Share

Duda Ganteng Meresahkan (Dugem)
Duda Ganteng Meresahkan (Dugem)
Penulis: Rizu Key

1. Kesan Pertama

Kedua mata beriris cokelat gelap itu tak mengerjap saat menangkap sosok pria sempurna yang berdiri di depan kasir. Gadis itu menatapi secara terus menerus pria dewasa itu dari tempatnya berdiri. Sungguh tampan dan sempurna. Lihatlah dagu tegas yang ditumbuhi bulu-bulu itu. Alisnya yang tebal dan bulu mata lentik. Lalu jangan lupa dengan iris matanya yang sedikit kehijauan. Berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan.

“Semuanya jadi tiga puluh dua ribu, Mas,” ujar seorang karyawan toko kelontong.

“Ini.”

“Oke. Kembaliannya tiga ribu, ya, Mas.”

“Makasih, Mbak,” balas pria tampan tersebut kemudian segera berjalan keluar toko.

Gadis muda yang berdiri di tempatnya pun langsung bergegas memberikan uang pas pada karyawan tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih, dia langsung berlari menyusul pria tampan yang baru saja dia temui.

“Tunggu, Mas!” serunya.

Pria tadi menghentikan langkahnya dan menoleh. “Apa kamu memanggilku?” Dia bertanya.

“Ya. Tunggu sebentar, Mas!” seru gadis tersebut sembari berlari kecil menghampiri sang pria.

“Ada apa?”

Gadis berambut hitam sebahu itu tiba-tiba menjulurkan tangan kanannya. “Perkenalkan namaku Diniyati Basuki,” ujarnya dengan sebuah senyuman manis.

Kedua alis pria tampan itu saling bertaut. Mengapa tiba-tiba ada seorang gadis muda yang mengajaknya berkenalan? Batinnya.

Kemudian, tanpa menjawab, pria tadi melengos begitu saja. Tak menyambut perkenalan manis dari sang gadis. Dia memilih pergi meninggalkan Dini yang merasa kesal karena diabaikan.

“Sabar Dini. Kuatkanlah dirimu kalau kamu mau mendapatkan pria yang merupakan tipemu itu,” gumamnya sembari menarik lagi tangan kanannya.

Seolah tak peduli telah diabaikan, Dini dengan percaya diri menyusul pria tersebut dan mensejajarkan langkahnya. Pria itu diam saja bahkan tak menoleh dengan keberadaannya.

“Mas orang baru, ya? Kok aku belum pernah lihat.” Gadis muda itu merubah strateginya. Mencoba tidak terlalu frontal dalam berkenalan dengan pria.

Pria tadi menoleh sejenak. Merasa terganggu karena Dini ikut berjalan bersamanya. Apakah gadis itu seorang penguntit? Copet barangkali?

“Ya. Aku orang baru di sini,” jawabnya kembali menatap ke depan.

Dini mengangguk-angguk dengan sebuah senyuman di wajah cantiknya.

“Oh ... Maaf kalau tadi aku tiba-tiba ngajak kenalan,” ujarnya.

Pria itu melirik Dini dengan ekor matanya. “Terserah kamu. Tapi kenapa kamu mengikutiku?” tanya pria tersebut mulai risih.

Meski gadis yang berjalan bersamanya terbilang cantik dan masih muda, namun, dia tak nyaman dengan sikap sok akrab yang diberikan oleh Dini. Mereka pun baru saja bertemu untuk pertama kalinya.

“Aku nggak ngikutin Mas, kok. Rumahku memang ke arah sini,” jawab Dini dengan santai. Itu memang jalan menuju rumahnya.

Sunyi sesaat. Pria tadi tak memberikan tanggapan atas jawaban Dini.

“Nah. Itu dia rumahku!” tunjuk gadis itu pada sebuah rumah bercat biru muda.

“Kamu tinggal di situ?” tanya pria tampan tersebut tak percaya.

“Iya. Aku tinggal di situ. Masalah?” Dini balas bertanya sembari tersenyum penuh arti.

“Bukan. Anu ....”

“Papi!” Terdengar seruan dari seorang gadis kecil yang baru saja keluar dari rumah bercat putih di sebelah rumah Dini.

“Tuh bocah kenapa malah muncul di rumah sebelahku sih?” gumam Dini sembari menautkan kedua alisnya.

Baik Dini dan pria asing itu kini sudah berhenti di depan rumah bercat putih. Tanpa disangka, gadis kecil tersebut berlari menuju ke arah mereka. Pria di samping Dini pun berbelok menuju rumah tersebut.

“Papi ... Papi kok sama dia, sih?” tanya gadis kecil itu.

Dini dikejutkan oleh panggillan tersebut. Bahkan pria tadi membalas pelukan sang gadis kecil berwajah imut itu.

“Dia siapa, Pi? Kenapa Papi baleng dia?” tanya anak kecil itu dengan suara cadelnya.

“Papi hanya papasan sama dia di jalan.”

Dini berdiri membatu mendengarnya. Jadi pria tampan yang merupakan kriteria pria idamannya itu sudah berkeluarga? Bahkan dia sudah memiliki anak? Patah sudah hati Dini.

“Papi jangan belteman sama dia, ya? Dia nakal!” seru anak kecil perempuan yang berusia sekitar empat tahunan menunjuk pada seorang Dini yang masih berdiri mematung menerima kenyataan.

Anak kecil itu mulai merajuk pada sang ayah.

“Sudahlah. Dia tidak jahat, kok. Cuma memang sedikit aneh orangnya,” balas pria itu sembari mengusap lembut kepala sang anak. “Nih. Papi beliin kamu es krim cokelat. Jadi jangan nangis lagi, ya?” imbuhnya.

Kedua mata besar sang anak pun langsung berbinar. Dia menerima plastik kresek berisi es krim yang dia pesan dengan senang hati.

“Dini!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari rumah bercat biru muda. Kemudian keluarlah seorang wanita paruh baya melalui pintu samping.

“Ibu.” Dini bergumam.

“Kamu disuruh beli minyak aja lama, ya? Ibu sudah nungguin kamu sampai jamuran,” protesnya.

“Maaf, Bu. Ini minyaknya,” jawab Dini sembari menyerahkan minyak goreng pada sang ibu.

“Ah. Selamat siang, Pak Alex. Maaf ya kalau kalian terganggu dengan kami,” ujar ibu Dini sopan pada pria tampan di hadapannya.

‘Jadi nama dia Alex?’ batin Dini menatap pria dewasa yang sudah memiliki anak itu.

“Tidak apa-apa, kok, Bu Narti. Emmm. Jadi Dini ini anaknya Bu Narti?” tanya Alex.

“Iya, Pak Alex. Dia ini anak saya satu-satunya.”

“Loh? Ibu kenal sama dia?” tanya Dini meminta penjelasan.

“Iya. Pak Alex ini tetangga baru kita. Tadi pagi baru sampai, ya, Pak? Kamu sih masih tidur!” ujar Narti.

Dini merasa malu karena kebiasaan buruknya diumbar di depan tetangga barunya. Kesan pertamanya benar-benar jelek.

“Ibu!”

“Jadi Mbak yang nakal ini anaknya Tante?” tanya gadis kecil dalam gendongan Alex.

Narti menatap putri semata wayangnya. “Dia nggak nakal kok, Xena,” ujarnya sembari mencubit pelan pipi gadis kecil itu.

Ternyata sang ibu sudah akrab dengan anak sang pria tampan yang sudah beristri. Menyebalkan.

“Tapi tadi dia habisin es klim di bapak-bapak jualan tadi, Tante,” ujar Xena dengan wajah polosnya.

Dini menaikkan kedua alisnya. Citranya benar-benar buruk di hadapan sang tetangga baru. Ya. Sebelumnya dia dan Xena pernah bertemu. Dia yang baru saja membeli es krim dari pedagang keliling langsung menyantapnya di tempat. Tepat ketika Xena juga ingin membelinya.

“Pak. Beli es klim,” ujar Xena pada sang penjual.

“Wah. Sudah habis, Dek,” balas si tukang es.

Bertepatan dengan itu, Dini baru saja menyuapkan es krim ke dalam mulutnya. “Adek mau es krim? Ini kalau mau,” tawar Dini sembari menyodorkan es krim yang tinggal setengah bagian.

“Huaaaa. Nggak mau! Mbak nakal! Mbak makan es klimku!” rengek Xena mulai menangis.

Dini memasang wajah kesal. Masih untung dia menawarkan sebagian es krimnya. Namun, gadis kecil itu malah tak menghargai kebaikan hatinya. Dengan segera Dini menghabiskan es krim tersebut dalam sekali suapan. Hal itulah yang membuat Xena kesal dan mulai memusuhinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status