Share

Bab 08. Perundungan

Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.

Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.

Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.

Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.

Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.

Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.

Ketika ujian telah terlaksanakan dengan baik dan waktu pun habis, sang pengawas tidak kunjung berdiri dari tempatnya.

"Seperti biasa untuk hari ini akan kita umumkan nilai-nilai ujian kemarin," ujar sang pengawas yang membuatku terheran-heran.

Seharusnya, nilai ujian ditempelkan pada mading, bukan dibacakan.

"Untuk ke sekian kalinya, nilai tertinggi dan sempurna pada dua mata pelajaran telah didapatkan oleh Megan Rose."

Hening. Di sela-sela keterkejutanku dalam diam, tidk ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, seperti bertepuk tangan, mengucapkan selamat atau menoleh ke arahku. Seakan-akan aku adalah makhluk tidak kasat mata.

Sudah pasti laporan mengenai nilai tadi adalah kesalahan besar. Mana mungkin nilaiku menjadi yang tertinggi daripada Eva maupun Felix. Jelas-jelas aku tidak pernah berminat pada belajar. Bahkan, berimajinasi untuk menjadi yang terpintar saja tidak akan pernah terbesit dalam otakku.

Sang pengawas pun mulai menyebutkan satu persatu nilai anak-anak, kemudian pergi ke luar hingga diikuti seisi kelas.

Atmosfer di sini benar-benar aneh. Maka karena itu, aku memutuskan untuk keluar kelas dan berkeliling sekolah. Siapa tahu aku menemukan mawar hitam yang akan membawaku ke dunia asliku.

Akan tetapi, hal yang tak kuduga muncul di depan pintu kelas. Salah satu teman sekelasku sedang mengulurkan tangannya seraya berkata, "Bagi duit dong, Miskin."

Mungkin kepalanya sudah terbentur sesuatu sampai berani mengatakanku adalah orang miskin. Yang benar saja, mana mungkin aku seperti itu, terlebih lagi orang tuaku mampu memasukanku ke sekolah internasional. Oh ya, seharusnya jika dia punya otak, maka menjauh dariku. Padahal sudah kutunjukkan tadi bagaimana amukanku saat diganggu.

"Tuli, ya?" sambung gadis itu yang membuatku kesal.

Sebelum kuraih tangannya untuk adegan membanting, Felix muncul dan menarikku pergi.

Akhirnya, sampailah kami dengan duduk pada bangku kayu panjang di depan sebuah kantin yang mirip seperti kedai sayur. Kemudian, Felix membeli dua botol teh dan tiga snack coklat menggunakan kantong plastik, lalu membaginya denganku.

"Kamu nggak pa-pa?" tanyanya sembari membukakan botol teh, lalu memberikan padaku. Tidak biasanya aku berpergian ke luar kelas tanpa Sherly, terlebih lagi bersama Felix. "Dan, sejak kapan kamu belajar aikido ..."

"Judo," selaku sebelum meneguk teh.

Felix menaikkan kedua alisnya. "Kamu ngikutin aku untuk menjadi atlet judo?"

Reflek kusemburkan sedikit teh ke arahnya. Pertanyaan konyol itu berhasil membuat wajahku tercengang sejadi-jadinya.

"Elo? Elo atlet judo?" Mataku memandanginya secara keseluruhan. Dari bentuk bahu lumayan lebar dan lengannya tidak seloyo biasanya. Felix benar-benar mengikuti olahraga tetap! "Sejak kapan?"

"Kenapa kamu nanya balik?" Felix terlihat lebih bingung dan tangannya masih mengusap-usap wajah yang basah oleh semburanku menggunakan tisu dari sakunya. "Hari ini kamu lumayan aneh, Megan."

Dunia ini yang aneh, bukan aku!

"Coba gue tanya satu hal." Kuletakkan teh botol di atas meja dengan sedikit keras, hingga menghasilkan bunyi yang memancing pandangan seluruh mata. "Kenapa gue dibully oleh anak-anak sialan itu?"

Punggung tangannya mulai menempel di dahiku sebelum mengatakan, "Kamu amnesia?"

"Lo malah nanya balik!" Akibat kesal, aku menepis tangannya dan bangkit untuk pergi.

Aku tidak betah di tempat ini, dan lebih baik pulang lalu menenangkan diri.

Berjalan di keramaian seperti ini membuat tidak nyaman akibat banyak sorot mata memandangiku. Bukan tatapan kagum atau takut, melainkan kebingungan. Kesekian kalinya aku lewat, terdengar bisikan-bisikan bak ular mendesis. Mungkin hanya rasa ge-er-ku saja, tetapi mata mereka tidak bisa berbohong.

"Itu Megan anak IPS unggulan? Kok sekarang beda?"

"Apa dia muak diganggu, lalu baru ngeluarin taringnya?"

"Pantesan berani jalan sendirian begini, dia udah jago beladiri ternyata."

Oke deh. Mungkin lebih baik aku lenyap dari sekolah, atau maksudnya dunia ini. Omong-omong di mana letak mawar hitam itu?! Kepalaku cukup lelah untuk menoleh ke segala arah dalam mencarinya terus.

"Hai, Megan!" Eva muncul di sebelahku dan menyapaku riang. Kuberikan isyarat alis sebagai tanda respon. "Tumben nggak bales nyapa."

Nada imut yang dibuat-buatnya sudah biasa kudengar. Namun, pertama kali bagiku merasakan disapa oleh saudariku sendiri. Tidak biasanya dia mencoba akrab seperti ini.

"Ouch!" Mendadak Eva terjatuh dengan keadaan duduk dan merintih kesakitan. Tidak kupedulikan sandiwaranya dan lanjut berjalan di koridor menuju kelas. "Megan, kok kamu tega dorong aku?"

Kepalaku sontak menoleh dan menyatukan alis. Bukan karena gaya bicaranya yang berubah, tetapi tuduhan untukku yang terucap olehnya.

"Aduh, sakit," rintihnya yang semakin menjadi-jadi.

Begitu banyak orang yang membantu Eva untuk berdiri dengan tertatih-tatih. Bahkan, dia tak urung dibanjiri pertanyaan mengenai keadaannya yang jelas-jelas terluka ghaib.

"Aku tau kalau kamu benci aku, Megan," ujar Eva menggunakan nada menyedihkan ala sinetron. "Tapi jangan begini. Aku nggak akan bocorin tentang penyogokkan nilai-nilai tinggimu kok."

Seketika suara terkesiap muncul serentak dan banyak kepala yang menggeleng seraya menatap lurus ke arahku. Terlebih lagi manusia-manusia di sekitar Eva yang tifak kalah terkejut dariku.

"Lo kalau ngarang, mendingan buat novel aja!" sergahku. "Kenapa? Lo kalah saing sama nilai gue sampai nuduh begitu?"

Satu perempuan maju kepadaku dan menunjuk-nunjuk bahuku. "Udah dari dulu rumor ini nyebar. Lo nggak usah ngelak, Megan."

Kutepis kasar tangan itu dan langsung mencengkram pipinya. "Dapet apa lo dari belain adik gue?"

Lagi-lagi suara terkesiap muncul.

Eva mulai kalang kabut dan akting kesakitannya sudah sirna. "Nggak ada, itu bohong! Aku bukan saudarinya!"

Seluruh manusia di sekitarku telah memiliki otak miring sampai-sampai secuil berita ini tidak ada yang mengetahui. Tambahan pula Eva, entah kenapa dia tak mau mengakuiku sebagai keluarganya.

"Hei, nama lo Eva Rose. Nama gue Megan Rose. Kalau mau bohong, ganti dulu nama lo di KK!"

Dalam sekejap, makanan-makanan kantin terlempar ke arahku. Mereka yang mengelilingiku bersama Eva, mulai melempariku dengan berbagai benda dan sorakan memalukan. Tidak kupedulikan apa pun itu dan meraih siapa saja yang berada dalam jangkauanku sampai membanting atau memukuli wajah mereka.

Semuanya berlari ketar-ketir, dan meninggalkanku dalam keadaan seragam basah sekaligus kotor. Lengket oleh keju leleh, basah akibat teh dan air mineral, dan untung saja tak ada yang melemparkanku bensin beserta api.

Kini Eva menghilang, dan tidak ada satu pun yang berani mendekatiku. Kecuali seseorang yang berdiri jauh dariku.

Felix.

Sesaat kami berpandangan. Aku tahu sedari tadi dia berdiri di sana. Dia tidak membantu orang-orang yang melempariku, tetapi tidak juga membelaku seperti tadi pagi.

Terbesit sesuatu dalam otak ini yang membuatku nyaris terkekeh frustasi. Ah, ingin sekali aku mengumpat-ngumpat di depannya sampai air ludahku muncrat.

"Gini ya, rasanya jadi elo? Si ranking satu." Felix menatap pasi setelah mendengar ucapanku. "Gue nggak akan mencoba bunuh diri hanya karena diginiin! Sorry, gue nggak cemen kayak lo!" Mulutku belum dapat terkatup, tapi dia tak kunjung memalingkan wajah ataupun pergi dariku. "Kenapa? Lo percaya kalau gue nyogok demi ranking satu? Amit-amit!"

"Aku, aku nggak paham kamu bicarakan apa," ucapnya. "Apa kamu benar Megan yang kami semua kenal?"

Dari sejuta Megan di dunia paralel, bila ditanya seperti itu, jawabannya adalah Megan tetaplah Megan. Aku tetaplah aku! Aku adalah Megan! Persetanan atas semua gadis bernama Megan.

Ah, sial, aku jadi stres karena terdampar masalah sebesar big hole layaknya sekarang.

- ♧ -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status