Share

Bab 05. Hari yang Menyebalkan

Ujian tengah semester hari ke tujuh, maka esok adalah yang terakhir. Aku harap Felix tidak mencoba mengajakku mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala.

Saat memasuki kelas, kulihat di depan papan putih adanya River merangkul Felix yang memasang raut canggung. Sepertinya bukan, tapi lebih ke rasa takut. Kepalanya menunduk, sedangkan River justru tertawa lepas bersama teman-teman lainnya. Bodoh, sudah tahu dia tidak cocok dalam pertemanan anak-anak gaul, tetapi masih saja menetap di ketiak River.

"Hai, Megan!" River melambai kecil ke arahku dan aku membalasnya menggunakan gerakan alis.

Sampai aku terduduk di bangku, mataku belum bisa lepas dari memandangi Felix yang begitu tertekan. Seharusnya dia pergi, bukan diam seperti itu.

"Fel!" teriakku secara terpaksa karena terlalu kesal dalam melihat pemandangan tersebut. Dia pun menoleh dan wajahnya kembali cerah saat melihatku. "Ke sini dong, ajarin gue bahasa inggris!"

Tiba-tiba Sherly mencolek bahuku. Tunggu dulu, aku tidak tahu jika dia sudah duduk di bangkunya dari tadi.

"Sekarang geografi. Kenapa malah belajar bahasa inggris?" tanyanya terheran-heran.

Tidak kuindahkan tanggapan Sherly dan menunggu Felix yang sedang berjalan ke arahku. Percayalah, laki-laki ini seperti merasakan kelegaan.

"River!" River menoleh saat kupanggil. "Lo masih lama kan berdiri untuk ngobrol di sana?"

Dia mengangguk. "Iya, kenapa?"

Spontan aku bangkit dan melewati Felix yang sudah sampai ke bangkuku. "Pinjem bangku lo, ya?"

"Boleh, dong! Apa sih yang enggak untuk lo," jawabnya dengan riang. Namun, raut mukanya berubah ketika kuseret kursi dari bangkunya dan meletakkan di samping bangkuku. "Lah, katanya lo mau pinjem bangku gue?"

Aku menoleh padanya kembali dan mengatakan, "Memang." Kemudian kembali menatap ke arah Felix. "Ayo duduk, ngapain lo main-main. Kan gue suruh lo untuk perbaiki nilai."

Tidak sengaja aku melirik River. Dia sedikit terkejut, tetapi mulutnya tidak bergerak seakan-akan diamnya adalah menolak untuk berkata-kata.

"Ayo, ajarin gue," pintaku pada Felix.

Kurampas buku tulis Sherly hingga dia mengomel, kemudian mengeluarkan bolpoin untuk Felix. Dengan senang hati, cowok super baik ini menjelaskan mata pelajaran bahasa inggris tanpa kusimak sedikit pun. Mataku hanya tertuju pada meja mengkilap ini dan berpikir bahwa hidupku terasa sedikit tidak tenang.

Waktu terasa begitu cepat sampai akhirnya ujian datang. Kuminta Felix untuk mengembalikkan kursi River dan dia pun menurut. Dia benar-benar lugu sampai aku merasa kasihan padanya.

Selama ujian, sesekali aku menyenggol Sherly untuk meminta jawaban, meskipun tahu dia tak akan memberikannya padaku. Posisi duduk kami berada di dekat tembok dan barisan ke dua dari depan. Jadi, aku bisa melihat ke seluruh ruangan hanya dengan melirik.

Felix tampak serius dalam mencorat-coret lembaran di hadapannya. Sementara itu, River ikut melirikku disertai senyuman jahil. Alih-alih salah tingkah, justru membuat tubuhku merinding. Aku benar-benar tidak cocok untuk dunia perbucinan, terlebih lagi seperti digoda.

Singkatnya, jam istirahat hadir dan seperti biasa, aku bersama Sherly pergi ke kafetaria tanpa membahas secuil pun ujian tadi. Hanya orang sok berambisi yang membicarakan hal seperti itu.

"Lo tahu nggak, sih? Gue ngelihat Felix kemarin basah kuyup," kataku yang memulai pergibahan ke Sherly. "Kenapa, ya kira-kira?"

Cewek di sebelahku menghentikan mulutnya dalam mengunyah nasi dan udang tumis asam. "Bukannya kamu udah tahu jawabannya?"

Aku menggedik bahu tanda tak tahu dan tidak peduli. Di tempo yang sama, mata ini melihat Felix menduduki bangku di sudut kafetaria. Sendirian dan pasti berhawa masygul. Manusia itu benar-benar menyedihkan.

Kuangkat baki beserta tubuh, kemudian mendatanginya dengan duduk berseberangan. Dalam seketika, mataku membelalak kaget saat merasakan ada yang melempar punggungku dengan sesuatu yang keras, lalu terasa cairan dingin menembus seragam polosku.

Kurang ajar. Ada yang melempariku menggunakan susu kotak. Eww, ini menjijikkan!

Sontak aku berdiri dan berbalik sambil mengedarkan pandangan hingga mendapati tiga orang yang saling menyenggol satu sama lain.

Tanpa berpikir lagi, aku memungut kotak yang masih berisikan susu tadi, lalu berjalan ke tiga laki-laki itu dan melemparkan susu ini di tanganku ke arah mereka. Karena merasa kurang, kurampas susu milik orang lain, kemudian melemparkan lagi ke dua objek tersisa.

"Kalau nggak suka sama gue, sini maju!" bentakku sampai membuat ketiga pelaku tersebut lari pontang panting.

Mendadak, Felix menarik tanganku pelan-pelan dan aku hanya menurut karena memang badanku sangat butuh dibersihkan.

"Ayo, aku temani untuk bersihkan tubuhmu."

"Oke."

Saat kami sampai di depan toilet khusus perempuan, dia pergi langsung untuk mengambil seragam ganti di gudang OSIS.

Selama beberapa saat, kulepas seragam yang sudah terasa lengket dan membilasnya dengan kesal. Mulutku tak henti-hentinya menggerutu sampai pintu toilet utama terketuk yang mengartikan atas kehadiran Felix.

Pintu terbuka kecil, tanganku menjulur ke luar dan menerima paper bag berisikan seragam berbau debu. Mau tak mau, aku mengenakannya, lalu memasukkan seragam yang sudah kuperas dan lembab tadi.

Setelah ke luar dari toilet, muncul aroma yang lebih tak sedar daripada susu tumpah ataupun apak di seragam pinjaman ini. Seperti bau amisnya telur mentah. Tidak hanya itu, mataku mendapati rambut Felix yang basah seperti kemarin.

"Lo kenapa sih basah-basahan mulu dari kemarin?" Aku bersungut-sungut dalam menatapnya. "Jangan bilang lo maniak air."

Felix menjadi bingung dalam menjawab. Matanya melirk ke kiri sembari berkata, "Aku memang suka basah-basahan begini. Maaf kalau nggak nyaman saat dipandang."

Selanjutnya, Felix berbalik untuk pergi dan tanganku sontak menarik kertas bertuliskan 'Dumb' yang tertempel di punggungnya. Sebelum aku melemparkan pertanyaan, dia sudah meninggalkanku lumayan jauh.

Tempelan tadi hanya sebuah candaan belaka dan sepertinya aku tak perlu berpikir berlebihan.

Selama seharian penuh, wajahku terukir jelek karena bete. Terlebih lagi saat ujian, aku menjadi asal menconteng jawaban. Andai saja aku mengenal tiga orang tadi, akan kuberi pelajaran pada mereka hingga tak berani menampilkan wajah di depanku lagi.

Tambahan pula Eva yang menyadari suasana buruk hatiku hingga membanjiriku dengan beribu pertanyaan saat pulang sekolah. Dasar anak sok perhatian. Dia kira, aku akan memuji sandiwaranya tersebut? Tentu tidak sama sekali.

"Hei, Megan. Lo nggak mau lihat ranking harian ujian kemarin?" Eva menunjukkan kertas pengumuman nilai dan peringkat harian kepadaku. Matanya mulai berbinar dan menunggu reaksiku saat kulihat nama Eva berada di nomor satu. "Gimana? Nama lo di ranking mana?"

Tidak kugubris cicitannya dan fokus ke arah nomor 51 yang bertuliskan nama Felix, sedangkan namaku berada di atasnya tepat. Laporan nilai ini pasti salah sampai-sampai menuliskan peringkat acak-kadul begini.

"Lo nyolong kertas pengumuman ini dari mading kantor, 'kan?" tanyaku menggunakan air muka serius.

"Iya dong. Perjuangan bangget gue mendapatkan ini demi nunjukkin ke lo sama Ibu," jawab Eva pongah.

Jelas-jelas dia tahu bahwa aku tidak pernah tertarik dengan keberhasilannya.

Di kala mobil kami ke luar dari parkiran sekolah, secara tak sengaja terlihat pemandangan Felix sedang berjalan sembari membawa sepeda hibrid lusuh yang tidak dinaikinya.

- ♧ -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status