Share

Bab 06. Kematian Felix

Sesuai yang aku katakan, esok adalah hari terakhir ujian. Tunggu dulu, maksudku hari ini. Ah, otakku mulai kurang mendapatkan koneksi. Ini pasti gara-gara hal menyebalkan kemarin.

Selama di sekolah, aku baru tahu jika River dan Felix berteman dekat hingga berjalan bersama terus menerus. Walaupun mereka tampilannya sangat terbanting jauh, seperti Felix yang berkerut-kerut seperti kanebo kering dan River seperti biasa yakni selalu ceria. Namun, aku merasa lega karena si kacamata itu mau bergaul akrab dengan anak-anak tergolong asyik tersebut.

Karena masih merasa jengkel perihal susu kemarin, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantin ataupun kafetaria hanya hari ini. Yeah, aku tahu bahwasannya atlet harus menaikkan berat badan dengan makan tertatur, tapi ya sudahlah.

"Megan!" River menghampiri bangkuku tanpa bersama Felix di kelas. "Nggak mau ke kafetaria? Lauknya enak, ada tumis cumi dan sup rumput laut."

Kepalaku menggeleng untuk menolak.

"Kalau ke kantin, gimana?"

Lagi-lagi aku menolak melalui raut muka masamku.

Di waktu bersamaan, pintu kelas terketuk dan masuklah seseorang yang mengatakan, "Halo, ada ketua kelas kalian si Felix, nggak? Ada atau enggak, bilangin kalau dia dipanggil ke kantor kepala sekolah."

Kepalaku balik menoleh ke River. "Kenapa Felix sampai dipanggil ke kantor?"

"Masa lo nggak tahu? Palingan, masalah beasiswa." Serta merta alisku menyatu disebabkan bingung oleh perkataan River. "Nilai dia akhir-akhir ini menurun, dan mungkin bakal ditegur oleh pihak sekolah."

Mengetahui itu, aku jadi berpikir keras mengenai apa faedahnya berpacaran sampai memperburuk nilai. Kudoakan semoga Felix dapat mempertahankan beasiswa yang dia miliki.

Dalam seperkian detik, orang yang kupikirkan sedang memasuki kelas dengan kepala menunduk. Beberapa anak kelas memberi tahunya untuk ke kantor kepala sekolah dan dia yang masih berada di ambang pintu menjadi langsung berbalik keluar kelas. Terlihat punggungnya terdapat bercak hitam yang tidak bisa kutebak noda apa itu. Sebaiknya aku tidak perlu memikirkan kehidupan orang lain yang rumit karena menambah-nambah beban otak saja.

Lupakan, balik ke perjalanan singkat hidupku.

Pada akhirnya, sekolah mengakhiri masa-masa memanaskan otak dan untuk beberapa hari lagi akan ada acara penghargaan pada murid-murid menginjak tiga kejuaraan. Kemudian, liburan selama sebulan akan dimulai.

Sembari menunggu hari terakhir di semester awal, semua kelas akan diberikan jam kosong dan hanya diwajibkan absen untuk laporan ketertiban. Seharusnya libur saja sejak awal, karena tak ada gunanya masuk di hari-hari setelah ujian.

Di sela-sela keributan kelas, mendadak banyak anak-anak yang berlarian di koridor dengan begitu ricuh. Akibatnya, seisi kelasku ikut ke luar dan pergi ke arus yang dituju. Aku pun tidak kalah kepo, lalu menarik salah satu anak yang sedang berlari.

"Nama lo siapa?" Aku berbasa-basi sebelum ke inti pertanyaan.

"Ver ..."

"Oke-oke. Jadi, kenapa pada lari?" selaku tanpa mempedulikan kelanjutan namanya.

"Katanya ada yang mau bunuh diri di gedung ekskul."

Tanpa melanjutkan pembicaraan, kakiku langsung melesat dan menyalip semua orang hingga sampai ke titik di mana berkumpulnya para penonton yang sedang memandang ke atas seperti upacara bendera. Banyak teriakan-teriakan perintah sekaligus makian terlontarkan. Kepalaku langsung mendongak, namun akibat silaunya matahari, penglihatanku mulai perih dan berkali-kali mengusap mata sampai dapat beradaptasi oleh cahayanya.

Selama beberapa detik, aku berhasil melihat seorang yang berdiri di luar pagar pembatas rooftop gedung. Dia sama sekali tidak menggubris ancaman atau perintah dari semua penonton di bawahnya. Benar-benar menjengkelkan dan tanganku gatal untuk mendorongnya sungguhan.

"Nggak bisa disusul ke atas. Pintu atap dikunci dan mungkin terganjalkan oleh sesuatu hingga tak bisa didobrak!" teriak seorang anak yang berada di lantai kedua gedung ekskul.

"Dobraknya berjamaah, woi!" sahut anak yang berada di bawah.

"Pintu rooftop dari besi! Sama aja boong!" seru yang lainnya.

"Tenang-tenang. Sudah dipanggilkan polisi untuk membantu. Kalian nggak usah panik!" Seorang guru BK dan kuketahui bernama Pak Bejo mulai menenangkan anak-anak di sini. "Sekarang, kalian cepat ambil matras pada gudang olahraga dan tebarkan tepat di bawah anak itu. Ayo! Yang lainnya, kalian menjauh dari sini!"

Serentak beberapa anak berlarian untuk menjalani perintah dan aku bersama lautan manusia kepo memundurkan diri secepat mungkin. Namun, di waktu bersamaan sebuah kacamata tanduk terjatuh dari atas dan menghasilkan sedikit retakan di sudut kacanya.

Sejenak saja ... aku termenung. Jangan katakan seandainya itu adalah kacamata milik Felix.

Seketika otot-ototku menegang, tubuhku berdesir dan mulut ini tidak dapat terkatup di kala melihat orang yang berada pada rooftop mulai menghempaskan dirinya ke udara.

Gila, itu adalah gedung berlantai empat dan dia bisa celaka!

Secepatnya aku menyeruak panik ke kerumunan sekuat mungkin dan berharap agar bisa sampai ke titik jatuhnya orang tersebut. Kedua tanganku menjulur ke depan agar bisa menangkapnya walau mendapatkan risiko patah sekali pun.

Akan tetapi, semuanya sudah berakhir, atau lebih tepatnya aku terlambat.

Suara-suara terkesiap, teriakan histeris, bahkan degup jantung yang kencang sedang menggema di telingaku. Mulutku ingin ikut berteriak, tetapi sebuah seseorang langsung membekapku perlahan dan satu tangan menutupi mataku.

"Jangan dilihat," bisiknya.

Apa yang kulihat tadi adalah aliran darah yang berasal dari benturan kepala dan leher tidak lagi lurus secara normal. Kedua mata yang pertama kali kulihat tanpa dihiasi apapun menjadi membulat dan bengkak.

"Ayo kita menjauh," lagi-lagi suara bisikan tersebut. Tanpa menoleh, aku tahu bahwa dia adalah River.

"Itu, bukan Felix, 'kan?" tanyaku setelah dibawa menjauh olehnya.

"Tenanglah, Megan. Gue tahu lo pasti shock banget ..."

Tidak ada lagi kalimat yang bisa kudengar jelas darinya. Wajahku seperti triplek datar, sampai-sampai tidak tahu harus menampakkan reaksi apa.

Menyebalkan, halusinasi yang benar-benar tidak patut ditoleransi. Ini pasti mimpi, tebakanku tidak salah lagi. Mana mungkin masa-masa remajaku yang normal, justru disajikan kengerian seperti tadi. Lucu juga, ada-ada saja bunga tidur ini.

Hanya sampai di situ aku berpikir jika semua ini sekadar mimpi, hingga berakhir sebuah acara dukacita diadakan khusus tepat saat matahari tenggelam pada rumah duka umum.

Adapun semua penghuni International Culture High School disarankan untuk datang. Ah, itu adalah nama sekolahku, yang seharusnya aku tidak mendadak melupakannya.

Rupanya aku baru sadar bila sudah memakai pakaian serba hitam. Sekaligus, di hadapanku tertera satu figura yang terhiasi pita hitam-putih. Ada pula bunga-bunga krisan yang memperindah sekelilingnya. Oh ya, sepertinya itu adalah foto formal yang biasa dipakai untuk identitas rapot sekolah.

Betapa menyebalkannya orang di foto itu dengan memasang senyuman bahagia yang sudah jelas palsu.

"Megan." Sherly berdiri di sampingku dan memegangi kedua bahuku. "Kamu udah sejam lebih berdiri di sini."

Kuberikan satu tangan padanya sebelum berkata, "Cubit gue."

"Ini bukan mimpi," tegasnya yang membuatku menyeringai lebar. "Megan, duduk sebentar saja. Ayolah."

"Bukan mimpi?" Kepalaku menoleh ke arahnya dan bibirku bergetar hebat karenanya. "Itu beneran Felix?"

Sesudah Sherly mengangguk kecil, air mata yang tidak terbendung langsung pecah hingga membasahi pipi dan bajuku.

Tangisanku terlalu berlebihan hingga tidak ada suara sedikit pun yang keluar dari mulutku. Jadi, ini yang dinamakan berkabung. Sangat tidak enak dan menyakitkan kepala.

Otakku masih menyimpan memori yang di mana Felix meninggal mengenaskan akibat benturan batu di pinggir lapangan sekaligus patah leher. Dia menyerahkan nyawanya di depanku tepat! Betapa kejamnya cowok itu dalam menunjukkan kehororan sampai sulit terhempaskan dari pikiranku.

"Megan, sudah-sudah." Tangan Sherly menepuk-nepuk pundakku agar dapat menenangkanku.

"Dia kenapa harus begini, Sher," racauku sembari menjambak rambutku kuat-kuat. "Gara-gara beasiswa? Atau karena gue yang mutusin dia? Jadi, gue pembunuh Felix ..."

"Megan!" sela Sherly yang memotong ucapanku. "Nggak mungkin begitu. Dia pasti ada masalah lain, dan bukan karena kamu."

"Tapi, sela waktunya sangat berdekatan," keluhku, lalu Sherly berdesis sembari menempelkan telunjuknya di bibirku.

Tawaku menyembur akibat emosi yang bercampur aduk. Aku tepiskan tangan Sherly dari wajahku dengan sedikit kasar.

"Ini mimpi, lo aja yang nggak tahu!"

Tanpa mengizinkan Sherly menyanggah kata-kataku lagi, kaki ini berlari kencang ke luar rumah duka dan memecahkan angin dengan kecepatanku. Tujuanku kali ini adalah sekolah, tempat itu yang menjadi awal keanehan hidup tentramku. Tidak peduli seberapa jauhnya ataupun sedikitnya stamina kumiliki. Selagi jarum jam tak menandakan tengah malam, tiada yang perlu dikhawatirkan.

Gang-gang sempit, jalanan besar sampai nyaris tertabrak kendaraan, kejaran anjing yang kalah dariku dan tembok penghalang jalan terdekat, sudah terlewati semua hingga tibalah aku di depan gerbang hitam sekolah.

Paru-paruku memompa oksigen lebih cepat. Sejenak kutenangkan diri, kemudian menerobos masuk ke dalam, walaupun dihalangi oleh satpam yang memiliki name-tag bertuliskan 'Asep'.

Kakiku lanjut berlari akibat dikejar oleh tukang larang tadi. Untung saja dia orang tua yang masih membutuhkan kesehatan untuk keluarganya. Jika tidak, sudah kubanting akibat menghalangi jalan.

Kelokan-kelokan koridor terlalu banyak hingga aku sering mengepot akibat licin.

Walhasil, hadirlah aku di taman belakang sekolah. Gara-gara tempat ini dan bunga yang tumbuh berwarna hitam tersebut, aku mengalami fantasi aneh. Semoga saja aku tidak terkena gejala skizofrenia karenanya.

"Ada apa, Nak? Kenapa ke sini di saat jam malam?"

Suara nenek penjaga taman muncul di belakangku dan tangannya menepuk pundakku.

Baru saja mulutku terbuka agar menjawab pertanyaan tadi, suara teriakan satpam yang mencariku terdengar menggema dan bertanda sudah dekat dari sini.

Otomatis aku kembali berlari, kemudian tersungkur saat berada dekat di sisi pot mawar hitam.

"Aduh, Dek. Ayo keluar dari sekolah." Suara Pak Asep telak di belakangku.

Tanpa menghabiskan waktu untuk bangkit, kulurkan tanganku sembari diberi dorongan kaki untuk mencapai tangkai mawar hitam.

Ayolah, beberapa centi dan inchi lagi!

TAK!

Bagus! Aku berhasil dan bunga itu terjatuh di tanah. Ayolah, usaha atas pembuangan energiku jangan sampai sia-sia! Aku hanya ingin kembali ke kehidupan normal semula!

Akhirnya, ujung bibirku melengkung dan napas lega terembuskan saat pandanganku berubah gelap secara total.

- ♧ -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status