan seperti apa yang akan ia ledakkan kepadaku. 

Kudekatkan wajah ini ke wajahnya. Dia istriku kini, aku yakin sekali, aku tak salah mencintainya selama ini. Meski dia absurd dan senang berbuat seenaknya, tapi dia tetaplah permata. 

Secara fisik, tanpa bersolek saja dia sudah cantik. Matanya yang bundar dengan bulu mata lentik, hidungnya yang tinggi, dan lehernya yang jenjang. Kulit kuning yang bersih, meski salah satu kebiasaan joroknya adalah jarang mandi. Tapi Tuhan sangat pemurah kepadanya, gadis yang malas merawat diri diberkahi dengan kulit bersih dan wajah nyaris tak memiliki jerawat. 

Penampilan yang apa adanya ternyata telah membuatku diam-diam menyukainya. Tapi jelas bukan itu, meski secara naluri aku memang menyukai fisiknya. 

Nares memiliki hati yang baik sebenarnya. Meski dia suka seenaknya bicara kepadaku, namun dia gadis yang mudah tersentuh. 

Naluriku sebagai laki-laki bergejolak. Kutatap bibir tipis yang sudah kukecup siang tadi. Jujur saja, bibir itu begitu lembut, membuatku menginginkannya lagi dan lagi. Bukankah aku sekarang suaminya? Kudekatkan bibirku ke arah bibirnya. Mencoba mengulang apa yang kurasakan siang tadi. 

Seketika pikiranku terlintas sesuatu. 

Aah, nande! Bukankah aku telah berjanji untuk tidak melalukan persenggamaan dengannya! 

Baka! Tetapi mencium bibir saja bukan bentuk persenggamaan! 

Tolol! Semula memang mencium bibir saja, selanjutnya aku akan terus menginginkan yang lebih. 

Aku menarik wajahku menjauhi wajahnya. Kuusap wajahku beberapa kali. Dialog jahanam tadi sudah memporakporandakan hasratku. Tapi baiklah, hal tersebut menandakan aku masih waras. Kutarik selimut dan kupejamkan mata. Sekarang kelelahanku terasa nyata, terlebih saat tangan dan kaki Nares mengenai tubuhku. 

Oh, Tuhan! Ternyata gadis yang kucintai tidurnya lasak sekali! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status