Share

Jika Aku Khilaf

Kau sudah tahu, ya, kalau kita dijodohkan?" tanyaku tajam pada Sho.

Setelah rapat keluarga malam tadi, paginya aku segera menghubungi Sho.Kami bertemu di Arashiyama Park. Menurutku jauh lebih baik bertemu di luar, daripada di rumah. Apalagi untuk membicarakan hal sensitif seperti ini. Sebenarnya tidak terlalu canggung bertemu dengannya, mengingat aku dan dia sudah berteman sejak kecil.

Waktu kecil hingga remaja, Sho tinggal di Jakarta, rumah kami bersebelahan. Ayahnya dan ayahku berasal dari Kyoto, sehingga hubungan antar keluarga juga sangat akrab. Kemudian setelah dia beranjak dewasa, orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat, dia pun kembali ke Kyoto tinggal bersama kakeknya. 

Kami memang sudah mengenal karakter masing-masing, tapi rasanya jika menjadi istrinya, bukan sebuah pilihan menarik. Big No! Ini bukan masalah dia baik, tampan, dan mapan. Tapi sedikit rasa cinta padanya saja aku tidak punya. Namun aku tak bisa melakukan apa-apa dengan keputusan yang telah diketuk. 

Di duduk di sebelahku. Wajahnya memandang ke depan. Air mukanya tenang, setenang mentari pagi. Berbeda denganku yang nanar dan penuh kesal menatapnya.

Sho menghela napasnya. "Tahu atau tidak, tetap tidak bisa mengubah apa yang telah diputuskan oleh keluarga kita, 'kan?" jawabnya lirih.

"Ish! Bisa dong!" jawabku cepat, lantas dengan berapi-api aku meyakinkannya, "Kenapa kau tidak bilang, kalau kau tidak mencintaiku. Bilang saja aku gadis slebor, tidak bisa masak, pemalas, suka bangun siang, suka kentut, suka seenak ...."

"Baka!" sergahnya cepat. 

Dia berbalik menatapku tajam. "Kau pikir mudah mengatakan itu pada orang tua, hah? Terlebih aku! Aku tak sanggup mengatakannya pada Ojisan-Kakek. Mereka berpikir perjodohan kita adalah yang terbaik."

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Sialnya, aku pun tidak bisa memberontak. 

"Kita udah kayak hidup di zaman heian, apa-apa dijodohkan. Kita sama sekali enggak punya kemerdekaan!" ucapku geram.

"Sama, aku pun enggak suka dengan cara-cara kuno begitu, tapi sekali lagi, kita bisa apa?" ujarnya putus asa.

Sho kembali membuang pandangannya ke depan. Sepertinya dia menerawang. Pasti dia pun bingung dengan keadaan ini.

"Baiklah kalau begitu, tinggal cara ini!" cetusku seraya menjentikkan ibu jari.

Sho menoleh ke arahku, mengernyitkan kening, lalu menggeleng perlahan.

"Jangan melakukan ide bodoh! Selama ini mana ada idemu yang cemerlang, hah!"

"Ish! Jangan menyepelekanku. Dengarkan dulu!"

"Ya, udah, apa?" Sho tampak tak antusias.

"Kita menikah dengan perjanjian. Pertama, jika di antara kita kelak menemukan cinta sejati masing-masing, maka itulah akhir dari pernikahan kita, alias bercerai. Artinya kita bisa mengatakan pada keluarga, kalau memang kita sudah tidak saling cinta. Bagaimana? Masuk akal, kan?"

Aku tersenyum lebar. Selebar iklan pasta gigi. Aku merasa hebat telah mencetuskan ide ini. 

"Heh, Nande? Sho menggelengkan kepalanya lagi. Tampak dia tidak setuju dengan ideku.

"Kenapa? Kau enggak setuju?" Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, tapi dia cepat berpaling sambil mengumpat.

"Totemo Baka -sangat bodoh!" Dia membuang pandangannya ke rerimbunan daun momiji yang berserakan di pelataran. 

Warna momiji di awal musim gugur ini belum sepenuhnya memerah. Antara kuning, oranye, dan semburat kemerahan, serupa dengan rasa gundahku yang tak jelas ini.

"Jangan menghindar, ayo lihat mataku. Kau tidak setuju dengan ideku? Hmm ...atau jangan-jangan kau mencintaiku dan menginginkan pernikahan ini, ya?" 

Seketika Sho langsung menoleh kepadaku. Air mukanya memerah. Menatap mataku dalam, dia lantas mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menarik tubuhku mundur.

"Ish, apa yang kau lakukan!?"

"Kalau aku mencintaimu, mungkin telah kukatakan sejak dulu," desisnya tajam.

Mendengar jawabannya sedikit membuatku lebih lega. Dengan begini, dia akan mudah kuajak bekerja sama.

"Yokatta-syukurlah!" jeritku gembira, kurangkul pundaknya. "Dengar, Sho, aku tetap mendoakanmu untuk mendapatkan seorang gadis yang kau cintai." 

Aku bisa tertawa lepas kini. Sho hanya terdiam, kulihat ekspresi wajahnya datar. Dia membuang pandangan jauh ke depan.

"Berarti sekarang tak ada lagi yang membuatmu susah untuk menyetujui ide perjanjian yang kubuat,'kan?"

Dia menoleh kepadaku. "Tapi itu bohong namanya, pernikahan kita jadi seperti kawin kontrak, kalau ketahuan, risikonya pasti jauh lebih besar."

" Terus, memangnya kau punya ide yang lebih baik lagi, hah? Kau saja tidak berani menolak permintaan Ojisan!"

"Ojisan sudah tua, aku tidak mau hal buruk terjadi padanya," potongnya cepat.

"Nah, maka itu, hanya ide ini yang baik untuk kita, bagaimana?" Aku menepuk-nepuk pundaknya. Dia menoleh kepadaku, ada keraguan di matanya.

"Baiklah aku setuju, tapi aku juga punya syarat!" cetusnya.

"Heh, syarat?" Mataku mendelik kepadanya. "Syarat apa lagi?" Kutoyor punggungnya ke depan, tapi dia sigap, hingga tak sampai jatuh tersungkur.

Tiba-tiba saja dia memegang pundakku. Aku termangu seketika.

"Dengar, meski pernikahan kita melalui sebuah perjanjian, tapi jelas di mata keluarga kita suami istri, jadi selama kita dalam satu ikatan bernama pernikahan, kita tetap menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri!" 

"Aku menolak!" sentakku seraya mengibaskan tangannya. Aku berdiri dan berkacak pinggang di depannya. 

"Pernikahan kita bisa dibilang bohong-bohongan, aku tidak bisa melayani seorang pria tanpa rasa cinta! Aku tidak mau bercinta denganmu!"

Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Barangkali dia salah tingkah. Peduli setan! Aku tidak setuju dengan syaratnya.

"Heh, pikiranmu itu mesti diluruskan, memangnya kewajiban suami istri hanya bercinta? Kalau bercinta sih, tidak mesti menjadi suami istri juga bisa!"

"Ish, pikiranmu yang mesum!" Aku membentak di depan wajahnya. "Bercinta memang tidak harus menikah, tapi kalau menikah, sudah pasti akan bercinta. Aku mau bercinta hanya pada orang yang kucintai. Meski jelek-jelek begini, eh … bukan-bukan, meski aku cantik dan menawan, aku tak pernah sekalipun jatuh pada pelukan pria, bercinta bagiku sesuatu yang sakral, menger …."

Tiba-tiba saja dia membekap mulutku dengan tangannya. 

"Urusan sepersonal ini tak perlu kau katakan keras-keras, didengar orang malu!" bisiknya tajam.

"Hmmppp … hmm… hmmp…," 

Kugigit saja tangannya yang membekap mulutku.

"Aw!" jeritnya spontan.

"Iya, aku mengerti, tapi di mana lagi kita bicara hal sepenting ini? Di rumah kita? Mau bunuh diri?" 

Aku memelankan suara, tapi penuh dengan ketegasan.

"Iya, tapi tak perlu sampai detil begitu!"

"Kalau kau tidak dijelaskan nanti tidak mengerti, sih!"

"Aku sebodoh itu 'kah?!" Dia akhirnya membentakku.

Aku surut, sepertinya aku telah membuatnya sangat marah. Baiklah, kuputuskan pulang saja. Cepat aku berbalik badan meninggalkannya, sebab percuma saja bicara, kami sama-sama keras. Mungkin ini adalah nasibku, menikah dengan pria yang tak kucintai. Dengan gontai aku berjalan menuju sepedaku. 

Namun, seketika dia menarik tangangku, menahan langkahku. Seketika aku terhenti, tapi tubuh ini masih membelakanginya.

"Baiklah, aku menyetujui idemu," ucapnya lirih.

Awalnya aku tak percaya dengan apa yang kudengar. 

Aku membalikkan badanku. Dia tengah menatapku lekat.

"Percayalah padaku, pada temanmu. Tapi selama menikah denganku, kau sepenuhnya tanggung jawabku."

Dia lalu menepuk-nepuk kepalaku, aku mengangguk dan tersenyum lebar. 

Dia lalu mengepalkan telapak tangannya, menyodorkan kepadaku. Aku juga mengepalkan telapak tanganku dan mendekatkan dengan kepalan tangannya. Itulah cara kami menyepakati segala sesuatunya, sejak kami berkawan karib sedari dulu. Seulas senyum terlukis di bibirnya, juga bibirku.

"Janji jangan macam-macam denganku, ya."

"Iya, kecuali …."

"Kecuali?"

"Jika aku khilaf!"

"Heh, Mizobata Sho, totemo baka!" 

Aku berteriak dan menoyor tubuhnya hingga ia terhuyung. Dia meringis, aku mendengus keras. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status