Share

4. Ada Harapan

"Untuk itu saya akan pikirkan lagi dan perlu juga untuk dibicarakan oleh dokter pembimbing proposal saya. Lagipula untuk pasca operasi ini, Tuan Chan masih harus menetap disini." Ada bimbang dalam benak Rose. Disisi lain ia ingin menghabiskan waktunya di rumah sakit ini demi fokus menyelesaikan ujian terakhirnya.

"Aku kebetulan mengenal Direktur Kang dengan baik. Aku juga sempat berbicara dengannya. Tenang saja. Pasti akan ada keringanan. Kau juga sangat cerdas. Aku harap kau akan menerimanya, karena Chan butuh bimbingan ekstra untuk mental dan kesehatannya dan hanya Chan satu-satunya penerus perusahaan, aku tidak mau perusahaan mendiang ayahnya jatuh pada tangan orang lain. Aku yakin, kau bisa melakukannya." Tambah Bibi Park banyak menaruh harapan, mengingat banyak kerabat yang menginginkan LEYO Studio.

Namun Rose masih butuh waktu untuk memikirkan itu. Menjadi seorang dokter pribadi? Sepertinya sangat sulit untuk Rose, meskipun akan ada keringangan dan kemudahan.

Terlebih jika ia harus berkecimpung dalam dunia orang tersohor di negaranya ini. rasanya seperti membandingkan strata diantara keduanya. Rose bukanlah dari kalangan terpandang sebagaimana Park Chan. Ia hanya gadis desa yang berjuang dengan kerja kerasnya.

***

"Apa ada titipan untukku?" tanya Rose dengan nafas yang tersengal-sengal akibat berlari dari ruangannya menuju recepcionist, untuk mengambil entah apa yang terlampir di pesan singkat tadi.

"Ah, ya." Seorang perawat penjaga recepcionist tersebut berbalik arah untuk mengambil benda yang tersimpan di loker.

Sebuah kotak berukuran sedang dengan warna coklat klasik, dihiasi sebuah pita yang bersarang diatasnya, berhasil di sodorkannya ke hadapan Rose.

"Ini untukmu, dokter cantik." Goda perawat tersebut seraya merekahkan senyumnya.

Tangan Rose meraih benda persegi tersebut sambil menyipitkan matanya, memperhatikan setiap sisi kotak tersebut. "Apa orang yang memberikan ini bernama Yook Min-Jae?" Selidik Rose untuk memastikan dugaannya.

"Hmm.. sepertinya begitu, aku tidak terlalu mencernanya, karena sepertinya dia sangat terburu-buru." terang perawat itu.

"Terima kasih." Rose membagikan senyum termanisnya sebelum ia pergi meninggalkan bilik recepcionist di lobi rumah sakit.

Rose melangkahkan kakinya keluar, menuju taman di samping rumah sakit. Lalu ia memilih untuk duduk di bangku warna putih, tepat di bawah lampu taman yang terang. Ada sebuah kesunyian di sana.

Memang sejatinya itu yang Rose cari saat ini. Menghirup udara malam yang terasa dingin agar merasuk ke seluruh pembuluh darahnya. Mengalirkan sensasi segar yang menenangkan.

Tiba- tiba ia mengingat satu nama, seraya menerka asumsi yang mulai berkeliaran di kepalanya. Yook Min-Jae?

Lalu ia menggeleng, tak ingin terlalu memikirkan banyak hal saat ini. seketika, Rose membuka kotak yang tadi baru saja ia dapatkan. Di mulai dari membuka pita yang mengikat kotak tersebut.

Matanya menyipit dengan dahi yang mengkerut kala melihat dua buah benda lingkaran yang terbuat dari perak. Tanpa ini itu, rose meraih satu darinya. Terukir jelas dua buah nama di dalamnya. Yook Min Joon & Seo Ji Hyun.

Sekarang mata Rose membulat sempurna. Ada sesak yang menimpa dadanya. Ia memberi sebuah pukulan kecil didadanya untuk sekedar meredakan nyeri yang di rasakannya, bersamaan dengan suara dedaunan yang saling bergesekan karena hembusan angin malam yang menghantam kepalanya untuk mengingat kejadian beberapa bulan lalu.

"Jihyun-ah, sebenarnya aku tidak ingin menunda niatku untuk melamarmu, tapi aku janji, setelah tugas palang merahku di Urk, aku akan segera melamar untuk. Karena mendahulukan kepentingan orang lain bukankah itu lebih baik daripada mementingkan diri sendiri? Terlebih jika orang lain yang sedang kesulitan."

"Aku akan terus menunggumu. Lakukanlah niat baikmu untuk membantu orang lain Min Joon-ah".

Tapi kenapa kedua cincin ini ada padaku?

Lalu kenapa orang lain yang memberikannya padaku?

Sekarang ini, banyak pertanyaan yang berkeliaran mengitari otaknya. Ia menarik nafas yang entah kenapa terasa begitu berat. Haruskah Rose menghubungi Minjoon untuk saat ini?

Tidak! Di saat tugas seperti ini, dia tidak ingin mengganggunya. Biasanya, Min-Joon yang akan terlebih dahulu menghubunginya.

"Rupanya kau disini." Celoteh Nam Hyo-Joo yang tiba-tiba telah berada di samping Rose. Ia adalah teman dekat Hyo-Joo saat masih belajar di Universitas Sungkyunkwan. Tetapi, mereka terpisah ketika saling mengambil gelar spesialis. Hyo joo, tidak sepintar Rose yang dapat meraih beasiswanya, ia tetap mengambil studi di universitas yang sama.

"Aku mencari mu untuk makan siang, ternyata kau ada operasi. Apa semuanya berjalan lancar?" Sambung Hyo-Joo sembari merangkul bahu Rose.

"Ya begitulah. Dia korban kecelakaan pagi tadi." jawab Rose seadanya.

Seketika, Hyo-Joo melepas rangkulannya sembari membulatkan mata dengan menopang pipinya dengan kedua tangannya. "Omoo!"

Rose mengkerutkan keningnya sebagai pertanda akan ketidakpahamannya.

"Heol! Park Chan?" Hyo joo semakin histeris, namun lagi-lagi, Rose hanya mengangguk hambar.

"Kau tau siapa dia?" tanya Hyo-Joo tak bisa mempercayainya

"Tau."

Kemudian Hyo-Joo si ekspresif, meraih kotak yang masih berada dalam genggaman Rose yang berhasil membuatnya terkesiap.

"Bukankah ini cincin tunanganmu?" Selidik Hyo-Joo.

Rose mengiyakan seraya menceritakan beberapa kalimat yang pernah Min-Joon ucapkan sebelum keberangkatannya ke Urk atas penundaan lamaran, di tambah dengan permintaan Bibi Park yang meminta Rose untuk menjadi dokter pribadi Chan.

Tepatnya, Rose bimbang untuk menerima permintaan wanita itu, namun disisi lain, Min-Joon sendiri selalu mendahulukan kepentingan orang lain, terlebih jika orang tersebut mengalami kesulitan.

"Terima saja permintaan keluarga Park apa susahnya? Lagi pula tunanganmu itu, sudah memberikan contoh yang baik untukmu, ikuti saja." tukas Hyo-Joo memberikan pencerahan bagi Rose.

"Aku mudah saja menerimanya, tapi aku tidak pernah terbayang akan berkecimpung dengan orang seperti mereka, terlebih hee chan masih berstatus sebagai idola di negri ini." Timpa Rose dengan air muka yang begitu cemas.

"Ingat apa kata Min-Joon. Jangan egois! Siapapun yang akan kau bantu, jika kau ikhlas, maka banyak hal baik yang akan menyelimuti hidupmu. Bukankah kau ingin menjadi dokter karena ingin membantu orang lain? Dan siapa yang akan membawamu ke layar kaca, jangan berkhayal."  kalimat Hyo-Joo bagai alarm, yang membangunkan rasa egois yang terkadang masih ada dalam dirinya.

Sejatinya bukan egois, Rose hanya tidak ingin, jika tiba-tiba dirinya menjadi sorotan media hiburan, meski itu belum tentu terjadi. Tapi berkeliaran di media adalah hal biasa bagi Park Chan yang sudah sangat familiar di mata publik.

***

Ruangan itu berbau antiseptik, meski tak begitu menyengat, sudah mampu untuk membuat Chan merasa terganggu. Pria yang masih terbaring lemah itu belum membuka matanya sempurna. Sejak tadi, Bibi Park hanya mendengarnya bergumam satu nama. Ailin.

Bibi Park tak hentinya meneteskan air mata di samping keponakannya itu, seraya mengusap punggung tangan Chan pelan dan terlihat sangat lembut. Tubuhnya terasa lemas. Jantungnya berdebar seiring dengan pengapnya paru-paru yang memasok udara berlebih ke dalam tubuh. Meskipun hanya keponakan, Bibi Park selalu memperlakukan chan sebagaimana anak kandung.

Maklum, wanita peruh baya ini tak memiliki anak. Pernikahannya kandas di tahun ketiga. Kini, ia tak pernah terfikirkan untuk menikah lagi. Kasarnya, ia trauma untuk membangun pernikahan, karena ia telah memilih orang yang salah.

Tak selang lama, Chan berhasil membuka matanya. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit putih bersih, membuat Bibi terkejut sekaligus lega melihat keponakannya yang telah sadarkan diri. Chan menghela nafas, sudah bisa menduga dimana sekarang ia berada.

"AILIN!" Teriak Chan bersamaan dengan tubuhnya yang terduduk. Matanya menerawang ke segala arah. Semua itu membuat bibi park menjadi semakin cemas.

@ddablue_

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ayanna Dhee
masih memantau. siapa ailin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status