Share

5. Should I?

"Chan-ah, Bibi disini, Nak." Bibi Park berucap seraya berkedip yang menjatuhkan bulir air matanya.

Chan menggeleng kencang, entah apalagi yang ada di dalam benaknya. Dengan segala kekacauan yang tengah melandanya, ia melepas infus yang bersarang di punggung tangannya dengan sangat kasar. Bibi Park menejrit histeris seraya memegangi dadanya yang sangat pengap dan terus berusaha menarik nafas sekuat tenaga meski terasa berat.

Rose dan residen juniornya yang baru saja membuka pintu ruangan tersebut terperanjat menyaksikan Bibi Park yang begitu lemah, sontak keduanya menghampiri wanita itu yang ditemukan kejang-kejang tersungkur di lantai.

Dokter residen muda itu menyandarkan tubuh Bibi Park ke bahunya, sementara Rose menghubungi dokter spesialis paru-paru untuk segera datang ke ruangan tersebut.

Tapi Chan tidak peduli dengan keadaan bibinya yang memiliki penyakit astma itu. Sekarang ia justru menurunkan kakinya untuk beranjak dari ranjangnya. Bahkan ia memaksa kakinya yang belum bisa berdiri tegak akibat patah tulang yang dialaminya saat kecelakaan. Ia terus memaksakan diri untuk berdiri. Ya, dia berhasil beriri dengan sempurna, namun saat dia mencoba untuk melangkah, kakinya tak sanggup menopang tubuhnya yang tinggi itu, hingga ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

"Park Chan-ssi!" Teriak Rose terperanjat.

Tapi tunggu, ada sensasi aneh di sana yang mengalirkan sensasi hangat dan menenangkan. Di detik selanjutnya, ia memalingkan wajahnya ke kanan dan mendapati bola mata coklat gelap milik Rose. Dokter itu menopang tubuh lemah chan yang lebih besar dua kali lipat dari Rose dengan memeluknya. Sekarang kedua pasang mata itu tengah beradu, menjadikan detik-detik yang begitu sunyi. Bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan. Mata Rose masih setia menatap Chan tanpa berkedip membuat kerongkongannya terasa begitu kering.

"Berhenti menatapku seperti itu." Suara bass milik Chan bagai sengatan di hati Rose.

Rose terlanjur kikuk di buatnya. Rasanya ingin mendorong tubuh chan agar tidak saling bertautan lagi, namun itu tindakan gila, pria dengan tinggi semampai itu saja tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Rose berusaha mencari objek lain selain mata hitam milik chan yang hanya tersisa beberapa sentimeter saja darinya, sekaligus menyembunyikan pipinya yang mulai memanas.

"Haaah?!" Mata Rose membulat beserta mulut yang terbuka lebar, ketika melihat ada cairan merah bercucuran yang megalir deras dari punggung tangan Chan, disusul dengan rintihannya yang baru saja merasakan nyeri dan perih akibat ulahnya melepas selang infus secara kasar.

Tanpa ini itu, Rose perlahan menuntun Chan ke atas ranjangnya lagi. Chan hanya pasrah mengikuti setiap pergerakan yang dokter itu lakukan padanya saat ini, karena ia benar-benar merasa kesakitan.

aaakh..

Kali ini, seperti ada hantaman besar yang menimpa kepala Chan. Ia merasakan pening yang luar biasa, berusaha menenangkannya dengan sebelah tangan yang terbebas dari luka sambil menunggu Rose yang masih mengobati luka tangannya.

"Park Chan-ssi, tenangkan pikiranmu sejenak. Kau tidak perlu banyak berfikir saat ini." tutur Rose seraya menghentikan aktifitasnya yang sedang mengusap kapas berisikan alkohol ke tempat luka.

"K-kau gila! Kepala ku mau pecah!" pekik Chan tak kuasa menahan rasa sakit.

Rose menyunggingkan senyumannya, "Itu tidak akan lama jika anda terus tersenyum."

Wanita ini justru semakin membuat Chan muak dengan kalimat-kalimat penenang yang sama sekali tak mempengaruhinya

Satu kepalan tangan raksasa milik Chan mengetuk pelan ubun-ubun Rose. "Jangan banyak bicara! Cepat obati lukaku."

Sesekali Rose meringis kesakitan sambil banyak menggerutu dalam benaknya. Mengernyitkan sebelah bibir sebagai tanda kekesalannya pada pria aneh satu ini. namun ia tetap melanjutkan tahap akhir dari pengobatan tangan Chan.

"Kemana bibiku?" tanya Chan yang baru tersadar akan keberadaan Bibi Park setelah mencoba menerawang seluruh ruangan.

Plester berhasil terpasang sempurna di atas punggung tangan Chan. Kini, tak ada lagi darah yang mengalir. Lalu menatap lawan bicaranya tersebut. "Bibimu sesak nafas melihat aksi hebohmu."

Semua tindakan gila tadi, memang terjadi secara spontan. Bahkan Chan baru menyadarinya. Pria itu memijat keningnya. "Pasti astmanya kambuh".

"Apa itu sering terjadi?" tanya Rose.

Chan hanya mengangguk. Karena memang itu adanya. Penyakit bibi park selalu kambuh jika ada hal yang sangat menyiksanya. Chan menunduk lagi seraya mebasahi bibir bawahnya sebagai penyesalan bahwa semua itu terjadi atas kelakuannya sendiri. Hari ini, ia benar-benar hancur.

Melihat keadaan Chan yang semakin menaruh banyak beban, Rose tak hanya tinggal diam. Ia meraih satu bahu Chan dengan memberikan usapan pelan di sana yang Mengalirkan sebuah ketenangan, "Tenanglah, Bibi Park sudah langsung ditangani. Kau tidak perlu banyak berfikir. Sekarang, beristirahatlah."

Seketika Chan memandangi mata Rose lagi dengan tatapan yang amat dingin dan tak dapat diartikan. Lagi-lagi Rose hanya bisa terpaku di hadapannya.

Untuk mengalihkan sensasi aneh yang menyengat Rose, ia berucap sembari memberikan senyuman lebar, "Ah.. baiklah tuan, bersiap untuk menyambut pagi. kita akan melakukan terapi besok. Selamat malam."

Perlahan Rose melangkahkan kakinya kebelakang sambil terus melambaikan tangan pada Chan sampai ia berhasil menutup pintu itu. Chan menaikkan sebelah alisnya, lalu memilih untuk berbaring, membungkus setengah badannya dengan selimut.

"Hufft..." Rose menghela nafas kencang setelah berhasil keluar dari ruangan Chan. "Dia benar-benar gila."

***

Hari sudah terlampau larut, bahkan hampir menunjukkan pukul 1 dini hari. di saat menghadapi pasien seperti ini, Rose memang selalu kurang beristirahat. Terlebih jika ada jadwal operasi dan masih harus menyiapkan ujian proposal.

Ia berjalan menyusuri lorong menuju tempat Bibi Park di rawat untuk sementara.

Krek!

Pintu ruang rawat berhasil Rose buka. Hanya ada kesunyian di dalam gelap. Gadis itu mendengus pelan, karena sepertinya Bibi Park telah beristirahat. Ia memutuskan untuk menutup pintunya kembali.

"Rose?"

Mata Rose terbelalak mendengar panggilan itu sebelum ia menutu pintu dengan sempurna, lalu membukanya kembali dan mendapati Bibi Park yang tengah menyalakan lampu tidur diatas nakas. Wanita berambut pendek itu mengangkat kedua sudut bibirnya, menyambut kedatangan Rose.

Rose menyalakan lampu utama, agar suasana lebih nyaman. Menempatkan diri di atas kursi yang ada di samping ranjang bibi park.

"Bagaimana keadanmu nyonya?" tanya Rose perhatian.

"Ya seperti inilah orang tua." Balas bibi park yang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, "Rose?"

"Ya?" Rose bersiap menyimak Bibi Park bertukas.

"Kau harus tau. Chan sering bergumam nama Ailin, jadi aku mohon untuk selalu membuatnya tidak mengingat nama itu lagi. Kau bisa melakukannya, kan?" tutur Bibi Park menaruh harapan.

"A-ailin?" Rose menyipitkan matanya.

"Uhmm.. Chan selalu memikirkannya, aku takut pikirannya semakin terbebani hanya karena satu nama." tambah Bibi Park.

Rose tak langsung menjawab. Ada banyak hal yang berkeliaran di pikirannya. Membasahi bibir bawah sejenak, lalu bertanya, "Kalau boleh tau... siapa Ailin itu?"

@ddablue_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status