Share

4. Di musuhi Nyonya besar

"Feminin Moudi, Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan" 

Begitulah yang di ucapkan 'Jeremy Nicholas' dihadapan Pendeta dan para tamu. Bahkan Jee juga mengecup bibir Femi membuat Femi terkejut. Tidak mungkin, hanya dalam semalam. Pernikahan ini terwujud. Jee tidak pernah main main dengan ucapannya.

Banyak sekali keluarga besar, kolega, teman teman jee, dan para tamu yang menghadiri pernikahannya. Hingga Femi merasa lelah berdiri, melayani mereka.

Femi melihat sekelilingnya, latar pernikahan impiannya pun terlaksana. Ada berbanyak bunga mawar putih, layaknya pernikahan dalam dongeng. Namun sayang, impian itu tidak terlaksana sepenuhnya. Bukan Jee, suami idaman nya. 'siapa juga yang ingin menikah dengan pria dingin gitu' sinis Femi dalam hati tatkala melihatnya berbicara dengan teman temannya

Di sisi lain, Jee terlihat seperti memperhatikan Femi. Saat pandangan Femi tak tertuju padanya. Gadis cantik dengan gaun putih dengan pernik gold, dan mahkota kecil di kepalanya. Terlebih, polesan di wajahnya terlihat natural namun tak terkesan pucat

Femi..

Femi..

Femi..

"Femiii,, bangun woii gadis udik"

Jee sedari tadi membangunkan Femi yang tak bangun bangun. Jee curiga, kalau Femi latihan meninggal bukannya tertidur.

Mata Femi pun terbuka perlahan. Saat wajah mereka saling bertemu, mata nya pun membulat sempurna. Buru buru, Femi pun segera bangun dari tidurnya.

"Syukurlah, hanya mimpi" ucapan Femi lega.

"Mimpi apa lo?"

"Aku mimpi menikah sama Tuan, syukur hanya mimpi. Entah apa jadinya, kalau saya benar benar menikah dengan Tuan" senyum Femi merasa senang

Kini gantian mata Jee yang membulat. Tersinggung dengan ucapannya itu

"Heh, kita memang sudah menikah!!!"

"Hah? Kok..."

"Lihat jari manis lo, itu cincin nikah kita!!"

Femi pun mengangkat kedua tangannya, dan emang benar itu bukanlah mimpi. Itu tadi hanya kenangan pernikahannya semalam

"Emang kenapa kalau Lo menikah sama gue? Bukannya beruntung? Tapi jangan harap lo bisa menikmati harta gue barang sebiji kerikil pun"

"Tuan, saya juga tidak ingin menjadikan pernikahan itu permainan. Kenapa harus saya yang jadi istri sementara, Tuan?"

"Karna hanya menikah, gue bisa bebas sentuh Lo" ucap Jee keceplosan dan membuatnya salah tingkah

Dahi Femi berkerut, benarkah ucapannya barusan?

"Gue sudah masukkin nomor gue di ponsel lo. Cukup nomor gue dan bokap Lo yang disimpan. Sekarang, Lo balik kerumah lo. Bokap Lo sakit. Biar Supir antar Lo pulang. Tapi ingat, cuman sejam."

Setelah mengucapkannya, Jee pergi dengan berpakaian rapi dan mengenakan Jas. Meninggalkan Femi yang masih tidak percaya dengan apa yang dia alami.

Kakinya pun bergerak maju, melihat ponsel yang di tunjuk Jee barusan. Ponsel merk terbaru dan Femi yakin harganya puluhan juta.

"Ini gawai ku kah? Perasaan punyaku, yang tutupnya di ikat pakai karet gelang deh"

Femi pun mencarinya di seluruh kamar. Dan tidak ketemu. Femi tidak yakin bahwa itu ponsel pemberian Jee. Tapi disisi lain hatinya mengatakan, kalau itu emang punyanya.

Dengan perasaan ragu, diambilnya ponsel itu dan ternyata benar. Nomor Jee dan ayahnya yang tersimpan di kontak.

Daripada buang buang waktu, bergegas Femi segera mandi dan siap siap pulang kerumahnya.

"Eh, Tuan putri mau kemana?" Sindir Ibu Widya bersama Monica yang ada disampingnya, saat Femi lewat di depannya dengan pakaian yang sudah rapi

"Mau pulang, Oma"

"Pulang aja, gak usah balik sini" kata Monica dengan sinis

"maaf, tapi perintah Tuan. Eh Jee, kalau saya tidak boleh lama lama disana. Permisi, saya pergi dulu" kata Femi buru buru meninggalkan mereka

Berada di antara mereka, membuat bulu kuduk Femi merinding. Aura mereka sangat tidak bersahabat, membuatnya tak betah disana

****

"Ayah"

Femi masuk ke kamar Ayahnya. Melihat putrinya datang, Pak Budi yang awalnya hanya berbaring. Kini berusaha untuk duduk

"Anak Ayah sudah pulang"

"Ayah sakit?"

"Hanya kecapaian" Senyum Pak Budi penuh arti.

"Kamu sekarang sudah dewasa nak. Penampilan kamu sekarang sangat bagus. Pasti suamimu, memanjakanmu" kata Pak Budi

"Tau dari mana , Femi menikah?"

"Dari David"

Femi terkejut, ternyata berita dirinya menikah sudah tersebar luas.

"Jadilah istri yang berbakti. Agar surga Ridho menerimamu. Tak usah fikirkan ayah disini. Sudah ada Suster dan pembantu yang merawat Ayah. Mereka di gaji David. Dokternya pun kesini, memeriksakan Ayah tepat waktu secara rutin"

Tak Femi sangka, sebaik inikah David padanya sampai urusan Ayahnyapun, dia tangani meski tanpa Femi minta. Femi merasa punya hutang Budi padanya. Seandainya Jee mengijinkannya menyimapn nomor David saat ini, Femi akan sangat berterima kasih pada David karna sudah banyak membantunya.

Sejam kemudian Femi berada dirumahnya, Femipun pamit pulang. Keburu telat. Sang sopir pun sudah mengingatkan Femi untuk segera kembali kerumah Jee

"Jaga diri Ayah baik baik. Femi sangat sayang Ayah"

"Begitupun Ayah, Nak. Semoga kamu selalu bahagia"

**

Ibu Widya dan Monica sudah lama menunggu Femi yang kini sudah berjalan mengarah ke mereka

"Eh Tuan putri baru pulang" Sindir Ibu widya

"Enaknya bisa santai santai, lagak pemilik rumah dia Oma" Monica pun sampai semangat mengomporinya.

"Eh, gadis kampung. Cepetan kamu beres beres rumah, dan masak buat makan malam. Sebelum Jee pulang" perintah Ibu Widya pada Femi penuh kebencian

"Tapi, para pelayan yang lain kemana?" tanya Femi hati hati

"Sudah saya suruh istirahatkan mereka.  Sudah terlalu capai mereka dengan urusan kamu semalam"

"Rumah ini sangat luas, Oma. Bagaimana saya bisa mengerjakan rumah ini sendirian"

"Yah teerserah kamu gimana caranya. Yuk Monica, kita nonton aja. Banyak film bagus bagus" Ajak Ibu Widya pada Monica dan segera menjauh.

Kini tinggal Femi sendiri dengan wajah kebingungannya. Badannya sangat kecil, tak mungkin mengerjakan ini semua sendiri. Tapi sebagai bentuk rasa terimakasih nya pada Jee karna telah membiarkan menjenguk ayahnya. Femi pun segera bangkit dan penuh semangat mengerjakan semuanya. Menyapu, menata rumah, mengepel, cuci piring, cuci pakaian, menyiram tanaman, sampai pada akhirnya Femi memasak untuk makan malam keluarga. Barulah para pelayan datang, menuju dapur. Terlihat dari raut muka mereka bahwa mereka tidak menyukai Femi

"Emang enak dikerjain Nyonya. Makanya jangan berlagak jadi ratu"

"Hahaha iya, pasti di khayalannya bakal hidup enak"

"Tau tuh, padahal kan yang cocok jadi istri Tuan Jee yah Non Monic. Kenapa jadi dia yang gak jauh beda sama kita"

Mereka bertiga saling sindir, menatap sinis Femi yang sedang mengiris wortel. Sedangkan 5 pelayan lainnya tetap diam saja, sibuk dengan rutinitasnya masing masing.

Saat memutar badan, tak sengaja Femi menabrak Ina Si pelayan yang sedang membawa panci berisi air kaldu panas. Tangan Femi pun terciprat karnanya

"aduh panas, perih!!" 

"Upss, gak sengaja" kata Ina dengan cueknya pergi meninggalkan Femi yang sedang meng aduh kesakitan.

Merasa tak dipedulikan orang sekitar, Femi memilih pergi dari dapur untuk mencari kotak obat. Setidaknya sebuah salep agar tangannya tidak melepuh. 

Lama berkeliling disetiap sudut ruang, tak dapat jua apa yang dicarinya. Femi memilih kembali ke kamarnya. Setidaknya di dalam kamar, dia bebas menangis sepuasnya

"Hikss,, Salahku apa sih sama mereka? Ini bukan mauku menikah dengan Jee. Jee yang memilihku. Tapi kenapa mereka memusuhiku?"

Dengan kepala tertunduk, Femi menundukkan kepalanya sambil menangis. Bukan, bukan karna lukanya. Tapi karna perlakuan orang orang sekitarnya yang membuat dia sakit.

"Nih"

Sebuah kotak obat PPPK, tiba tiba muncul di hadapannya. Dan saat kepalanya mendongak, muncul Jee yang membawa obat itu.

"Lo kenapa lagi?" Tanyanya yang hanya dijawab gelengan kepala

"Terserah Lo deh, ambil nih. Keburu infeksi tangan Lo"

Femi menerima pemberiannya Jee. Namun tak lama, Jee merebut kembali kotak obat tersebut. Dengan teliti, Jee mengobati tangannya Femi

"Udah selesai. Cengeng amat Lo. Gitu aja nangis"

"terima kasih, Tuan"

"Panggil gue Jee. Entar disangka orang, kita nikahan bohongan"

"Baik Jee."

"Lo balik ke kamar ini lagi? Apa kata Oma nanti kalau liat kita tidurnya pisah? Besok kembali ke kamar gue. Gue gak suka tidur sini, ranjangnya sempit" titah Jee dengan perasaan jengkel

Femi hanya melongo, ranjang seluas ini dibilang sempit? Apa kabar dengan ranjang dirumahnya, yang 3 kali lebih kecil dari ini.

Jee langsung pergi mandi, setelah mandi. Bersiap siap untuk segera berkumpul di ruang makan. Femi hanya menatap Jee, yang saat ini mengenakan celana pendek, dan kaos hitam polos di depan cerminnya sambil sisiran

"Tuan!"

"..."

"Kapan tuan??? hmmmm..." Femi ragu untuk mengucapkannya. Takut salah ngomong. 

"Apa?"

"Kapan Tuan mau ouh ouh sama saya?"

Jee mengernyitkan dahinya, menatap Femi dengan wajah bingung. Sadar atas kebingungan tuannya itu, Femi mencoba memperbaiki lagi perkataannya.

"Kan kata Tuan, saya cuman jalang.."

"Lalu..?"

"Kapan kita akan memulainya"

Jee terkejut atas pertanyaan Femi yang terkesan berani. Bagaimana mungkin Femi akan menanyakan hal ini? Seperti jalang yang kehausan belaian. Tanpa Jee menjawab, dia meninggalkan Femi yang masih dikamarnya. Membuat Femi penasaran dengan jawabannya dan terkadang menyesal telah menanyakan hal seperti tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status