Share

Bab 02. Dunia Lain

Berkali-kali mata ini dikerjapkan, menahan dan mengembuskan napas, lalu berusaha memastikan bahwasannya apa yang kulihat bukanlah mimpi.

Aku tidak bisa mengatakan ini semua adalah nyata apabila Felix mendadak menjadi pacarku. Begitu sulit untuk dipercaya! Pasti dia sedang mengigau dan ketika sepenuhnya sadar, dia langsung berlari kalang kabut dariku.

"Ayo, Megan. Sekarang kan jadwal kita ke perpustakaan," ujar Sherly yang membuatku spontan melesat menuju perpustakaan secepat kilat.

Tidak peduli pada Felix yang sedari tadi berdiri untuk menunggu responsku. Terpenting untuk sekarang adalah mencari tahu kepelikkan semua ini. Pasti gara-gara buku 'Flower Travel' yang mungkin mengandung sihir, sampai-sampai menjadikanku sebagai target kutukannya.

Buru-buru aku berlari dari koridor ke koridor yang untungnya begitu sepi hingga tidak ada siapa pun hendak menghalangiku. Tentunya, tujuanku adalah menuju ke bunga aneh tersebut.

Terlihat taman yang masih sepi karena jam istirahat masih di menit awal. Selanjutnya, aku menemukan mawar hitam yang masih berada di tempat awal, dan tidak dalam keadaan patah sama sekali. Saat mencoba untuk meraihnya, seketika tanganku diraih secara erat hingga kepalaku reflek mendongak.

"Jangan merusak tanaman, Megan. Itu tidak baik." Felix menegurku dengan kehadirannya yang dengan tiba-tiba. Aku tidak mengerti bagaimana bisa dia menyusul secepat ini. "Ayo bangun. Jangan bengong melulu."

Entah bagaimana bisa, aku menurut begitu saja dan langsung ditarik pergi ke luar area taman perlahan-lahan. Tanganku tergenggam oleh Felix dan untuk seukuran laki-laki, telapaknya termasuk kategori lembut.

Dia membawaku ke kafetaria dan seperti biasa akan mengambil makanan pokok menggunakan baki. Sampai kami duduk di bangku secara berhadapan, aku masih termenung menatap Felix yang berada di hadapanku. Walaupun aku tidak pernah pacaran seumur hidup, tapi sungguh aneh apabila Felix lah yang menjadi pacar pertamaku.

"Megan."

Lagi-lagi Felix membuyarkan lamunanku dengan memanggil namaku. "Are you okay?"

Cowok di hadapanku ini, murid yang berhasil menduduki ranking satu paralel semester awal. Jadi, tidak heran orang pintar sepertinya menggunakan bahasa asing saat berbicara. Aku tahu sebenarnya reaksi ini sangatlah berlebihan. Tapi, ketidakwajaran yang sedang kutonton sangatlah mengejutkan.

"I'm okay!" kataku seraya tersenyum canggung.

Sebenarnya yang ingin kukatakan adalah 'No, i'm not okay 'cause i'm feel very confused'. Yeah, kalimat itu sudah cukup buruk untuk tidak kulontarkan.

Tiba-tiba Felix beranjak pergi tanpa menyentuh nasi di bakinya. Sepertinya aku salah menjawab pertanyaannya atau mungkin mulai merasa kesal terhadapku. Dalam beberapa detik, dia kembali sembari meletakan sekotak jus apel di depanku. Ini adalah jus kesukaanku! Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa mengetahui hal kecil ini.

"Kenapa dari tadi diam saja? Aku ada buat salah, ya?" tanya Felix setelah duduk disertai wajah polosnya yang membuatku ingin meremas-remas ekspresinya. "Megan!"

"Ah, iya!" Aku melonjak kaget sembari membuka kotak jus. "Gue nggak pa-pa, kok. Lo juga nggak ada buat salah apa-apa."

"Beneran?" Felix menatap dengan selidik hingga berhasil membuatku membeku. "Jangan bilang kamu sakit?"

Kurasa mengiyakan ucapannya adalah pilihan bagus. "Benar. A-aku agak nggak enak badan. Tapi, aku beneran nggak pa-pa."

"Nggak pa-pa, apanya?" Seketika Felix menarik bakiku dan menyendokan nasi bersama daging teriyaki. Kemudian, menyodorkan sebuah suapan kepadaku. "Nggak mood untuk makan? Baiklah, aku akan suapin."

Perlakuan manusia bermata empat ini membuatku salah tingkah hingga wajah panik ini terasa memanas. Bisa-bisanya orang pendiam sepertinya bertingkah romantis dan berkesan menggelikan.

"Ciee! Couple Goals, Couple goals!"

"Lihat-lihat, Megan dan Felix mesra-mesraan!"

"Jiakh-ela, pake suap-suapan segala."

Seruan-seruan yang menyebalkan telah menggema di seluruh kafetaria. Aku dan Felix dalam seketika menjadi pusat perhatian, sampai-sampai reflek harus menutup wajahku untuk meredamkan rasa malu. Hal seperti ini tidak pernah terbayangkan akan terjadi padaku.

Spontan aku mendengus keras hingga nyaris upilku meloncat ke luar dari hidung. Tersipu-sipu, bucin, ataupun salah tingkah bukanlah tabiatku! Aku benar-benar mual diperlakukan seperti ini. Serta merta, aku melangkah pergi ke luar menuju kantin sebelah. Mana mungkin aku melewatkan waktu istirahat tanpa mengisi perut sama sekali.

"Megan! Mau ke mana?"

Suara Felix terdengar semakin mendekat yang mengartikan bahwa dia sedang menyusulku.

Kakiku berhenti di depan pintu kantin dan memutar badan. Ketika Felix hendak meraih tanganku, aku lebih dulu menarik tangannya.

"Lo mau gue banting?" tanyaku seraya menatap tajam ke arah Felix.

Wajahnya berubah pucat, seperti ekspresi normalnya ketika bertemu denganku sebelum ini. "Aku ada salah? Oh, kamu malu karena disorakin mereka, 'kan? Ya sudah, ayo kita ke luar."

Alih-alih menggertaknya hingga ketakutan dan menjauhiku, justru dia menggandeng tanganku dan berjalan ke luar dari kafetaria dengan tenang. Grrr, laki-laki ini terlalu peka dan cepat bertindak.

"Mereka kenapa sih, bersorak-sorak kayak tadi?"

Felix terkekeh setelah mendengar pertanyaanku.

"Bukannya kamu tahu sendiri alasannya? Kita kan pasangan yang bertolak belakang, tapi anehnya bisa bersama." Aku sudah tahu fakta yang diucapkannya. Kami sudah sangat berbeda dilihat dari sisi mana pun. "Dan lagi pula kita adalah ..."

"Parah, kebetulan kita ketemuan!" River muncul di hadapan kami dan otomatis memotong ucapan Felix. "First couple di angkatan kita memang berbeda dari yang lain."

Seharusnya yang menjadi pacarku adalah dia, bukan Felix! Kami terlihat lebih cocok karena sama-sama anak atlet. Tidak seperti Felix si kutu buku yang sama sekali tidak serasi denganku.

"Gue makan, dulu. Bye, Megan," pamit River seraya berlalu pergi dan menepuk-nepuk pundakku.

Kulihat Felix memalingkan wajahnya, seperti tidak suka dengan situasi ini. Tebakanku, dia sedang merasa bersalah karena untuk kedua kalinya aku disoraki meski sudah dibawa pergi.

"Udah, nggak usah melamun gitu!" tegurku sambil menyentakan tangan agar terlepas dari genggamannya. "Gue mau ke kantin sebelah, lo mau ikut?"

Seketika Felix mengukir senyum di bibirnya. Aku tidak tahu bahwa melihat kebahagiaan di wajahnya akan membuat hati sejuk ke siapa pun yang melihatnya, contohnya adalah aku.

"Oke. Aku yang traktir," ucap Felix seraya lanjut berjalan bersamaku.

Menjalani sekolah dalam keadaan normal dan tak ada perbedaan dari sebelumnya kecuali perihal Felix. Dari segi pembelajaran, nama-nama orang sekitarku, beserta sifat asli mereka, semuanya sangatlah natural. Terlebih lagi Eva yang mulai mengangguku ketika sekolah sudah berakhir.

Kami berdua dijemput oleh sopir pengendara mobil yang entah apa merknya. Aku tidak tertarik dengan otomotif dan brand-brand tertentu hingga tak mengetahui jenis mobil.

"Gimana? Senang, bukan?" Eva bertanya dengan nada jahil. "Kalau bukan karena gue, lo nggak akan begini, Megan."

"Maksud lo?" Kujawab dengan menimpal balik pertanyaan.

Eva berdecak. "Itu lho, Felix. Lo pacaran sama dia kan gara-gara gue. Mana ucapan terima kasih lo?"

Dia membicarakan percintaan di saat mobil sudah berjalan. Memalukan sekali, karena pastinya si sopir mendengar obrolan kami.

"Oh, jadi lo yang jodoh-jodohin gue ke anak culun itu?"

"Tumben lo ngatain dia. Biasanya dipuji-puji saat masih gebetan," timpal Eva yang membuat mulutku terbuka lebar. Dia langsung mengatup rahangku seraya berkata, "Aduh, Megan. Kan kenyataannya begitu."

Kutepis tangannya dari wajahku dan kembali menatap lurus ke depan. "Sopan dikit sama kakak lo sendiri," lanjutku yang memutar topik pembicaraan.

"Kita seangkatan, lho. Buat apa gue manggil lo ..."

BRUK!

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, kakiku reflek menendang belakang kursi pengemudi hingga Pak sopir menginjak rem secara mendadak. Alhasil, Eva tersungkur dan kepalanya membentur kursi depan.

"Lanjut jalan, Pak. Maaf, kaki saya mendadak pengen nendang muka orang, makanya jadi nendang kursi, deh," sindirku dengan menahan tawa.

Perjalanan menghabiskan sekitar tiga menit hingga kami semua sampai di rumah. Tepat saat ini ada ibuku yang sedang duduk di ruang tengah sembari merajut sweater hanya untuk dikoleksi.

"Ibu, Eva pulang!" sapa Eva menggunakan nada bicara sok manis agar mendapatkan perhatian.

Secara bersamaan, aku memutar bola mata dan melenggangkan diri ke meja makan untuk menyamil buah-buahan.

"Bagaimana ujian hari ini?" Ibu bertanya ke Eva dengan wajah datar.

"Lancar banget! Tadi, laporan penilaian mapel sejarah kemarin sudah keluar juga. Eva dapet nilai 98, lho, Bu." Dengan bangganya dia menunjukan kertas laporan nilai kepada ibu dan pasti berharap akan pujian. Pasti dia mencabut lembaran tersebut dari mading pengumuman demi pamer ke ibu. "Kalau nilaiku besar begini, pasti Ayah pulang dan ngelihat betapa pintar anaknya."

Dia berharap akan kedatangan orang yang jarang pulang. Otaknya pasti sudah blank total.

Tanpa melirik sedikit pun, Ibu berkata, "Kenapa tidak mendapatkan nilai sempurna? Masuk ke kamarmu dan belajar lagi."

Eva mengembuskan napas karena kesal, sedangkan aku menertawainya hingga nyaris tersedak oleh apel yang kukunyah.

"Eva doang yang Ibu suruh? Megan, enggak?"

Itulah kalimat pamungkasnya ketika mendapatkan perintah dan mau menyeretku untuk memiliki nasib yang sama.

Ibu melirik tajam ke arahnya dan sontak dia pergi masuk ke kamar tanpa protes lagi.

"Jangan lupa berlatih di dojo sore nanti, Megan," ucap Ibu sembari melanjutkan jarutannya.

Menyebalkan. Rupanya, aku masih terdaftarkan di dojo khusus judo.

Andai saja Eva tahu jika aku juga sama halnya seperti dia, yakni didorong untuk berprestasi. Meskipun kami berbeda jalur, intinya sama saja ibu mendorong kami untuk memiliki performa yang menonjol. Akan tetapi, sepertinya hidupku jauh lebih santai karena judo termasuk passion-ku dan tidak perlu merasa lelah atau pusing dalam mempedulikan kejuaraan atlet.

Tidak seperti Eva. Ambisinya begitu kuat dalam belajar akademik yang menurutku seperti mendidihkan otak secara paksa. Kasihan juga anak itu, dia terlalu haus perhatian dan pujian hingga seperti itu.

Semua sama saja, dan sudah kusimpulkan bahwa yang berbeda hanyalah hubunganku bersama Felix setelah dikutuk oleh mawar gosong tadi. Ini benar-benar aneh, tapi nyata.

- ♧ -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status