"Chan-ah, Bibi disini, Nak." Bibi Park berucap seraya berkedip yang menjatuhkan bulir air matanya.
Chan menggeleng kencang, entah apalagi yang ada di dalam benaknya. Dengan segala kekacauan yang tengah melandanya, ia melepas infus yang bersarang di punggung tangannya dengan sangat kasar. Bibi Park menejrit histeris seraya memegangi dadanya yang sangat pengap dan terus berusaha menarik nafas sekuat tenaga meski terasa berat.
Rose dan residen juniornya yang baru saja membuka pintu ruangan tersebut terperanjat menyaksikan Bibi Park yang begitu lemah, sontak keduanya menghampiri wanita itu yang ditemukan kejang-kejang tersungkur di lantai.
Dokter residen muda itu menyandarkan tubuh Bibi Park ke bahunya, sementara Rose menghubungi dokter spesialis paru-paru untuk segera datang ke ruangan tersebut.
Tapi Chan tidak peduli dengan keadaan bibinya yang memiliki penyakit astma itu. Sekarang ia justru menurunkan kakinya untuk beranjak dari ranjangnya. Bahkan ia memaksa kakinya yang belum bisa berdiri tegak akibat patah tulang yang dialaminya saat kecelakaan. Ia terus memaksakan diri untuk berdiri. Ya, dia berhasil beriri dengan sempurna, namun saat dia mencoba untuk melangkah, kakinya tak sanggup menopang tubuhnya yang tinggi itu, hingga ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
"Park Chan-ssi!" Teriak Rose terperanjat.
Tapi tunggu, ada sensasi aneh di sana yang mengalirkan sensasi hangat dan menenangkan. Di detik selanjutnya, ia memalingkan wajahnya ke kanan dan mendapati bola mata coklat gelap milik Rose. Dokter itu menopang tubuh lemah chan yang lebih besar dua kali lipat dari Rose dengan memeluknya. Sekarang kedua pasang mata itu tengah beradu, menjadikan detik-detik yang begitu sunyi. Bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan. Mata Rose masih setia menatap Chan tanpa berkedip membuat kerongkongannya terasa begitu kering.
"Berhenti menatapku seperti itu." Suara bass milik Chan bagai sengatan di hati Rose.
Rose terlanjur kikuk di buatnya. Rasanya ingin mendorong tubuh chan agar tidak saling bertautan lagi, namun itu tindakan gila, pria dengan tinggi semampai itu saja tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Rose berusaha mencari objek lain selain mata hitam milik chan yang hanya tersisa beberapa sentimeter saja darinya, sekaligus menyembunyikan pipinya yang mulai memanas.
"Haaah?!" Mata Rose membulat beserta mulut yang terbuka lebar, ketika melihat ada cairan merah bercucuran yang megalir deras dari punggung tangan Chan, disusul dengan rintihannya yang baru saja merasakan nyeri dan perih akibat ulahnya melepas selang infus secara kasar.
Tanpa ini itu, Rose perlahan menuntun Chan ke atas ranjangnya lagi. Chan hanya pasrah mengikuti setiap pergerakan yang dokter itu lakukan padanya saat ini, karena ia benar-benar merasa kesakitan.
aaakh..
Kali ini, seperti ada hantaman besar yang menimpa kepala Chan. Ia merasakan pening yang luar biasa, berusaha menenangkannya dengan sebelah tangan yang terbebas dari luka sambil menunggu Rose yang masih mengobati luka tangannya.
"Park Chan-ssi, tenangkan pikiranmu sejenak. Kau tidak perlu banyak berfikir saat ini." tutur Rose seraya menghentikan aktifitasnya yang sedang mengusap kapas berisikan alkohol ke tempat luka.
"K-kau gila! Kepala ku mau pecah!" pekik Chan tak kuasa menahan rasa sakit.
Rose menyunggingkan senyumannya, "Itu tidak akan lama jika anda terus tersenyum."
Wanita ini justru semakin membuat Chan muak dengan kalimat-kalimat penenang yang sama sekali tak mempengaruhinya
Satu kepalan tangan raksasa milik Chan mengetuk pelan ubun-ubun Rose. "Jangan banyak bicara! Cepat obati lukaku."
Sesekali Rose meringis kesakitan sambil banyak menggerutu dalam benaknya. Mengernyitkan sebelah bibir sebagai tanda kekesalannya pada pria aneh satu ini. namun ia tetap melanjutkan tahap akhir dari pengobatan tangan Chan.
"Kemana bibiku?" tanya Chan yang baru tersadar akan keberadaan Bibi Park setelah mencoba menerawang seluruh ruangan.
Plester berhasil terpasang sempurna di atas punggung tangan Chan. Kini, tak ada lagi darah yang mengalir. Lalu menatap lawan bicaranya tersebut. "Bibimu sesak nafas melihat aksi hebohmu."
Semua tindakan gila tadi, memang terjadi secara spontan. Bahkan Chan baru menyadarinya. Pria itu memijat keningnya. "Pasti astmanya kambuh".
"Apa itu sering terjadi?" tanya Rose.
Chan hanya mengangguk. Karena memang itu adanya. Penyakit bibi park selalu kambuh jika ada hal yang sangat menyiksanya. Chan menunduk lagi seraya mebasahi bibir bawahnya sebagai penyesalan bahwa semua itu terjadi atas kelakuannya sendiri. Hari ini, ia benar-benar hancur.
Melihat keadaan Chan yang semakin menaruh banyak beban, Rose tak hanya tinggal diam. Ia meraih satu bahu Chan dengan memberikan usapan pelan di sana yang Mengalirkan sebuah ketenangan, "Tenanglah, Bibi Park sudah langsung ditangani. Kau tidak perlu banyak berfikir. Sekarang, beristirahatlah."
Seketika Chan memandangi mata Rose lagi dengan tatapan yang amat dingin dan tak dapat diartikan. Lagi-lagi Rose hanya bisa terpaku di hadapannya.
Untuk mengalihkan sensasi aneh yang menyengat Rose, ia berucap sembari memberikan senyuman lebar, "Ah.. baiklah tuan, bersiap untuk menyambut pagi. kita akan melakukan terapi besok. Selamat malam."
Perlahan Rose melangkahkan kakinya kebelakang sambil terus melambaikan tangan pada Chan sampai ia berhasil menutup pintu itu. Chan menaikkan sebelah alisnya, lalu memilih untuk berbaring, membungkus setengah badannya dengan selimut.
"Hufft..." Rose menghela nafas kencang setelah berhasil keluar dari ruangan Chan. "Dia benar-benar gila."
***
Hari sudah terlampau larut, bahkan hampir menunjukkan pukul 1 dini hari. di saat menghadapi pasien seperti ini, Rose memang selalu kurang beristirahat. Terlebih jika ada jadwal operasi dan masih harus menyiapkan ujian proposal.
Ia berjalan menyusuri lorong menuju tempat Bibi Park di rawat untuk sementara.
Krek!
Pintu ruang rawat berhasil Rose buka. Hanya ada kesunyian di dalam gelap. Gadis itu mendengus pelan, karena sepertinya Bibi Park telah beristirahat. Ia memutuskan untuk menutup pintunya kembali.
"Rose?"
Mata Rose terbelalak mendengar panggilan itu sebelum ia menutu pintu dengan sempurna, lalu membukanya kembali dan mendapati Bibi Park yang tengah menyalakan lampu tidur diatas nakas. Wanita berambut pendek itu mengangkat kedua sudut bibirnya, menyambut kedatangan Rose.
Rose menyalakan lampu utama, agar suasana lebih nyaman. Menempatkan diri di atas kursi yang ada di samping ranjang bibi park.
"Bagaimana keadanmu nyonya?" tanya Rose perhatian.
"Ya seperti inilah orang tua." Balas bibi park yang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, "Rose?"
"Ya?" Rose bersiap menyimak Bibi Park bertukas.
"Kau harus tau. Chan sering bergumam nama Ailin, jadi aku mohon untuk selalu membuatnya tidak mengingat nama itu lagi. Kau bisa melakukannya, kan?" tutur Bibi Park menaruh harapan.
"A-ailin?" Rose menyipitkan matanya.
"Uhmm.. Chan selalu memikirkannya, aku takut pikirannya semakin terbebani hanya karena satu nama." tambah Bibi Park.
Rose tak langsung menjawab. Ada banyak hal yang berkeliaran di pikirannya. Membasahi bibir bawah sejenak, lalu bertanya, "Kalau boleh tau... siapa Ailin itu?"
@ddablue_
"A-apa Ailin yang dimaksud adalah kekasih Tuan Chan?" Selidik Rose dengan kemungkinan lain."Dia lebih dari kekasih. Chan bisa menganggapnya sebagai ibu ataupun kakak." Bibi Park menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya lagi."Mereka sudah saling mengenal sejak Chan duduk di bangku SMA. Tepatnya Ailin satu tahun lebih tua darinya. Sampai pada Ailin yang masuk menjadi trainer musisi di LEYO Studio. Tepat di hari debutnya, tiga bulan lalu, dia menghilang. Semua bagai cambuk bagi Chan."Rose mendengus kencang. "Aku yakin itu sangat berat bagi Tuan Chan" Ia bisa membayangkan betapa rapuhnya pria tersebut. Sebab, Rose juga memiliki sosok yang sama berartinya seperti posisi Ailin pada Chan."Untuk membuatnya lupa tentang masa lalu.. itu diluar kuasaku. Tapi aku akan berusaha untuk membuatnya lebih baik." Sambung Rose lebih bersemangat. Karena memang itu tujuannya menjadi seorang dokter. Menyelamatkan orang-orang dari penyakitnya.Ada lega dari air muka bibi park yang te
Rose sempat memejamkan matanya sebelum cairan bening tersebut melucur dengan liar. Tapi semua itu jauh dari usahanya. Air mata mengalir dengan sangat cepat melintasi pipinya.Di saat lagu telah berakhir, keduanya melepas jemari dari tuts piano. Tapi Chan mengulangi lagi lirik terakhir lagu tersebut tanpa dentingan piano. Hanya ada suara bass yang mampu menyayat hati Rose.Pria itu benar-benar membuat suasana menjadi sangat sendu dengan kemampuan bernyanyi dan bermusiknya.Mata Chan terbelalak saat menemukan ada air yang menetes dari pelupuk mata Rose, "Kau menangis?""Ah.. benarkah?" Rose buru-buru menyeka air matanya, "Mungkin aku terlalu menghayati."Rose berusaha keras agar Chan tidak menanyainya lebih jauh seputar masa lalunya. Jika ia mengetahui apa yang tersembunyi, pasti Chan akan menggila dan merasa bersalah. Lalu, akan semakin sakit.Rose tidak ingin membuat orang lain menyalahkan dirinya sendiri. Karena itu adalah tipikal seorang Park Chan."Permainanmu sangat indah, Noona."
Chan memandangi danau buatan yang ada di pinggir taman rumah sakit tersebut. Angin yang berhembus terasa begitu sejuk. Air yang tenang dengan udara yang segar. Semua ini menjadi pemandangan yang ia cari selama ini. Selama hidupnya, ia tak pernah merasakan makna dari ketenangan yang sesungguhnya.Sejak kecil, ia telah menggeluti dunia hiburan sebagai artis dan model cilik. Semakin bertambah usia, semakin meraup kepopuleran yang luar biasa.Terlebih saat ia berkarir sebagai penyanyi dan musisi. Meskipun saat ini, ia tidak lagi aktif dalam dunia hiburan, bukan berarti ia harus berhenti dari sorotan media.Justru sekarang namanya jauh melambung dengan menggandeng selebriti ternama korea selatan sebagai pemegang saham terbesar dalam bidang entertainment. Rasanya, tak ada kesempatan untuk bisa duduk tenang menikmati hidupnya.Apa iya hidupnya akan secepat itu? Bahkan Chan belum sempat memaknai apa itu kehidupan. Rasanya seperti sebuah mimpi. Terbangun dalam keadaan sakit dengan penyakit yang
"Apa?! D-dokter Pribadi untuk Park Chan?!" Rose cukup tersentak mendengar penuturan Dokter Gyeon. "T-tapi.. kenapa harus saya? Saya masih harus menyelesaikan tahun terakhir masa residensi ini dengan baik." "Bagaimana dengan dokter lain?" Rose masih terus mencari kemungkinan lain. "Dokter lain siapa? Sejak awal yang ikut menangani Park Chan adalah Aku dan Kau. Juga ada beberapa dokter ortopedi yang membantu menangani patah tulang setelah operasi." Dokter Gyeon berusaha menjelaskan, "Dan penyakit yang diderita Park Chan baru ketahuan setelah kejadian nahas itu." "Hanya kita yang menangani Glioblastomanya sejak awal." tambahnya lagi, "Kau tau kan, banyak pasien lain yang menungguku? Aku tidak bisa merangkap sebagai dokter pribadi yang setidaknya harus fokus pada satu pasien." Rose mendengus bertenaga, "Saya ini masih residen! Lalu, apa saya harus menunda ujian proposal saya?" "Kita sudah bahas ini. Direktur, juga aku sebagai pembimbingmu... habiskanlah masa residenmu dengan mearwat P
Bibi Park sudah bisa kembali beraktifitas. Sesekali ia menghubungi Steave yang berkutat menggeluti perusahaan seorang diri. Namun, rupanya LEYO Studio masih tetap eksis dengan para artisnya yang semakin menguasai dunia hiburan Korea Selatan meski tanpa kepemimpinan CEO Chan.Semua staf memahami itu. Kini Steave tengah mempersiapkan lomba festival musik.Bibi Park melangkah menuju ruang rawat Chan. Membuka pintu dan mendapati keponakannya yang tengah melamun menatap dinding-dinding putih ruangannya."Chan." panggil Bibi Park sambil menarik satu kursi di samping keponakannya itu, lalu terduduk disana."Bibi? Apa kau baik-baik saja. Bagiamana dengan Bibi? Aku mengkhawatirkanmu." balas Chan yang telah terbangun dari lamunannya sambil berusaha untuk duduk."Tidak apa-apa." Bibi Park menahan pergerakan Chan agar ia tidak perlu bangkit, "Aku hanya kelelahan.""Maafkan Aku." kata Chan lirih. "Aku membuatmu kacau."Bibi Park merekahkan senyumnya. Mengusap kepala keponakannya itu lembut, "Sangat
Mendadak seluruh sendi dalam tubuh Rose melemah kehilangan fungsi mereka. Jantungnya juga berdetak tak karuan. Bibirnya bergetar dengan tatapan yang tak menentu dunianya serasa hancur berkeping-keping mendengar tiap kalimat yang disematkan adik kandung Min-Joon ini."Bagaimana bisa aku tidak hadir di upacara pemakamannya? Bagaimana bisa aku tidak berada disampingnya di detik terakhir? Bagaimana bisa Min-Joon pergi meninggalkanku?" Rose bertanya-tanya pada dirinya sendiri dengan suara yang terasa begitu berat untuk didengar.Perlahan Min-Jae berusaha menenangkan Rose dengan mengusap punggung tangannya lembut, "Tenanglah, Noona. Kau punya alasan untuk itu.""Hari rabu, jenazah Min-Joon Hyung baru tiba dari Urk, lalu keluarga segera melangsungkan upacara itu. Mereka mengabariku untuk menjemputmu sekalian karena aku sedang ada pelatihan di Daegu." Min-Jae membasahi bibir bawahnya sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya lagi."Tapi ketika aku datang kesini, kau sedang ada operasi, Noona. Itu
Chan terus menatap danau buatan di belakang halaman rumah sakit. Ia bergeming. Pikirannya benar-benar kelabu. Pun juga tak menghiraukan Si-Woo di sampingnya--yang sedari tadi mengajak Chan berbicara. Hal itu membuat Si-Woo memilih sibuk menikmati camilannya.Sesekali Chan terpejam dan menggeleng. Mengingat semua yang di bicarakan Bibi Park padanya semalam."Rose bisa menjadi lebih dari dokter pribadimu, Chan.""M-maksudnya?""Aku tidak pernah menyangka, jika masih ada orang yang begitu sabar mendampingimu. Kau tau, kan? Sifat kasarmu itu acap kali menyakiti orang lain. Kau hanya bersikap baik padaku, tapi aku sudah tua. Dan kau juga sudah dewasa. Aku tidak bisa terus-terusan berada di sampingmu, Chan-ah.""Lalu? Apa maksud Bibi?""Aku ingin kalian menikah.""A-aku dan Rose bodoh itu?""Dia bukan sembarang orang yang bisa kau maki begitu saja. Dia gadis cerdas dan berprestasi. Dia diperebutkan oleh banyak rumah sakit padahal dia belum lulus masa residensi. Kau bisa baca biografi Rose di
Bali, 22 agustus 2022.Di hari ini, tepatnya di sebuah taman hotel nan asri di Bali, Indonesia. Park Chan dan Rose menyematkan janji suci sebagai pasangan suami istri. Keduanya berdiri di atas altar untuk melangsungkan upacara pernikahan tersebut."Dalam hidup sebagai pasangan yang sudah menikah, apa kalian akan selalu mencintai dam saling menghormati?""Ne." jawab Chan seadanya dengan suara seraknya. Ada getaran terdengar."Ne." sambung Rose pasrah.Keduanya sama-sama tertunduk dan menjawab pertanyaan tersebut asal. Tanpa memaknai janji yang akan terikat seumur hidup tersebut. Baik Rose maupun Chan, hanya pasrah mengikuti skenario ini.Dan menyadari bahwa waktu berlalu begitu cepat. Bagaimana bisa, ini semua terjadi selang dua bulan selepas insiden di Daegu itu. Lagi, mereka hanya terima jadi. Bibi Park yang menyiapkan semuanya."Aku mengumumkan kalian menjadi suami dan istri. Saat kalian turun, paduan suara akan menyanyikan sebuah berkat bagi kalian."Para tamu undangan yang hanya te