Share

Bab 04. Putus

Aku dan Felix pergi ke lapangan futsal yang terletak di antara himpitan dua gedung sekolah. Sesekali aku tersandung oleh batu besar di pinggir lapangan disebabkan tak bisa melewati area tengah yang sedang ada pemain bersama bolanya.

Kami pun sampai di bangku panjang karena sebenarnya aku menolak untuk pergi ke kantin. Hanya karena tersoraki kemarin, rasa gelinya masih menjalar di sekujur tubuhku.

"Udah enakan?" Felix menyerahkan jus apel yang dia bawa padaku. "Atau memang maksain diri untuk ujian? Aku bisa menemanimu nanti saat ulangan susulan di kantor, jika kamu mau."

Selain pintar, dia juga sangat peduli. Siapa pun beruntung bila menjadi pacarnya, tapi tidak denganku.

Kuambil pemberian Felix dan menusuk lobang kotak menggunakan sedotan yang tersedia, lalu kukembalikan padanya. "Ini, minum."

"Itu untukmu, Megan."

"Minum saja. Gue akan minum setelah lo." Setelah memberi alasan itu, Bibir Felix membentuk senyum tipis dan menerima jus itu.

Ada-ada saja. Mana mungkin aku serius mengatakan itu. Jika mau tahu, sebenarnya aku tidak mau menerima sesuatu dari orang yang membuatku sedikit tidak nyaman.

"Tadi ngapain jalan bareng bersama Eva?" Aku bertanya agar menghindar dari meminum jus yang diberikan oleh Felix. Lagi pula, aku juga sudah menduga apa yang akan dijawab olehnya.

"Hanya ingin menjengukmu, itu saja," jawab Felix cepat-cepat. "Sungguhan, aku nggak bohong ..."

"Iya-iya, nggak perlu panik begitu."

Reaksi Felix kembali lega. Aneh, untuk apa dia begitu menekankan ucapannya, padahal dia sudah pasti tahu bahwa watakku tidak mungkin cemburuan.

"Sebenarnya, kami juga bersama-sama ke mading kantor untuk melihat nilai kami." Felix mengalihkan pandangannya dariku dengan wajah murung.

"Buat apa?" timpalku. "Toh, nilai lo pasti tertinggi di angkatan, apalagi di kelas."

Kepalanya menggeleng. "Aku turun dari sepuluh besar."

Mulutku terperangah akibat sulit mempercayai ucapannya. "Serius lo, Fel? Nggak bercanda, 'kan?"

"Memangnya wajahku terlihat seperti sedang bercanda?"

Wajahnya selalu datar-datar saja sejak dulu. Reflek aku menggigit bibir dan memandang langit dengan risau. Sebelum ini, dia pasti memotong waktu belajarnya untuk bersenda gurau bersamaku. Memang benar kata orang, jika berpacaran sangatlah tak berfaedah dan menurunkan nilai. Pantas saja banyak yang menggunakan alasan fokus belajar untuk memutuskan pacarnya.

Sontak aku berdiri beserta menatap Felix lekat-lekat. "Pasti gara-gara gue, ya?"

Kepala Felix menggeleng cepat, lalu kupegang bahunya hingga wajah kami mulai berdekatan. "Pacaran tuh nggak ada gunanya, Fel. Nilai lo jadi anjlok karena gue!"

"Tapi ..."

"Gue bisa paham bagaimana tuntutan menjadi yang terunggul. Lo pasti kesulitan jika ada dua beban yang lo pikul."

"Tapi Megan ..."

"Nggak bisa begini, Felix! Nggak ada tapi-tapian juga." Kusela kosakata 'tapi' darinya dan aku tegakkan cara berdiriku. "Mending kita putus aja."

Akhirnya aku menemukan alasan untuk ini. Ucapanku pasti berhasil meyakinkannya.

"Nggak bisa gitu." Felix menatap nyalang ke arahku hingga bangkit dari duduknya, "Tapi Megan ..."

"Sudahlah, ini demi kebaikan lo sendiri." Aku manggut-manggut karena merasa bijak. "Fokus dulu sama ujian ini. Anggap aja gue hilang untuk sementara waktu, oke?"

"Megan, nggak begini juga kamu dalam mengambil keputusan," racau Felix. "Aku beneran nggak masalah perihal nilai."

Aku menelengkan kepala akibat pasrah dengan alasan Felix yang benar-benar menolak permintaanku. Aneh juga anak berambisi sepertinya lebih mementingkan berpacaran daripada nilai.

"Beneran?" Aku menatapnya malas dan dia mengangguk dengan yakin. "Dua hari lagi ujian bakal berakhir. Gue mau lo dapetin rank tertinggi lagi."

Sebelum Felix membuka mulut, aku membungkamnya menggunakan tangan. "Untuk sementara aja. Kita break dulu, karena gue merasa bersalah sudah nyita keberuntungan lo. Apa lo nggak malu posisi teratas diambil orang?"

Bagus, dia tidak menjawabku.

"Untuk dua hari aja, Fel. Yakin, deh sama gue." Aku menepuk-nepuk pipinya pelan sampai ujung bibirnya menyunggingkan senyum. "Sekarang, ayo balik ke kelas. Mapel selanjutnya apa?"

"Sejarah," balas Felix dengan lirih.

Meskipun dia terlihat kecewa, keputusanku adalah yang terbaik bagi masing-masing. Lihat saja, Felix pasti tidak akan menyesal karena kuminta untuk mengseriuskan nilainya.

"Nih, jangan murung gitu." Kuberikan jus apel tadi padanya dan langsung melangkah pergi ke kelas secara bersamaan.

Bel masuk berbunyi di saat kami sampai di depan kelas. Dari kejauhan, terlhat River sedang berbincang-bincang bersama Sherly, lalu menoleh ke arahku seraya melambai pelan.

Ranselku sudah berada di bangkuku, yang sepertinya River lah membawakannya untukku.

"Mau belajar sejarah bareng?" Felix bertanya dan aku mengibaskan tanganku tanda menolak.

"Gue mah nggak mentingin nilai, ikut serta ujian aja udah cukup," kataku, kemudian langsung melenggang pergi ke bangkuku.

River langsung bangkit dan mempersilahkan aku untuk duduk.

"Hidung lo nggak pa-pa?" Aku mendongak ke arah River yang belum kembali ke bangku pojoknya.

Dia memegangi hidungnya dan menjawab, "Masih sakitlah. Lo harus tanggung jawab untuk ngerawat hidung gue."

Sudah banyak korban banting di dojo atau orang-orang perguruan beladiri lain yang mencari masalah karena mulai menantangku dan lebih memiliki luka parah daripada River. Tapi, dia justru berlebihan dalam mendapatkan secuil memar. Bukankah dia juga atlet yang sering mendapatkan luka melebihi itu?

"Gue kasih duit aja, gimana?" Tanganku langsung merogoh-rogoh saku celana, namun dia memegangi tanganku hingga aku terdiam.

"Ada-ada aja. Gue minta lo ngerawat, bukan bayar begini," timpal River tak senang.

"Oh, gitu. Minta dirawat aja sama Sherly." Kutunjuk Sherly yang terkejut saat menjadi korban penyerahan.

Cewek imut itu mendengus kesal dan mencoba menyenggol tanpa bisa membuatku bergoyang sedikit pun. Tenaganya seperti belum makan selama seminggu.

"Aku udah ada pacar untuk kuurusin. Jangan sodorin aku ke cowok lain!" bentak Sherly seraya memutar kedua bola mata.

Aku terkesiap dan menggoyang-goyangkan bahunya hingga terguncang-guncang. Melihat wajahnya yang mual karenaku, tawaku hampir menyembur.

"Serius lo? Siapa pacar lo, huh?" desakku tak sabaran.

"Dih, kepo!" Sherly menyentakan tanganku dan menegakkan cara duduknya. "Kamu nggak mau ngurusin River karena punya cowok, 'kan? Nah, aku juga sama."

Perkataannya membuatku sontak menoleh ke arah River yang sedang menyimak obrolan kami dengan keki.

"Peraturannya memang begitu? Jadi, kalau Megan nggak sama Felix, dia berhak ngurusin ulah dia di wajah gue dong?" River menyahuti dan aku mengerutkan dahi.

Aku menoleh ke arah bangku paling depan pada barisan horizontal. Itu adalah bangku Felix. Akan tetapi, laki-laki itu tidak ada. Serentak kami bertiga menoleh ketika orang yang kucari muncul di depan bangkuku sembari menyodorkan sebuah buku di mejaku.

"Ini buku apa?" Aku menerima buku itu dan membuka-buka lembarannya. "Oh, catatan sejarah."

"Masih ada sepuluh menit sebelum pengawas datang. Kamu bisa belajar sementara waktu," ujar Felix lembut.

Meskipun sudah memutuskan hubungan, perbuatannya berkesan tulus dan mau tidak mau, aku harus menerima niat baiknya.

River merampas buku itu dari tanganku dan membuka-bukanya seraya berkata, "Fel, lo kapan mau putus sama Megan?"

"Lo ngomong apaan, sih?" kilahku tak senang padanya. Aku tak suka jika dia mengurusi hubunganku seperti ini. Terlebih lagi berbicara secara frontal.

"Udah kok," balas Felix ketus. Dari balik kacamatanya, dia melirik sinis ke arah River. "Ngincar Megan, 'kan? Silahkan."

Dia melenggang pergi dan kembali ke bangkunya, bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku yang memandanginya hanya bisa terdiam dalam menyembunyikan rasa canggung.

"Gue balik dulu." River ikut pergi dan kuembuskan napas berat setelah keluar dari suasana tak menyenangkan ini.

Sherly mencolek lenganku. "Sejak kapan kamu putus sama Felix?"

Kusenderkan tubuh di punggung kursi, sekaligus menatap Sherly dengan malas.

"Kalian tuh pasangan paling banyak dibicarakan di angkatan lho," sambungnya serius, "Cowok terpintar dengan cewek peraih sabuk hitam judo yang banyak dijauhi anak-anak. Apa nggak mengecewakan kalian putus secepat ini?"

Mendengar ucapannya telah membuatku kepikiran berat. Aku adalah tipekal melakukan sesuatu yang mengutamakan sebab dan akibat. Pasti ada niat tertentu apabila aku berpacaran bersama Felix. Sudahlah, sebaiknya aku kembali fokus untuk mengisi ujian karena guru penjaga sudah hadir dan langsung membagikan lembar soal.

Tidak perlu membahas bagaimana aku mengisi kertas jawaban yang membuat kepala pusing. Untuk hari ini, akhirnya aku berhasil mengerjakan sisa dua mata pelajaran yang rasanya lebih melelahkan dari berlari dua kilometer.

Pulang sekolah telah tiba dan pastinya kertas pengumuman nilai ujian kemarin sudah terpajang jelas pada mading di depan kantor guru yang kini terbanjiri oleh oleh anak-anak kepo stadium akhir.

Aku jadi malas untuk memeriksa nilaiku dan lebih baik pergi pulang agar Pak Sopir pribadiku tak menunggu lama di depan gerbang. Akan tetapi, terlihat penampakkan Eva yang terjepit di kala hendak ke luar dari lautan manusia tersebut. Tentu saja tidak kubantu, melainkan aku tertawai begitu cablak.

"Bantuin, kek!" bentak Eva yang membuatku seketika bete.

Kutarik bawah mataku dan mengeluarkan lidah untuk meledeknya. "Huh, keluar aja sendiri."

Setelah berbalik badan dengan tak acuh, aku pergi untuk pulang tanpa keadaan kusut, pegal ataupun lelah akibat karna tidak mau terdesak-desak. Di saat yang sama, mataku membulat kaget setelah melihat pemandangan Felix yang berjalan dalam keadaan basah kuyup.

Kudekati dia karena khawatir dan bertanya, "Lo kenapa, Fel?"

Felix terkejut, tetapi reaksinya lebih mengarah ke takut. Secepatnya dia memaksakan senyum padaku. "Nggak apa-apa. Tadi, kesembur air keran yang rusak dekat lapangan futsal."

Dari atas ke bawah, tingkat basahnya cukup drastis. Dia berbohong pada orang yang salah.

"Ngaco," tukasku. "Lo tuh kayak nyebur di air, tau nggak? Atau mungkin kesirem satu ember!"

"Emm, entahlah. Aku pulang dulu. Takutnya masuk angin."

Felix meninggalkanku buru-buru seperti menolak untuk berdekatan denganku. Ada apa dengannya?

Kubuyarkan kebingungan tadi dan berlari untuk melesat masuk menuju mobil. Dalam semenit, Eva menyusulku dengan riang gembira yang berlebihan. Dia memang aneh, tapi selalu kumaklumi.

"Kenapa lo? Udah kayak menang togel," tanyaku berserta ledekan.

Eva bergerak-gerak dari menggelengkan kepalanya, menggoyangkan pinggang atau menari-nari meskipun dalam keadaan duduk di kursi.

"Hari ini ibu pasti bangga karena nilaiku yang kemarin sangat sempurna dan menginjak urutan kedua," ucapnya sombong dan aku terkekeh.

"Yang pertama pasti Felix, 'kan?"

Kepalanya menoleh dan mengerutkan dahi. "Aku dong! Enak aja. Pokoknya Felix ada di bawahku, masih sepuluh besar sih, kayaknya."

Baguslah, Felix ada kemajuan dalam menaikan nilainya. Jika terus tanpaku mulai sekarang, dia pasti akan menginjak peringkat yang selalu dia dapatkan hingga tak berpikir lagi untuk berpacaran bersamaku.

Entah kenapa, atau bagaimana, hidupku mulai menjadi seperti drama di telenovela.

- ♧ -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status