Share

Flower Travel
Flower Travel
Penulis: Raim Cha

Bab 01. Megan Rose

Hari ini adalah jadwal peminjaman buku di perpustakaan untuk kelas X_A IPS, yakni kelasku. Pada jam istirahat, aku berkeliling ke seluruh pojok dan rak perpustakaan, lalu akhirnya memutuskan untuk meminjam buku berjudulkan 'Flower Travel' yang memiliki sampul bergambar mawar hitam.

Ketika hendak meminta stempel pada pengawas perpustakaan, secara tidak sengaja aku menyenggol lengan seorang laki-laki hingga dia terjatuh dan kacamata dikenakannya menjadi sedikit retak. Serta merta mulut ini mengucapkan permintaan maaf, sekaligus membantunya bangkit. Semoga saja dia tidak meminta ganti rugi padaku perihal kacamatanya.

"I-iya, nggak pa-pa," ucapnya terbata-bata sembari menolak bantuanku. Dia pun menoleh ke arahku, lalu memalingkan wajahnya buru-buru.

Seketika aku tersenyum keki karena dia adalah Felix, ketua kelasku. Si laki-laki culun yang sering kali menghindar dariku tanpa memberikan alasan. Sebelum aku mengajaknya bicara, dia begitu sigap meminta stempel pada pengawas perpustakaan dan pergi ke luar secepat mungkin. Sikapnya seperti telah melihat setan yang akan membunuhnya. Tapi, sepertinya tampangku tidaklah seburuk atau semenyeramkan itu.

"Dia lari lagi tuh," ujar Sherly yang muncul secara mendadak di sebelahku. Sekadar pemberitahuan, dia adalah teman sebangkuku.

Napas berat terembuskan. "Seharusnya ketua kelas itu sering-sering berkomunikasi dengan teman sekelasnya. Tapi, dia malah kalang kabut setiap lihat wajah gue. Memangnya gue jelek, ya?"

Wajahnya memasang tampak jelek akibat kesal dengan perkataanku. "Udah aku bilangin. Dia itu takut sama kamu, gara-gara kamu sabuk hitam di judo!"

Lagi-lagi aku mendengar omong kosong itu. Tak mungkin ada laki-laki yang takut pada perempuan.

"Tapi, gue kan sudah keluar dari dojo! Gue nggak akan lanjut judo lagi," sergahku seraya melangkah menuju pengawas perpustakaan dan akhirnya mendapatkan stampel.

Kami melangkah ke luar bersamaan dan kepalaku mulai celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Felix, yang mungkin saja masih berada di dekat perpustakaan. Aku harus tahu mengapa dia terus menerus lari dariku.

"Nggak ada bedanya, Megan." Sherly memutar kedua bola matanya dan melanjutkan, "Nggak hanya felix aja yang takut sama kamu. Banyak lho anak-anak yang menghindari kamu karena takut kalau mereka ngelakuin kesalahan, bisa-bisa dibanting oleh kamu!"

Reflek tanganku mengibas pelan dan menjawab, "Pemikiran macam apa itu? Gue nggak begitu kali."

"Mereka semua memang ada-ada saja. Padahal, kamu ramah, lucu, asik, nggak pilih-pilih temen," puji Sherly membuatku salah tingkah. "Dan nggak pilih-pilih cowok yang disukai juga."

Aku menoleh dan menaikan sebelah alis. "Dih, lo kira gue suka sama si Culun itu?"

"Omongannya dijaga," tegur Sherly sembari meninju pelan bahuku. "Entar mendadak naksir, kan gawat."

Mana mungkin aku menyukai laki-laki semacam Felix. Ada-ada saja ucapannya.

Setelah berjalan sekian lamanya, kami sampai di taman belakang sekolah yang dipenuhi berbagai bunga dan anak-anak. Tempat ini benar-benar sesuai untuk membaca buku dengan udara segar.

"Lumayan sejuk rupanya, padahal gue pakai jaket begini." Kupegang ujung jaket jeans keren yang kukenakan akibat seragam sekolah sedikit tipis.

"Ngapain baca buku dongeng? Kita lagi ujian! Harusnya baca buku yang menambah wawasan." Sherly melirik bukuku dan tanganku langsung menutup wajahnya secara keseluruhan.

"Suka-suka gue. Nilai nggak penting sama sekali," kataku sok bijak.

Mengejar nilai dengan belajar mati-matian adalah hal yang melelahkan jiwa dan raga. Aku menolak cara tersebut apabila ingin meraih kehidupan idealis. Daripada melakukan hal tak mengalirkan motivasi ataupun passion, lebih baik balik saja ke realita.

"Hei, Sherly!"

Serentak kami berdua menoleh dan mendapati River telah memanggil Sherly. Si laki-laki berparas tampan dan berkedudukan sebagai kapten di klub voli. Sejujurnya, aku lumayan naksir kepadanya.

"Dipanggil Eva. Katanya, catatan bersama kemarin perlu dia koreksi dengan bantuan lo."

River adalah laki-laki tipekal humoris yang ramah pada semua orang, termasuk ke seluruh gadis. Meskipun tidak terlalu populer di sekolah, setidaknya pasti ada beberapa gadis yang menyukainya. Aku tidak terlalu berharap lebih atau berusaha untuk mendapatkannya.

"Hai, Megan!" sapa River dengan gaya jari two sign yang keren dan aku membalasnya menggunakan lambaian. "Mau gue temenin?"

Tanganku melambai kecil sebelum menjawab, "Nggak perlu. Temenin Sherly aja untuk ke Eva."

Satu kata sudah cukup untuk mendefinisikan Eva, yakni menyebalkan.

Asal tahu saja, sebenarnya kami bersaudara kandung dan karena dia memiliki otak encer, dia akhirnya berhasil menyetarakan kelas bersamaku. Dari perkataan ini, sudah jelas bahwa aku adalah kakaknya, meski hanya beda dua tahun. Secuil informasi, Eva tidak sebaik yang orang-orang kira. Cukup aku saja yang mengetahui sikap buruknya dan tidak mungkin kuumbar ke publik.

"Beneran?" River memastikan keputusaanku dan kepalaku langsung mengangguk. "Okelah. Gue cabut dulu."

"Aku pergi dulu, ya! Soalnya, dipanggil oleh Eva. Ada kerja kelompok yang harus diselesaikan," pamit Sherly dan langsung melangkah pergi meninggalkanku.

Kuusir pikiraan mengenai Eva dan mulai memfokuskan diri untuk membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan tadi.

Judul bukunya menarik. Ketika kubuka, debu mulai berterbangan yang menandakan bahwa sudah lama tidak dibaca. Aku kibaskan polusi udara tersebut dan mengusap halaman pertama yang hanya bertuliskan 'Apakah kamu percaya mawar hitam?' menggunakan tinta hitam bergaya lettering.

Halaman selanjutnya bertuliskan, 'Mawar hitam itu bukan mitos. Kalau tidak percaya, coba saja cari!' dan terdapat sebuah gambar vektor mawar merah.

Aku merasa aneh pada buku ini, dan seketika jempolku melibas di seluruh lembaran buku hingga semua halaman terbuka dengan cepat. Rupanya, setiap halaman hanya memiliki satu kalimat seperti buku quotes pasaran. Membacanya pasti hanya sebentar dan kucoba untuk membuka setiap halaman yang ada.

'Belum pernah mengitari dunia paralel, bukan? Mawar hitam bisa menjadi tiket perjalanannya!'

'Berwisata di pantai, kebun binatang, taman, semua itu membosankan. Cobalah wisata ke semesta lain.'

'Jangan merengek agar dapat kembali pulang! Seluruh dunia adalah rumahmu, tempatmu pulang."

'Mungkin, kematian seseorang bisa kamu lihat di sana dan tidak di sini. Jadi, jangan sedih, ya!'

'Jangan lari dari masalah, maka masalah itu akan terulang lagi. Tahu pengulangan masa, bukan?'

'Mawar hitam sangatlah sulit dalam memilih siapa yang ingin dipersilakan menuju alam semesta lain. Mungkin kamu bisa mendapatkan keberuntungan sebagai terpilih!'

'Oh, ya. Setelah ini, mawar hitam bisa saja mengindahkan hari-harimu.'

'Semoga bahagia bersama mawar hitam!'

Halaman sudah habis dan aku masih bingung terhadap isi buku ini. Tulisan-tulisannya seperti si penulis sedang memberi pesan kepada pembaca untuk mempercayai khayalannya terhadap mawar berwarna hitam. Padahal, mawar hanya berjenis merah dan putih.

Kepalaku mendongak ke depan dan langsung mendapati seorang nenek-nenek pengurus taman sekolah yang sedang menyirami sekitaran menggunakan selang panjang. Kemudian, Felix mendatangi beliau dan membicarakan sesuatu yang tak bisa kudengar dari posisiku ini. Setelah selesai berbincang, dia tak sengaja melihatku dan buru-buru dia menunduk seraya melangkah pergi hingga sirna.

Aku jadi ingin tahu, hal penting apa yang dibicarakan oleh mereka berdua.

Serta merta aku mendekati Nenek pengurus taman itu dan menyapa, "Permisi, Nek."

Awalnya, kulihat Nenek ini tersenyum. Namun, setelah melihatku, wajah beliau menjadi sendu dan kehilangan senyumnya.

"Ada apa, Nak?" tanya Nenek tersebut.

"Cowok tadi, ngomongin apa ke Nenek?" Aku berbisik agar tidak ada yang mendengar perkataanku.

Senyuman Nenek kembali terukir di bibir dan menjawab, "Dia mengingatkan Nenek untuk menyirami tanaman yang di pojokan juga."

Bisa-bisanya dia perhatian terhadap tanaman sekolah. Rupanya, gelar ketua kelas atasnya sangatlah pantas didapatkan.

"Kamu ingin melihat tanaman itu, Nak?" Nenek kembali bertanya dan nyaris saja aku menolak. Jika dipikir-pikir, tanaman apa yang dapat menarik perhatian Felix hingga kebutuhan airnya perlu diingatkan ke Nenek.

Aku mengangguk dan Nenek pun mengantarkan ke sudut taman di dekat pagar pembatas sekolah. Seketika aku tersentak kaget ketika mendapati sebuah pot kecil berisikan mawar hitam yang menjulang tinggi dan bertanda kesuburannya telah terjaga.

"Mungkin karena tanaman itu kurang air, makanya menghitam," kata Nenek dengan prihatin.

Sontak aku berjongkok di dekat bunga tersebut dan memegangi kelopaknya yang terlihat begitu segar, bukan seperti tanaman sakit.

TLAK!

"Ups." Kepalaku menoleh pada Nenek saat tak sengaja mematahkan tangkai mawar hitam itu ketika aku memeriksa secara keseluruhan.

"Tak apa. Mawar masih bisa dicangkok," kata Nenek yang membuatku lega.

Seketika pandanganku perlahan menjadi kabur dan mendadak nafasku sulit dikontrol. Bahkan, tubuhku tak mau menerima perintah dari otakku untuk bergerak ataupun mengeluarkan suara. Tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku dihempas ke bidang datar, dan tetap saja tak ada cahaya yang mengelilingku. Aku menjadi merinding dan berpikir bahwa jangan-jangan aku telah kehilangan kemampuan melihat.

Hening sejenak, dan bau yang familiar menyeruak ke dalam hidungku. Bukan aroma parfum, bunga ataupun makanan lezat. Melainkan pengharum ruang kelasku.

Rasa pegal menjalar di tengkukku dan perlahan mataku berhasil terbuka yang masih terasa lengket seperti baru terbangun dari tidur.

"Megan, ayo bangun."

Seketika aku duduk dengan tegap dan melonjak kaget. Kepalaku reflek ke segala arah akibat panik. Aku tidak berada di taman bersama dengan Nenek, melainkan di kelas sembari duduk di bangku biasaku.

"Hei, kamu kenapa?"

Reflek kepalaku menoleh dan mataku membelalak saat melihat Felix berbicara padaku. Kucubit pipi tirus ini dan memastikan jika semua yang terlihat adalah mimpi. Saat rasa sakit telah menjalar, rahangku terjatuh dan tak bisa mempercayai apa yang kualami sekarang.

"Masih ngantuk si Megan, Fel," sahut Sherly yang berada di sebelahku. Seharusnya dia kerja kelompok bersama Eva, bukan duduk di sebelahku!

Untuk kesekian kalinya, aku tersentak akibat mendadak Felix melakukan hal yang tak lumrah. Dia mengusap pipiku menggunakan tisu seraya menggeleng pelan. Aku tidak percaya jika dia sudah mendapatkan keberanian untuk mendekatiku.

"L-lo ngapain?" sergahku bersamaan dengan mengibaskan tangan Felix dari wajahku. Kini giliranku yang tergagap saat kami bertatapan satu sama lain.

Kedua alis Felix terangkat akibat merasa bingung. "Kenapa, Megan? Bukannya apa yang kulakukan sudah wajar?"

"Wajar apanya?" tanyaku buru-buru.

"Ya, wajar," Felix mendekatkan wajahnya padaku, "Karena ini sikap seorang pacar yang baik, 'kan?"

Rahangku tidak bisa terkatup, mataku masih membulat dan tubuhku membeku setelah mendengar ucapan Felix yang tak bisa membuatku percaya sepenuhnya.

- ♧ -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status