Share

Fall in Rose
Fall in Rose
Penulis: ddablue_

1. Terperangkap Oleh Masa Lalu

Seorang wanita berkulit putih bagaikan susu dengan gaun malam berwarna hitam yang membuat dirinya Nampak sangat bersinar malam ini. Rambut lurus nan panjang yang di gerai, di lengkapi dengan bando bunga yang mengitari kepalanya.

Matanya bulat dengan bibirnya yang berwarna merah jambu. Dia bagaikan dewi yang tengah memainkan jemarinya di atas not piano beserta suara merdunya yang begitu lembut menenangkan jiwa. Terlebih ada lampu sorot yang hanya terfokus pada dirinya seorang. Tak ayal jika seluruh penonton begitu kagum dengan penampilan yang sangat memukau ini.

Janji terakhir kali, sekarang aku hanya bias mengatakannya sebagai kenangan

Saat senyum manis itu pergi jauh dariku

Aroma mawar menyebar bersama angin.

Napas sedih yang tersebar di udara

Aku tidak bisa memelukmu

Dirimu yang menghilang dariku, aku tidak bisa memelukmu lagi

Namun diantara ratusan orang yang hadir dalam festival musik tersebut, ada satu pria tersenyum lega dengan lubang yang amat dalam di sebelah pipinya. Air mukanya menggambarkan betapa bahagia sekaligus bangganya, Park Chan pada sosok Bae Ailin yang berhasil debut sebagai pianis di bawah naungan label besar milik sang ayah. Ailin memang sudah selayaknya debut, karena tak ada alasan lain atas kepiawaiannya dalam memainkan piano.

Buk!

Senyuman Park Chan tak bertahan lama. Bahkan hanya lima detik. Kemudian seluruh teriakan penonton menyeruak mendapati Ailin yang terjatuh dari kursinya secara tiba-tiba. Bahkan cairan merah itu telah mengalir deras dari bagian kepala gadis itu. Seluruh staf dan beberapa orang berhamburan menuju atas panggung.

Chan berlari dan membelah barisan para penonton yang memenuhi panggung, pria tampan dengan tinggi semampai itu membelalakkan kedua matanya saat ia telah berdiri sempurna di depan Ailin yang telah tak bernayawa lagi akibat kepalanya yang terbentur lantai secara mendadak.

"Tidak! Tidaaak!!!" Chan berteriak histeris seraya menggeleng kepalanya.

***

"Tidaaak!" Chan terperanjat saat ia telah membuka matanya sembari memegangi dadanya yang naik turun tak karuan.

Tetapi ada lega saat ia menerawang kesegala arah, ini kamarnya, bahkan ia masih berada di atas ranjangnya. Chan menarik satu nafas panjang, ternyata hanya mimpi. Untuk beberapa saat ia menerka beberapa fikiran yang membelenggunya belakangan ini, hingga ia bergumam satu nama. Ailin.

Chan meraih ponselnya di atas nakas. Ia mencari sebuah kontak yang kini sangat perlu untuk di hubunginya.

Steave Jo.

Chan mengusap tombol hijau di sana untuk menghubungi pria tersebut yang tidak lain adalah koleganya sendiri dalam membangun perusahaan yang menaungi para musisi kenamaan warisan sang ayah.

Steave jo, ia menjabat sebagai produser musik. LEYO Studio salah satu label musik terbesar di Negeri Ginseng yang menaungi banyak musisi ternama di sana. Ayah Chan, Park Hee Chul meninggal setahun lalu. Kini posisi sang ayah telah bergeser dengan Park Hee Chan sang putra tunggalnya sebagai Chief Executive Officer di usianya yang ke 28 tahun.

"Aku tidak bisa hadir untuk rapat hari ini. Maaf."

Belum sempat Steave membuka mulutnya, Chan sudah terlanjur mematikannya terlebih dahulu. Kemudian ia memilih beranjak dari ranjangnya untuk segera membersihkan diri dan mengganti pakainannya dengan penuh kegusaran. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, pikirannya sedang kalang kabut. Rasanya kepala Chan ingin pecah saat ini. Apa mimpi itu sebuah petunjuk?

Ia meraih kunci mobil yang berada di atas meja makan dan berlari menuju halamannya, membuka mobil sedan hitam metalliknya.

Sesorang tengah berlari kecil memposisikan tubuhnya di belakang Chan, "Biar saya yang mengantar anda, Tuan."

Chan menghentikan pergerakannya sesaat sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam mobil dengan sempurna. tidak perlu, aku buru-buru. Ia berucap dengan air muka yang sangat dingin seakan tidak mengindahkan kalimat supir pribadinya, lalu berlalu dengan kecepatan tinggi, membuat Pak Choi terkesiap sambil menggeleng kepalanya.

Egois, dingin dan kasar. Itulah deskripsi yang tepat untuk direktur besar seperti Chan. Sejatinya ia tak memiliki sikap buruk seperti itu, namun semua berubah saat sang ibu telah meninggal tujuh tahun silam mendahului sang ayah. Sebelum ia menjadi pemilik saham terbesar di dunia entertainment seperti sekarang, chan adalah seorang musisi sekaligus penyanyi yang memiliki nama besar di Korea Selatan. Tak ayal jika LEYO Studio menjadi semakin melambung di dunianya sebagi agensi terbaik.

"Choi Si-Woo!" Panggil Nara, asisten rumah Chan kepada supir pribadinya, "Kenapa kau tidak mengantarkannya, sepertinya ini akan sangat buruk."

"Apa maksudmu? dia tidak ingin diantar." sarkas Pak Choi tidak ingin kalah.

"Sepertinya ada yang tidak beres, bagaimana jik---."

"Jika apa? kenyataannya bos kita memang tidak beres, kan?" Sambung Pak Choi memotong kalimat nara seraya meneguk air mineral dari gelasnya.

"Aissh, aku tau dia memang gila. Tapi Bibi Park meminta agar Tuan Chan tidak pergi sendirian saat ini, apa kau tidak mendengarnya ketika kita berkumpul kemarin, hah?!" tutur Nara mengingatkan Choi akan pesan bibi park saat mengadakan perkumpulan antar pekerja pribadi di kediaman Park Chan.

"Sejak perginya Ailin di hari debutnya sebagai pianis tiga bulan lalu, Chan menjadi sangat kacau. Aku tidak tau seberapa berharganya gadis itu dimatanya. Aku hanya ingin chan menjalani kehidupannya sebagai seorang CEO, tolong jaga Chan, ya! kemanapun di pergi, aku minta kalian semua menjaga keponakanku, jangan sampai dia mencari Bae Ailin."

Mata Pak Choi membulat sempurna setelah berhasil mengumpulkan ingatannya kemarin. Wajar saja, ketika perkumpulan tersebut, Choi sedang berusaha memerangi rasa kantuknya yang tak tertahankan akibat kelelahan mengantar Chan keluar kota. Saat ini, Choi Si-Woo hanya bisa memijat keningnya. Semua terlambat. Chan sudah berlalu dengan sendirinya. Karena hanya Ailin satu-satunya nama yang terekam dalam pikirannya.

***

Masih melaju dengan kecepatan tinggi, Chan memainkan stirnya seraya mengingat semua detik terakhirnya saat Ailin masih ada di sampingnya. Semua ingatan itu sangat berantakan dan tak karuan, karena hati dan fikirannya tengah beradu. Semua kacau.

Sesekali ia memijak rem saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, menggigit sebelah jari tangannya. Matanya menerawang kesegala arah, dengan nafas yang terasa berat. Mimpi itu membawa pikiran buruk bagi Chan. Itulah alasan terkuatnya untuk menemukan Ailin saat ini juga. Ia mengorbankan waktunya yang sejatinya sangat padat. Meninggalkan rapat penting hanya untuk pergi ke Daegu mencari Ailin. Karena di situlah asal gadis tersebut.

Jarak antara Seoul menuju Daegu memakan waktu kurang lebih tiga jam. Di tengah lampu lalu lintas yang masih setia dengan warna merahnya, Chan tak hentinya mengklakson kendaraan di depannya, namun nihil, tak ada satupun yang bergerak, karena belum ada lampu hijau disana, di tambah guyuran hujan yang semakin deras. semua itu membuatnya semakin berteriak frustasi sambil memukulkan tangannya ke stir mobil. emosinya semakin menjadi akibat perubahan suhu.

Ketika lampu hijau telah bersinar, seketika ia bersiap untuk melaju lebih cepat dari sebelumya, bahkan ia lupa jika sekarang bukan di jalan tol, melainkan ini jalan utama kota daegu. banyak puluhan kendaraan yang berlalu lalang di sana harus memijak remnya dengan sangat mendadak. Bahkan banyak dari mereka yang mengumpat akibat ulah CEO satu ini.

"Siapa dia?".

"Apa dia mabuk?"

"Gila!"

Chan memang tak dengar. Tapi, dia juga tidak peduli seberapa tinggi kecepatan yang diambilnya dalam berkendara.

Ia terus menancap gasnya, hingga bertemu lagi dengan lampu lalu lintas yang baru saja menyala dengan warna kuning, dan sekarang telah berubah menjadi merah, tepat saat chan sudah berada di sana, namun ia justru melewatinya dengan kecepatan mobil balap yang membuatnya memutus jalan kendaraan lain.

DARRR!!!

@ddablue_

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status