Share

Cucu Mantu Pilihan Ojisan

POV Sho

Kimura Nareswari, apa aku sudah gila? Apa aku benar-benar gila? Aku akan menikah dengannya. 

Semua ini terjadi atas kehendak Ojisan. Sedari kecil aku tak pernah membangkang pada apa yang telah Ojisan putuskan. Hanya Ojisan yang aku miliki, setelah Otousan dan Okaasan tiada. Jadi aku hampir selalu menuruti keputusannya, meski sering bertentangan denganku.

Seperti malam kemarin. Aku baru pulang kerja, Ojisan mengajakku minum teh di ruang makan yang menghadap taman belakang. 

Kami duduk berhadapan, beralas tatami - tikar anyaman rotan- dengan meja rendah yang terhidang perangkat minum teh dan wagashi sebagai kue pelengkapnya.

Aku duduk bersimpuh dengan posisi badan tetap tegak. Meski aku  akrab dengan kakekku, saat minum teh begini, aku tetap memegang teguh adat dan adab.

Gemericik air mancur buatan, serta aneka ikan koi yang menyembul membuat suasana menjadi rileks. Ditambah dengan aroma dan hangatnya teh hijau, membuat penatku hilang.

Namun aku menduga, pasti ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan, sebab selama ini jika Ojisan mengajakku minum teh, bukan sekedar minum saja. 

Perlahan aku menuangkan ocha (teh) pada cangkir keramik Ojisan. Ojisan menyesap tehnya perlahan. 

"Usiamu sekarang berapa?" tanya Ojisan setelah menyesap tehnya. Dia menatapku dalam, aku balas menatapnya, didera berbagai pertanyaan.

"Dua puluh enam kurang tiga bulan," jawabku. Aku pun menuang teh dan menyesapnya.

"Baiklah, tepat di usia dua puluh enam, kau akan menikah!" 

Ojisan mengatakannya dengan tegas, kemudian memakan wagashi dengan perlahan.

"Heh, doushite-kenapa?" Aku membelalakkan mata, hampir tersedak teh yang tengah kuminum.

Sepersekian detik, aku berusaha berpikir waras. Barangkali kakekku ini sedang bercanda, atau barangkali beliau lupa kalau cucunya ini bahkan belum memiliki calon istri.

"Kau akan menikah dengan anak Tuan Kimura!" tegas Ojisan, seperti suara gelegar guntur.

Kali ini aku benar-benar tersedak, lalu terbatuk.

"Se-se-sebentar, Ojisan, maksudmu, anak Tuan Ki-ki mura, Nares-chan?" tanyaku gagap.

Dengan tenang Ojisan menyesap tehnya lagi, lalu mengangguk. 

"Memangnya kau pikir siapa lagi? Kau tidak mungkin, 'kan menikah dengan Kimura Purwatama?!" 

Aku menggeleng cepat. Kali ini Ojisan sedang bercanda, tentulah siapa yang mau menikah dengan pria. Tapi ini Nares? Jelas-jelas Nares yang dimaksud. Kimura Nareswari yang aku jahili kemarin siang. Aku habiskan tempe mendoannya dan dia berang bukan kepalang.

"Ano …, Ojisan, eeh … maksudku, apa sudah kau pikir matang-matang? Maksudku lagi, Nares itu gadis yang absurd, aneh, dan …."

"Tapi dia manis, 'kan?" potong Ojisan cepat. Aku perlu waktu sepersekian detik untuk mengakuinya, meski dalam hati dengan kilat aku telah menjawab "iya".

Ojisan masih menatapku dalam.

"Dia manis?" Ojisan mengulangi pertanyaannya lagi, juga dengan tatap mata yang tak bisa kulawan.

Aku mengangguk perlahan.

"Dia baik?"

"Ya," jawabku cepat.

Meskipun dia suka bertindak semaunya dan bicara seenaknya padaku, kuakui Nares gadis baik. Sudah belasan tahun aku mengenalnya. Dia tak pernah tega melihat orang lain kesulitan. Dia bahkan membantu beberapa teman yang kesulitan, membutuhkan uang, meski akhirnya sifatnya itu kerap dimanfaatkan dan disalahgunakan. Dia memang gampang meledak, tapi dia bukan pendendam. Sekalipun marahnya absurd.

"Dia berasal dari keluarga baik-baik?" tanya Ojisan lagi.

"Iya," jawabku mantap dan mengangguk dalam.

Jelas, aku kenal sekali keluarganya. Tuan Kimura Takeru dan Tante Widiaswari, adalah kedua orang tua yang sukses mendidik kedua anaknya. Tama pun sukses dengan pendidikan dan karirnya. Nares, sarjana dari universitas negeri di Indonesia.

Dia tidak pernah malu membantu usaha kuliner ibunya. Dengan sukacita dia mengantarkan katering ke beberapa kantor. Dia pun tak pernah mengeluh menjadi pelayan di rumah makan Tante Widia.

Meskipun alasannya cukup absurd- dia tak ingin waktunya habis untuk bekerja- maka dengan  membantu ibunya, dia berharap memiliki waktu lebih untuk menggarap novelnya, ya, Nares adalah novelis. Sudah belasan novel yang diterbitkan dan terpajang di toko buku besar di Indonesia.

Tama dan Nares adalah hasil didikan dari dari keluarga Kimura, jelas mereka adalah anak baik-baik dari keluarga baik-baik.

"Kalau begitu, semua alasan itu cukup untuk memilihnya menjadi cucu mantuku!"

Aku tergagap, mendengar Ojisan melanjutkan perkataannya.

"Eh ... ta-taa-pi ...." Aku masih tidak percaya dengan semua ini.

"Tapi apa? Tapi hanya dia wanita yang dekat denganmu sejak dulu 'kan? Yah, setidaknya sejak kalian beranjak dewasa." 

Ucapan Ojisan seperti peluru yang melesat mengenai sasarannya. Tepat di jantungku, aku tak bisa menghindar. Wajahku pias, aku menggaruk kepala yang tak gatal. 

"Dan, hanya dia yang kau sukai 'kan?" tembak Ojisan

Mataku terbelalak sempurna. Aku tak mampu berkelit, lantas membeku. 

"Tak usah kau jawab, bahkan mata dan gerak tubuhmu sudah menjawabnya. Kalau begitu, kau bisa menikahinya. Aku akan mengatur perjodohan ini."

Kepalaku seperti digodam palu.

"Nande, perjodohan?! Ojisan, cotto mate-tunggu sebentar! Ano … maksudku, tidak usah dengan perjodohan, nanti aku saja yang melamarnya sendiri. Kupikir tak perlu tergesa-gesa, aku hanya perlu waktu sampai dia juga benar-benar menyukaiku …"

"Sampai kapan?" sergah Ojisan. "Bahkan entah sudah berapa lama kau pendam rasa cintamu. Apakah sampai Nares menikah dengan pria lain? Lalu kau menangisi kebodohanmu?!" sentak Ojisan.

Aku menelan ludah.

"Gomen (maaf)." Aku membungkukkan punggung dalam. Meski aku juga tak paham, apakah aku benar-benar salah? Sebab ini urusan perasaan. Mengapa jadi serumit ini. 

Pelan-pelan kutegakkan tubuh kembali.

"Ano … maksudku, apakah tidak terlalu kuno jika memakai cara perjodohan, padahal aku saja bukan putera kerajaan di zaman heian atau pun edo. Kupikir tidak usah pakai cara seperti itu." Aku menjelaskan dengan hati-hati.

Oujisan terdiam, menutup matanya dengan tangan dilipat di dada. Semoga saja dia mempertimbangkan usulku barusan. Aku heran, bagaimana Ojisan bisa tahu kalau aku menyukai Nares. Tapi saat ini aku tak mau berpikir mengenai hal tersebut. Saat ini aku harus berpikir bahwa perjodohan ini harus dibatalkan, meski aku menyukai Nares, aku tak sepakat dengan cara Ojisan. Aku bak pecundang yang kalah perang, lalu bersembunyi di balik punggung Ojisan untuk melanjutkan pertempuran.

Perlahan Ojisan membuka mata. Keringat sudah membasahi pelipisku. Rasanya ini jauh menegangkan jika dibandingkan saat aku mempresentasikan proyek di depan klien. 

Ojisan berdehem. "Kuno katamu,ya?" tanya Ojisan dengan suara dalam. Dengan takut aku mengangguk di hadapan pria berusia tujuh puluh tahun, namun tetap berbadan bugar dan proporsional. 

"Mana lebih kuno, perjodohan ini atau kau yang menutupi perasaan cintamu? Mana lebih kuno, aku yang melamarkan, atau kau yang bertahan dengan perasaan sendiri, hingga akhirnya yang dituju pergi!"Ojisan mengeraskan suaranya, menuding hidungku. Ia benar-benar membuatku surut dan tertunduk.

"Baka! Jepang sudah menjadi negara adidaya dengan teknologinya, kau masih mencintai anak gadis orang dengan diam-diam! Jepang sudah memiliki banyak astronot dan pilot pesawat tempur andal, kau masih sibuk dengan urusan kisahmu yang rumit!" lanjutnya lagi. Ojisan lalu mengatur napasnya yang memburu. 

Meski masih terlihat bugar, di usianya kini, aku khawatir jika emosinya bisa mengganggu kesehatannnya. Aku makin tertunduk, bak pesakitan yang hendak dieksekusi. 

Kulirik Ojisan yang kembali menyesap tehnya. Kutuangkan lagi teh dari teko keramik ke dalam cangkirnya. Setelah situasi kembali tenang, aku bersuara.

"Haik, so desu -baik, aku mengerti. Lalu apa yang mesti kulakukan, Ojisan?"

Aku bagai prajurit yang kalah perang. Seketika Ojisan tersenyum lebar, wajahnya semringah. 

Aku tersenyum kebas. Entah harus bersyukur atau merasa masygul. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa menuruti permintaan Ojisan, meski seribu rasa berkecamuk di hati.

"Nanti aku yang akan atur perjodohan ini. Informasi pertama yang kudapatkan, Nares tidak memiliki calon suami, pacar, juga tidak sedang dekat dengan siapapun. Jadi aman bagiku untuk menjodohkan denganmu." Ojisan tersenyum penuh kemenangan.

Tentu saja Ojisan tidak tahu siapa pujaan hati halusinasi Nares. Alex Wiraatmadja. Seorang influencer, fotografer, dan penulis jurnal perjalanan. Tapi namanya halusinasi, Alex hanya ada pada halusinasinya Nares. Mereka tak pernah bertemu. Bahkan Alex pun sama sekali tak mengenal Nares.

Namun, meski halusinasi, aku tidak merasa nyaman mendengarnya terus menerus memujinya. Apalagi jika menikah dalam keadaan seperti ini. Entah ….

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status