Setelah pertemuan tak terduga antara sang duda meresahkan dan Dini, gadis itu pun kembali menemui kawannya. Wajahnya menjadi lebih ceria dari pada sebelum dia pergi bertemu dosen pembimbing akademiknya.
“Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Dapat uang jajan tambahan buat beli cilok dari Pak Dosen?” tanya Sinta heran.
Dini masih tersenyum-senyum sendiri. “Hehe. Enggak. Cuma ada yang buat aku seneng banget hari ini,” ujarnya.
“Seneng kenapa makanya? Gak jelas,” cibir gadis berkerudung salem.
“Sini aku ceritain,” bisik Dini. Gadis itu pun segera menghenyakkan diri di sebelah Sinta.
“Barusan aku ketemu sama cowok idamanku,” sambung Dini kemudian.
Seolah tak percaya, Sinta menatap wajah sahabatnya itu untuk meminta penjelasan. Bukankah Dini menemui dosen pembimbing akademik? Bukan pergi ke fakultas lain untuk mencari cowok?
“Kamu nggak jadi ke kantor?” tanya Sinta.
“Ya jadi. Ini aja aku baru keluar dari sana.”
“Tapi kok ketemu cowok?”
Senyuman Dini semakin lebar. “Dosen pembimbingku ini cowok yang pernah aku ceritain ke kamu,” ujarnya.
“Hah?” Sinta tak dapat menahan keterkejutannya. Akibat suaranya, beberapa mahasiswa yang lewat menatap aneh ke arah mereka berdua.
“Ih. Nggak usah teriak kali, Sin,” sungut Dini. Sinta segera menutup mulutnya.
“Eh. Seriusan kamu?”
“Dua rius. Jadi cowok yang tinggal di sebelah rumahku itu kerja di sini. Sebagai dosen lagi. Hahhh ... Emang yang namanya jodoh nggak akan kemana,” ucap Dini dengan kedua mata berinar-binar.
Sinta menghela napasnya. Gadis itu tak percaya jika sahabatnya menyukai pria yang usianya jauh lebih tua di atas mereka.
“Dini. Dengerin,” ucap Sinta menatap lurus pada sahabatnya. Dini pun membalasnya.
“Kamu boleh suka sama cowok manapun. Asalkan dia baik.” Dini mengangguk mendengar kalimat tersebut.
“Tapi bukan sama dosenmu juga, Din.”
“Loh. Kenapa?”
“Kok malah tanya kenapa? Dia itu dosen, sedangkan kamu mahasiswanya. Kalau sampai kalian menjalin hubungan, bukannya nanti bakal jadi masalah?” papar Sinta mengingatkan.
Dini mengerucutkan bibirnya. “Tapi kan aku udah suka sama Pak Alex sebelum aku tahu kalau dia itu dosen di sini,” cicitnya.
“Dan parahnya lagi dia dosen pembimbing akademikmu,” timpal Sinta.
Suasana tiba-tiba sunyi sejenak.
“Tapi bukankah ini suatu pertanda kalau aku sama Pak Alex berjodoh? Dengan begini kan kita jadi bisa semakin mengenal? Ya. Bener.” Dini tiba-tiba kembali bersemangat.
“Ya Allah. Dikasih nasihat malah jadi gini, sih?” Sinta menggaruk kepalanya pelan karena tak habis pikir dengan sahabatnya itu.
“Tenang saja, Sinta. Aku akan berjuang untuk dapetin Pak Alex tanpa membuat masalah. Yang penting aku harus dapetin hati Pak Alex dulu,” ujar Dini sembari menggenggam kedua bahu Sinta.
“Kok kaya kebalik, ya?” tanya Sinta sembari menatap kesal ke wajah Dini yang penuh semangat.
Saat mereka berdua tengah sibuk mengobrol, Alex berjalan melewati mereka. Spontan saja Dini dan Sinta langsung menatap ke arah pria yang sedang menjadi bahan perbincangan mereka.
“Siang, Pak Alex,” sapa Dini sembari berdiri.
Sinta hanya diam di tempat. Gadis itu menatap tak percaya dengan sosok pria di depannya. Alex tak memedulikan Dini dan langsung berjalan meninggalkan dua gadis itu menuju lift.
“Dini!” panggil Sinta sembari menarik lengan temannya. Dini pun kembali duduk di samping Sinta.
“Hm?”
“Itu cowok yang kamu sukai?” tanya Sinta dan dibalas anggukan penuh keyakinan oleh Dini.
“Astaghfirullah, Dini. Dia itu dosen killer di fakultas kita. Bisa-bisanya kamu jatuh cinta sama dia?” ungkap Sinta.
“Eh? Dosen killer? Nggak mungkin. Dia manis dan ganteng gitu.” Dini tak mengindahkan ucapan Sinta.
“Ya Allah, Din. Aku nggak bercanda, ya. Aku pernah lihat beliau soalnya. Dan kakak tingkat banyak yang bicarain tentang beliau. Bahkan ya, kalau skripsi ada kakak tingkat yang harus revisi seabrek gara-gara Pak Dosen ini.”
Dini mengalihkan pandangannya dari Sinta. “Bodo, ah. Mau Pak Alex galak kek, killer kek, yang penting Pak Alex ganteng. Dan tubuhnya itu loh ... sixpack, berotot, gagah,” pujinya dengan bangga.
“Ya Allah, Dini. Kamu kerasukan apa, sih? Suka sama dosen sendiri aja udah masalah, ini malah suka sama dosen killer. Aneh kamu.”
“Biarin,” ucap Dini sembari menjulurkan lidahnya.
Hingga sore pun tiba. Dini sudah kembali ke rumahnya. Gadis itu pun bersiul-siul senang saat melewati ruangan menuju ke kamarnya. Hal ini membuatnya dimarahi oleh sang ibu. Namun, Dini hanya membalasnya dengan cengiran lebar.
Selesai membersihkan diri, Dini menata buku panduan akademik yang ia dapat dan menatapi nama sang dosen pembimbing.
“Alex Dixon Normansyah. Namanya keren kaya orangnya. Mana mungkin orang sekeren dan seganteng Pak Alex ini dosen killer. Ngadi-ngadi tuh si Sinta,” gumam Dini dengan senyuman lebar.
Buku tersebut kemudian dia letakkan pada meja belajarnya. Menata dengan buku-bukunya yang lain. Kemudian Dini segera mengenakan kaos oblong dan celana sepanjang lututnya. Gadis itu lalu membuka jendela kamarnya di lantai dua.
Mobil hitam Alex sudah terlihat hendak memasuki halaman rumah pria itu. Dini segera beranjak dari duduknya dan berlari turun ke lantai satu. Gadis itu pun keluar melalui pintu samping dan berdiri di sana.
Mobil Alex berhenti tepat di hadapan Dini. Kemudian pria itu turun dengan wajah masam. Ia malas meladeni tetangga sebelah rumahnya yang terus-menerus mengganggunya. Terlebih lagi kini Dini menjadi salah satu mahasiswinya. Hal itu membuat Alex semakin kesal.
‘Ngapain dia cengar-cengir di situ?’ batin Alex saat kembali menutup pintu mobilnya.
Dini pun berjalan mendekati Alex. “Selamat datang, Pak Alex,” sapa gadis itu dengan ramah dan manis.
Alex berpura-pura tak melihat keberadaannya. Pria itu memilih mengabaikan Dini dan segera berjalan memasuki rumahnya dari pintu depan. Dini hanya tersenyum kaku karena diabaikan oleh sang duda meresahkan.
“Hahaha. Ciye dicuekin Papi!” seru seorang gadis kecil dari jendela kamarnya di lantai dua.
Dini mendongak dan menatap kesal gadis kecil itu. Sedangkan Xena tertawa puas akan kesialan tetangga perebut es krimnya itu.
“Aku nggak dicuekin, ya. Tadi Papimu cuma saking terpesonanya sama aku,” balas Dini dengan sombongnya.
“Nggak boleh. Papi nggak boleh telpesona sama Mbak Nyebelin!” jerit Xena yang kemudian menghilang dari jendela. Tampaknya gadis kecil itu tengah berlari menemui ayahnya.
“Ya ampun. Gini amat ya suka sama orang ....” cicit Dini.
Dini pun berjalan kembali memasuki rumah, kembali ke dalam kamarnya. Kamar itu sebenarnya bersebelahan dengan kamar sang pria idaman. Akan tetapi Alex selalu menutup gorden kamarnya saat pria itu mengetahui keberadaan Dini.
Samar-samar gadis itu dapat mendengar rengekan gadis kecil yang tinggal di sebelah rumahnya. Mungkin dia harus menaklukkan bocil itu juga selain menaklukkan hati sang duda. Kenapa juga dia malah bermusuhan dengan Xena yang bisa menjadi kunci suksesnya hubungan dia dan Alex.
***
Dini kembali kuliah di kampusnya. Gadis itu sangat bersemangat karena hendak bertemu dengan tetangga baru sebelah rumahnya yang meresahkan di kampus sebagai dosen. Penampilan Alex memang sangat berwibawa saat mengenakan kemeja dan celana panjang. Dini sangat suka dengan sosok dewasa yang seperti itu.Gadis itu pun memperbaiki penampilannya. Kali ini Dini mengenakan dress biru muda sepanjang betis. Tak lupa gadis itu menyisir rambutnya yang panjang sebahu lalu mengenakan jepit rambut. Ia dengan sengaja tak mengikat rambutnya kali ini.Polesan bedak halus menutupi wajah cantiknya. Tak lupa lip tint merah muda dia tambahkan pada bibirnya yang ranum dan tipis. Penampilan Dini begitu sempurna hanya dengan dua benda itu. Segera setelahnya, ia langsung berangkat ke kampus.Saat melewati rumah Alex, ia sudah tak melihat mobil milik pria itu. Menandakan bahwa sang duda meresahkan sudah berangkat lebih dahulu.Kini Dini sudah berada di gedung faku
“Duh. Tumben anak Ibu cantik banget,” puji Minarti pada putrinya.Dini mengerucutkan bibirnya. “Biasanya Dini juga cantik, Bu,” sungutnya.“Eh. Gimana menurut Ibu sama lipmate yang baru Dini beli?” tanya gadis itu kemudian sembari tersenyum manis.Minarti mengamati warna lipmate yang sudah menempel sempurna pada bibir ranum putrinya. Wanita itu mengangguk-angguk. “Cakep kok. Nanti Ibu minta, ya?” ujarnya.“Boleh-boleh.”“Ibu nggak usah ikutan pakai,” celetuk suami Narti, Budi.“Kok nggak usah, Pak?”Budi menghentikan aktivitas sarapannya. Sedangkan Dini baru saja mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya. Budi menatap wajah istrinya.“Ibu udah cantik walau pun nggak pakai lipstik begituan,” ujar pria paruh baya itu. Dini tersedak karena mendengarkan gombalan sang ayah. Namun nampaknya kedua orang tua Dini tidak peduli.
Kini Dini mendapatkan julukan baru dari sang duda ganteng. Gadis itu tak merasa keberatan saat dirinya dipanggil cewek ganjen oleh sang dosen. Karena baginya panggilan dari Alex merupakan panggilan sayang untuknya.Pagi itu pun Dini kembali mengganggu sang dosen yang hendak berangkat kerja dari kamarnya. “Selamat pagi, Pak Alex,” sapanya sembari tersenyum manis dengan rambut yang masih basah.Alex mendongak ke atas untuk melihat penampakan dari tetangganya itu. Wajah pria itu datar saat menatap wajah ceria Dini. Tanpa memberikan jawaban, Alex langsung membopong putri kecilnya ke dalam mobil. Saat itu juga, Xena menjulurkan lidahnya untuk meledek Dini.“Selamat pagi, Xena yang cantik dan manis!” seru Dini lagi. Kali ini anak kecil seusia taman kanak-kanak yang menjadi sasarannya.Xena kembali mendongak pada sang tetangga. Wajahnya bersemu malu-malu. Dini pun tersenyum karena tahu apa yang membuat gadis kecil itu senang.Matah
Pagi itu hari Sabtu. Dini dan Alex libur dengan kegiatan perkuliahan mereka. Namun, kedua orang tua Dini tetap masuk kerja sesuai dengan peraturan di daerah mereka dan instansi mereka.Gadis itu pun mendapat mandat dari sang ibu untuk mengepel lantai seperti biasanya. Dengan rasa malas Dini melaksanakan tugasnya. Gadis itu mengambil peralatan pelnya dan segera mengepel dari teras.Saat dia sudah sampai ke ruang tengah dan pintu sampingnya terbuka, Dini melihat Alex yang tengah memotong rumput. Gadis itu langsung bersemangat ingin menggoda sang duda ganteng meresahkan itu lagi. Apa lagi sekarang Alex mengenakan kaos berwarna putih polos yang digulung kedua lengannya dan celana training. Dini dapat dengan jelas melihat otot-otot lengan sang tetangga.“Pagi, Pak Alex. Lagi motong rumput, nih?” tanya Dini basa-basi sembari keluar membawa ember dan pel. Gadis itu hendak mengepel teras di samping rumah sambil bercengkerama dengan sang duda.“U
Dini kembali mendesah saat tangan besar Alex memijit kaki kanannya. Pria itu pun segera melepaskan kaki Dini dan beranjak dari duduknya. Tak biasanya pria dingin itu merasa gugup. Pasalnya ini kali pertamanya menyentuh seorang perempuan setelah sekian lama selain anak dan ibunya.“Nanti harus tetap minta diurut sama tukang pijit biar nggak parah,” ujar pria itu. “Sudah ya. Saya mau pulang.”“Makasih, Pak.” Dini membalas dengan tersenyum manis. Gadis itu benar-benar senang saat sang dosen idolanya memijit kakinya yang cidera.“Ya udah. Saya pamit,” ucap Alex sembari berbalik.“Aw, aw, aw!” seru Dini yang mampu menghentikan langkah sang duda tampan itu.Alex menoleh dan kembali menghampiri Dini. Pria itu merasa cemas. “Ada apa?”Gadis itu pun menatap pria tampan di hadapannya sembari menaikkan kaki kanannya yang sebenarnya sudah tak terlalu sakit. “Ini ... masih saki
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaruh," sapa Alex kepada para mahasiswanya.Salam itu pun dijawab secara serentak. Namun, hanya Dini lah yang tampak paling semangat. Dini sangat senang karena akhirnya dia akan menyaksikan bagaimana sang dosen idaman mengajar. Meski mendapatkan gelar sebagai dosen killer, akan tetapi hal itu tak meruntuhkan niat Dini untuk mendapatkan hati sang dosen.Seratus menit berlalu. Meski Dini selalu mengganggu dan menggoda Alex, gadis itu tetap mau memperhatikan penjelasan sang dosen hingga akhir jam kuliah di pagi itu."Oke. Any question?" tanya pria itu tanpa senyuman. Wajahnya hanya menampakkan ketegasan yang dingin.Para mahasiswa tidak ada yang berani mengangkat tangan. Bagi mereka, lebih baik bertanya ke dukun dari pada harus menanyakan materi yang tak mereka pahami pada sang dosen. Dini hanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat teman-temannya.Alex menghela napasnya pelan. "Baiklah kala
"Minggir!" tutur Alex dingin.Dini tersenyum manis. Tatapannya masih lurus ke arah iris keabuan Alex. Pria itu pun diam sejenak karena merasa terhipnotis oleh iris gelap gadis yang masih berada di dalam dekapannya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Alex segera sadar dan langsung melepaskan tangan kanannya yang memeluk Dini tanpa sengaja."Kau ini cari-cari kesempatan saja! Saya ini dosenku, nggak bisakah kamu sopan dan menghargai saya sedikit?" sungut Alex yang mengungkapkan kekesalannya.Dini memundurkan tubuhnya. Kakinya masih terasa kesemutan. Beruntung tidak terkilir lagi seperti beberapa waktu yang lalu. Dia lalu menenangkan jantungnya yang berpacu."Maaf, Pak ...." cicitnya pelan. Alex masih menatapnya dengan wajah kesal. Bahkan kacamatanya sampai melorot."Saya benar-benar heran sama kamu. Mau kamu sebenarnya apa? Kenapa kamu selalu mengganggu?" tanya Alex lagi. Kali ini pria itu mengalihkan pandangannya dan memilih membereskan peralatan
Tak terasa waktu sudah berlalu begitu saja. Alex pun sudah terbiasa dengan tingkah Dini yang selalu mengejarnya. Untungnya gadis itu masih mau menjaga diri saat di kampus. Namun ketika di rumah, dirinya kembali menjadi gadis pengganggu untuk sang duda tampan beranak satu. Bahkan kini Dini melancarkan aksinya untuk melumpuhkan musuh kecilnya."Mbak Dini kenapa sih kesini telus? Aku kan nggak suka sama Mbak," cetus Xena sembari mengerucutkan bibirnya.Dini menatap gadis kecil itu dengan tatapan gemas. Ia ingin mencubit pipi tembamnya itu jika sang nenek tidak ada."Xena kenapa bilang gitu ke Mbak Dini?" tanya Nining pada cucu kesayangannya."Habisnya Mbak Dini pelnah nakalin Xena, Nek," jawab gadis kecil itu merajuk.Nining hanya menggeleng pelan."Nggak papa, Bu. Namanya juga anak kecil. Emmm. Sebenarnya Mbak kesini mau kasih ini ke Xena," tutur Dini sembari mengulurkan sebuah kotak makan pada gadis kecil itu.Xena melihat kotak makan