Share

Bab 03. Ada Apa Dengan River?

Sore hari kusibukan dengan berlatih judo di dojo. Hanya segelintir perempuan yang mendaftarkan diri pada martial art ini, dan salah satunya adalah aku. Padahal, sebelum ini jelas-jelas aku sudah mengundurkan diri dari tempat ini. Akan tetapi, setelah kuperiksa rec-up di meja administrasi, namaku tidak tercoret dan bertanda aku masih terdaftar.

Seandainya ada yang bertanya mengapa aku tertarik dengan judo, jawabanku adalah agar tidak terkekang seperti Eva.

Hanya orang sinting yang rela ditimpa banyak beban pikiran dan batin demi pujian belaka. Ada-ada saja. Lebih baik mengejar apa yang diminati tanpa menguras pikiran hingga dapat bersantai tanpa terbebani.

Pada malam hari, aku habiskan di dalam kamarku dengan bermain video game sembari menyamil kripik kentang. Di sisi lain, Eva masih melaksanakan les private matematika di luaran dan pastinya belum bisa balik ke rumah. Itulah aktifitas biasa kami yang sangat berkebalikan.

Berkali-kali ponselku mendapatkan pesan dari Felix yang menanyakan hal-hal umumnya sebagai pacar. Aku melihat keseluruhan pesan obrolan kami sampai nyaris membuatku muntah akibat ketikan romantis yang memualkan. Asal tahu saja, aku tidak pernah mengetik pesan secara panjang dan lebar, ataupun alay seperti yang terlihat ini. Terlebih lagi, tertera daftar panggilan telepon bersama Felix yang membuatku tercengang akibat lamanya durasi. Bukan satu atau dua jam, melainkan dua belas jam! Eww, aku tidak mau mengakui bahwa semua ini adalah ulahku. Bahkan aku tidak ingat jika pernah melakukan ini.

Keesokan harinya, aku bersekolah dalam keadaan merinding akibat semalam telah memimpikan kemesraanku bersama Felix. Sudah pasti ini gara-gara memeriksa ponselku dengan begitu mendetail.

"Hei, lesu amat muka lo."

Secara mendadak, River muncul dan merangkulku seakan-akan kami sudah begitu akrab. Ah, padahal aku jarang sekali berbicara bersamanya.

Meskipun sedikit menyukainya, aku masih menjaga diri dari pandangan publik dikarenakan Felix masih menjadi pacarku. Mungkin aku dapat memutuskan hubungan kami secepatnya.

Kutepiskan lengan River sebelum berkata, "Gue agak nggak enak badan."

"Serius?" Mata River membulat setelah mendengar kebohonganku. "Ya sudah, ayo ke UKS!"

Tanpa izin lebih dahulu, dia langsung menarikku pergi. Pada akhirnya kami sampai di UKS, lalu River memintaku duduk di atas ranjang dan memerika suhu tubuhku menggunakan punggung tangannya.

Aneh sekali dia tiba-tiba peduli padaku.

"Gue nggak pa-pa dan nggak perlu begini juga, Riv," kataku canggung.

Di saat aku hendak bangkit untuk pergi ke luar, River langsung memegangi kedua bahuku hingga menahanku untuk duduk.

"Nggak pa-pa apanya? Lo lesu begitu. Istirahat aja, gue bakal ..." Ucapan River terpotong ketika pintu UKS terbuka dan hadirlah Felix yang sedang memandangiku. "Izinin lo," lanjutnya.

"Lo bakal izinin gue?" tanyaku seraya kembali menatap River yang melepaskan tangannya dariku, lalu menyambut kedatangan Felix.

"Pas banget lo di sini, Fel." River menepuk-nepuk pundak Felix. "Megan izin istirahat. Nggak enak badan katanya."

Perbedaan ukuran tubuh mereka sangat terlihat ketika berdampingan seperti itu. Di saat seperti ini, bisa-bisanya aku menilai tubuh orang lain.

"Tadi aku lihat kalian ke sini, jadinya aku susul cepat-cepat." Felix mendekat, kemudian memegangi dahi dan area bawah daguku. Tentu saja tak ada suhu panas yang akan dia rasakan, karena aku berbohong. Tidak mungkin aku mengatakan jika sedang frustasi setelah merasa geli pada kebucinan kami yang berada di dalam ponsel. "Tunggu, aku ambilkan paracetamol."

Dia langsung melangkah ke lemari kaca dan mencari-cari obat yang dimaksud hingga suara-suara antar gesekan bungkus plastik terdengar jelas.

"Dan gue izin nemenin Megan di sini."

Seketika suara-suara pencarian obat terhenti ketika River mengucapkan kalimat izinnya.

"Kalau lo nggak mungkin nemenin Megan. Secara, lo itu ketua kelas dan punya tanggung jawab untuk me-handle kelas."

Felix melirik tajam ke arah River sebentar, dan tiba-tiba tersenyum tipis.

"Baik," jawab Felix pada River sambil berjalan dan memberikan satu bungkus obat pil padaku. "Tolong jaga Megan. Aku balik ke kelas dulu."

Aku tidak menyangka jika Felix mengizinkan pacarnya bersama laki-laki lain. Mungkin dia belum benar-benar menyukaiku hingga tak ada perasaan cemburu. Tapi baguslah, karena aku dapat bolos dari kelas.

Secara bersamaan, Felix pergi ke luar, dan kuletakan obat tadi di atas meja nakas. Aku meletakkan ransel di lantai dan menarik selimut setelah membaringkan tubuh di ranjang secara miring. Lumayan, aku mendapatkan waktu tidur lebih hari ini.

"Lo balik aja, Riv. Gue nggak pa-pa sendiran," ucapku ketika River menduduki kursi di sebelahku.

"Ah, nggak apa-apa. Lagi pula gue di sini mau bolos dari kelas."

Sontak aku terkekeh setelah mendengar alasan tersebut.

"Gue kira lo begini karena care ke gue," ujarku sambil menatapnya sayu.

Melihat wajahnya dalam berbaring seperti ini begitu menyejukan mataku. Andai saja selalu seperti ini sebelum tidur, aku pasti akan bermimpi indah.

River memalingkan wajah ke jendela luar dan menggaruk pelipisnya. "Sebenarnya, gue memang nyari kesempatan buat bareng lo."

Terdiam. Benar-benar di luar dugaan jika aku dapat mendengar kalimat itu dari River. Seharusnya aku tak boleh merasa pede, karena dia pasti memberi perlakuan seperti ini ke semua orang, bukan khusus untukku.

"Jujur, deh. Gue agak kaget lo bisa jadian dengan Felix yang orangnya biasa aja," ungkap River. "Apa yang membuat lo tertarik dari dia?"

Aku mengubah posisi tidur menjadi terlentang dan menatap langit-langit. "Entah. Gue juga nggak tau."

"Oh, jadi memang bener. Cinta itu nggak perlu alasan ..."

"Gue nggak cinta sama Felix." Buru-buru aku menyela.

"Serius?" Dari ekor mataku, River tampak tercengang. "Lo sebucin itu sama Felix, tapi nggak ada rasa cinta?"

Grrr, aku tidak pernah berbucin-bucin ria bersama laki-laki itu. Meskipun pernah, tentu saja itu bukan aku atau mungkin jelmaanku.

"Gue juga nggak tahu kenapa bisa jadian sama tuh anak," ujarku setelah menghela napas ringan. "Mungkin kami bakal putus secepatnya."

River manggut-manggut tanda mengerti dan seketika menjadi hening. Daripada memunculkan suasana canggung akibat kehabisan topik, lebih baik kupejamkan mata dan menikmati ranjang keras ini sampai tertidur. Aku merasakan bahwa kesadaranku masih setengah. Akan tetapi, justru otakku mengingatkan bahwa sekarang adalah hari ke enam ujian semester awal yang berjadwalkan matematika wajib dan minat. Oh ya, aku harus ujian!

"Megan."

BUG!

Ketika membuka mata akibat terkejut dan baru teringat mengenai ujian, sebuah wajah dengan jarak satu jengkal telah menutupi seluruh pandanganku. Akibat terkejut, tanganku reflek melontarkan satu pukulan.

Seketika suara rintihan terdengar hingga aku bangkit dan dahiku langsung menyundul wajah yang sudah kutonjok tadi. Suara erangan mulai menjadi-jadi, lalu aku memandangi sekitaran dengan panik. Terlihat River yang menutupi setengah wajahnya dan aku buru-buru meminta maaf karena sudah tahu jika itu adalah ulahku. Dia membuka tangannya dari bekapan dan darah mulai mengalir sedikit dari lobang hidungnya.

Sesegera mungkin aku mengambil kapas dari laci meja nakas dan membersihkan darah River perlahan-lahan.

"Sakit banget, ya?" tanyaku canggung. Selain mengalirkan darah, hidungnya juga menjadi lebam.

River tertawa kecil. "Nggak, nggak apa-apa. Gue cuma kaget aja mendadak dibogem begini."

Mendengar ucapan itu, aku jadi makin merasa bersalah.

"Beneran nggak pa-pa?" Aku ragu jika dia mengatakan hal tadi. "Kalau gitu, gue ke kelas dulu. Lo mau ikut, 'kan?"

"Ngapain ke kelas?" River mendongak dan kebingungan atas ucapanku. "Ini sudah jam istirahat."

Gawat, aku melewatkan ujian semester yang penting. Melaksanakan program susulan sangatlah tidak enak, karena akan mengerjakan ulangan di kantor guru. Agh, menyebalkan!

"Kok muka lo kayak shock begitu?" Suara tawa dari mulutnya terdengar dan disela oleh rintihan akibat nyeri di hidungnya yang muncul kembali.

"Sakit banget, ya? Apa perlu dikompres es batu?"

Lama-lama, aku juga ikutan nyeri jika melihat wajah River.

Menurutku, es batu lumayan bisa meredakan sakit. Aku selalu melakukan hal itu ketika terdapat luka memar di tubuh setelah melakukan praktik di dojo. Entah efektif atau tidak, bisa saja dicoba.

"Es batu dari mana?" Lagi-lagi River berbicara dengan kekehan kecil. Sedari tadi aku tidak melawak, namun dia terus-terusan tertawa.

"Dari kantin, Riv," jawabku sembari meraih tanganya untuk bangkit. "Ayo ke luar. Siapa tahu bisa meredakan bengkaknya."

Kami akhirnya pergi ke luar bersama-sama dan berharap jika siapa pun yang melihat River tidak akan berpikir bahwa akulah pelaku dari meminuskan wajah tampannya.

"Gila, perih banget," rintih River yang membuatku sedikit panik.

"Duh, Riv. Lo jangan ribut gitu dong. Entar pada mikir kalau gue jahatin lo." Sembari berjalan, aku memegangi wajah River dan mengelus-elus pinggiran hidungnya agar merelaksasi rasa nyerinya.

Bukan mengurangi racauannya, justru dia semakin menjadi-jadi dengan menaikan volume suara.

"Lakukan kayak tadi, sakitnya berkurang," ucap River setelah aku menarik tangan dan kembali mengelus wajahnya. "Nah, begini enakan."

Hening dalam seketika membuatku merasa ada kesalahan. Di sela-sela memegangi wajah River, mataku melirik ke sudut mata dan mendapatkan pemandangan yang tak diduga-duga.

Felix mematung dalam menonton kami, begitu pula dengan Eva yang berada di sebelahnya. Di waktu yang sama, suara River tak terdengar lagi. Namun, kurasakan gerakan pada wajahnya di tanganku, yakni sedang menyunggingkan senyum.

Kulihat Eva yang berawal bersikap normal, sontak dia menggenggam sebelah tangan Felix. "Kayaknya kita ganggu mereka, deh. Cabut aja yuk, Fel."

Felix melirik sinis ke Eva dan terbungkam ketika tangannya disentakan perlahan untuk menolak pergi. Spontan aku menarik tangan dan baru sadar bahwa perilakuku sangatlah buruk di hadapannya.

"Buset, lo bawain gue jus?" River angkat bicara dan mulai melangkah mendekati Felix untuk meraih satu kotak jus dan bungkusan lain yang tak kuketahui dalam satu tangannya. "Thanks, banget. Lo perhatian amat."

"Bukan untukmu," balas Felix sambil berjalan melewati River dengan cuek dan menghampiriku. "Kenapa ke luar dari UKS? Aku baru mau ke sana. Ini semua kubelikan buat kamu."

Dia memberikan semua yang ada di tangannya padaku. Aku tidak enak hati untuk menolak. Tapi di sisi lain, aku merasa malu jika diberikan terang-terangan seperti ini.

"Gue udah enakan. Makanya mau balik ke kelas dan ..." Kupegang lengan Felix seraya menariknya pelan untuk berjalan bersama. "Kita makan di kantin aja. Gue baru inget kalau hari ini ujian, dan seharusnya masuk kelas."

Sembari berjalan, Felix menjawab, "Kamu bisa ulangan susulan, Megan. Aku akan bantu."

"Nggak perlu. Gue udah enakan, serius!" tegasku.

Aku tidak boleh mengatakan kejujuran bahwa sebenarnya tidak dalam keadaan sakit. Felix adalah ketua kelas, dan mungkin saja dia bisa menindaklanjutiku.

"Eits ..." Tiba-tiba River menahan bahu Felix dan serentak kami berdua berhenti. Setelah Felix menoleh, River menunjuk-nunjuk hidungnya. "Cewek lo habis nonjok gue. Dia mau tanggung jawab, dan lo jangan mendadak bawa dia."

Felix memerhatikan luka memar itu sejenak. "Oh, tunggu saja di UKS. Aku akan kembali untuk ngobatin kamu."

"Gue butuhnya es batu."

"Akan kuantarkan."

"Gue maunya dengan Megan," desak River. "Lo tadi jalan-jalan sama Eva, 'kan? Ya sudah sana, lanjutin kegiatan kalian, para anak pintar."

Aku tahu niat dari kedatangan Eva dan Felix adalah untuk menjengukku di UKS. River sudah mengetahui ketidakcintaanku pada Felix. Akan tetapi jika dia bersikap seperti ini, sangatlah tidak pantas dan terdengar mengesalkan.

Akibat merasa kasihan pada Felix yang dipaksa oleh River, aku langsung membelanya dengan menyela. "Lo bisa sama Eva, Riv. Gue cabut dulu sama Felix."

Kutarik kembali tangan Felix secara perlahan dan kami melanjutkan perjalanan menuju kelas. Tadi aku merasa tidak enak hati padanya, sekarang justru terasa tidak enak hati pada River. Spontan aku menoleh ke belakang dan melihat River yang terdiam dalam menatap kepergianku.

- ♧ -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status