Hari itu Dini mempersiapkan untuk kuliahnya. Dia akan mulai kuliah. Setelah ospek dirinya hanya rebahan saja di rumah. Namun, kegiatan rebahannya itu mulai berganti dengan menggoda sang duda tampan tetannga di sebelah rumahnya. Apa lagi dia harus berdebat tak penting dengan si bocil centil yang merupakan anak kesayangan sang duda.
“Bu. Aku berangkat dulu, ya,” ujar gadis itu.
“Ya. Hati-hati. Sekolah yang pinter.”
“Sekarang sudah kuliah, Bu.”
“Oh iya. Ya udah. Kuliah yang pinter,” ralat sang ibu.
Dini pun mencium punggung tangan wanita itu dan kemudian berali mencium punggung tangan ayahnya.
“Pak. Dini berangkat dulu, ya.”
“Ya. Hati-hati.”
“Assalamu’alaikum.”
“W*’alaikumussalam.”
Dini keluar bersama helm berwarna merah muda. Gadis itu pun melajukan motornya yang sudah selesai dipanasi. Saat melewati depan rumah sang duda meresahkan, dia berhenti sejenak untuk menyalami seorang wanita paruh baya yang tengah menyiram tanaman.
“Pagi, Bu Nining,” sapanya ramah.
“Pagi, Dini. Mau ke mana?” Wanita bernama Nining itu bertanya balik.
“Mau kuliah, Bu.”
“Oh.”
“Pak Alexnya udah berangkat?”
“Sudah dari tadi sama Xena.”
“Ya sudah. Saya permisi ya, Bu.”
“Ya.”
Dini pun melanjutkan perjalanannya menuju kampus. Gadis itu merupakan mahasiswi baru di program studi Pendidikan Bahasa Inggris. Kini dia bergabung bersama mahasiswa lainnya yang tengah sibuk mencari ruang kelas pertama mereka.
“Hai, Din!” sapa seorang gadis cantik dengan kerudung berwarna salem.
“Eh. Sinta. Kita sekelas, ya?” balas Dini. Gadis itu pun duduk di dekat Sinta. Mereka memang sudah saling mengenal dan menjadi akrab saat ospek.
“Oh iya. Dosen pembimbing akademik kamu siapa?” tanya Sinta.
Dini meletakkan tasnya di atas meja. “Emmm. Aku belum tau dapat siapa. Aku belum cek. Memangnya ada di mana?”
“Ada di papan pengumuman di lantai satu. Kamu sih main naik aja ke lantai empat,” cibir Sinta.
“Ya maaf. Namanya juga hampir telat,” bisik Dini. Bertepatan dengan itu, seorang dosen wanita memasuki kelas.
Seratus menit pun berlalu. Dini dan mahasiswa lainnya sudah selesai dengan jam pertama mereka. Segera saja gadis itu mengajak Sinta untuk turun ke lantai satu.
Kini kedua gadis itu sudah berdiri di depan papan pengumuman fakultas. Dini langsung mencari namanya pada daftar pembagian pembimbing akademik atau PA. Setelah namanya ketemu, gadis itu mengernyitkan dahi.
‘Alex Dixon Normansyah? Kok aku jadi keinget sama Pak Alex ganteng, sih,’ batinnya sembari tersenyum-senyum sendiri.
“Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?” tanya Sinta heran.
“Nggak papa. Cuma nama dosbingku sama dengan tetanggaku,” jawab Dini.
“Oh. Teserah deh. Yang penting sekarang kamu temui dosen pembimbing kamu buat minta buku bimbingan akademik dan tanda tangan KRS kemarin,” anjur Sinta.
“Oke deh. Emangnya kamu udah?” tanya Dini sembari menatap kawannya.
“Udah tadi pagi.”
“Yah. Nggak ajak-ajak.”
“Dosbing kita beda, Bambang.”
“Bambang itu almarhum kakekku,” ujar Dini kesal.
“Ya maaf nggak tahu. Udah deh sana buruan temui dosen pembimbingmu!” Sinta mendorong punggung Dini agar gadis itu bergegas menemui dosennya.
“Iya, iya.” Dini pun berjalan sembari terkekeh pelan.
Kini Dini berada di depan pintu ruang dosen. Gadis itu segera mengeluarkan kartu rencana studinya yang hendak dia ajukan pada dosen pembimbing.
“Permisi, Bu,” sapa Dini pada seorang dosen yang mejanya paling dekat dengan pintu masuk.
“Ya. Mau cari siapa?” tanya sang dosen wanita.
“Saya mau cari Pak Alex Dixon,” jawabnya dengan sopan. Yah. Meski gadis itu selalu membuat sang ibu kesal dengan tingkahnya saat di rumah, tertapi Dini selalu menjaga kesopanan agar tak mempermalukan kedua orang tuanya. Kecuali saat dia bertemu dengan pria tampan idamannya seperti sang tetangga baru. Dia sungguh tak tahu malu.
“Oh, Pak Alex. Ada. Sana kamu masuk aja. Ruangan Pak Alex yang paling ujung.” Dosen wanita itu menunjukkan ke ujung ruangan.
“Baik, Bu. Terima kasih.”
“Anytime,” balas sang dosen.
Dini segera melanjutkan langkah kakinya. Kini dia sudah menemukan ruangan dosen pembimbingnya. Segera saja Dini mengetuk pintu dengan kaca buram di depannya.
“Masuk,” ujar seseorang dari dalam ruangan.
Dini membuka pintu tersebut. Kedua matanya langsung membulat saat dia melihat pria yang dia kenal duduk di depan meja.
“Eh, Si Bapak ....” gumamnya tak percaya.
Sang dosen pembimbing pun tak kalah terkejutnya dengan gadis itu. Wajahnya langsung berubah kesal karena dia harus bertemu gadis usil yang merupakan tetangga sebelah rumahnya.
Pintu kembali ditutup dari dalam. Dini dengan wajah sumringah langsung duduk tanpa dipersilakan. “Ternyata Pak Alex ini toh yang jadi dosen pembimbing akademik saya,” cetusnya.
Alex masih menatap tak percaya dengan gadis yang tiba-tiba datang ke ruangannya itu. Ia merutuki kesialannya karena harus bertemu Dini tak hanya di rumah tetapi juga di kampus tempatnya bekerja. Terlebih lagi dia menjadi pembimbing akademik gadis itu. Dia pun membetulkan kaca matanya.
“Ada apa?” tanya Alex dengan ketus.
Dini masih memasang senyuman manisnya. Namun, Alex sama sekali tak peduli.
“Ini, Pak. Saya mau minta tanda tangan Pak Alex buat KRS saya. Saya juga mau minta buku bimbingan akademik,” jawab Dini sembari mengagumi ketampanan pria di hadapannya.
Alex tak menghirauan tatapan dari mahasiswinya itu. Segera saja pria itu meraih kertas yang disodorkan Dini dan menandatanganinya.
“Saya beneran nggak nyangka kalau Bapak ini dosen, loh,” ucap Dini sembari terkekeh pelan, sok akrab.
“Aku juga nggak menyangka kalau aku harus menjadi dosen pembimbingmu,” balas Alex tanpa menatap mahasiswinya. Pria itu segera meraih sebuah buku akademik untuk Dini dan menandatangani bagian depannya.
“Berarti ini pertanda kalau kita jodoh, Pak,” ucap Dini.
Alex mengalihkan perhatiannya pada gadis di hadapannya itu. Tatapannya menunjukkan bahwa dia tak suka dengan anggapan Dini.
“Kamu mau kuliah apa mau godain aku?” tanya pria itu.
Dini terkekeh. “Ya saya mau kuliah dong, Pak. Tapi kalau Bapak mau minta digodain ya ... bisa-bisa aja sih,” celetuknya.
Kedua alis Alex saling bertautan. “Jangan berani macam-macam kamu di sini!” ujarnya memberikan peringatan.
“Saya nggak macam-macam, kok, Pak. Saya cuma mau dibimbing Bapak aja,” balas Dini.
Alex kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, yaitu menandatangani buku bimbingan akademik Dini.
“Nih. Tulis namamu dan tanda tangan di sini!” ujarnya sembari menyerahkan buku tersebut.
“Baik, Pak.”
Dini tak melepaskan senyumannya. Gadis itu segera menandatangani buku bimbingannya tepat di sebelah Alex.
“Kalau tanda tangannya bersebelahan kaya gini saya jadi inget dengan rumah kita,” ujar gadis itu.
“Jangan mulai!”
“Apa sih, Pak. Eh tapi saya serius tahu dengan ucapan saya waktu itu.”
Alex mengernyitkan dahinya.
“Saya serius waktu bilang suka sama Bapak,” sambung Dini.
“Aku serius akan hukum kamu kalau kamu sampai aneh-aneh di kampus!” ancam Alex.
“Ih, Bapak ....”
“Ya udah sana keluar dari ruanganku! Gantian sama yang lain.”
Dini pun segera mengambil buku dan KRS-nya. Setelah memasukkan kedua benda itu ke dalam tas, dia segera beranjak dari ruangan Alex.
“Tapi makasih, ya, Pak Alex,” ujarnya sebelum pergi meninggalkan ruangan. Tak lupa dengan salah satu matanya berkedip pada dosen tampan itu.
***
Setelah pertemuan tak terduga antara sang duda meresahkan dan Dini, gadis itu pun kembali menemui kawannya. Wajahnya menjadi lebih ceria dari pada sebelum dia pergi bertemu dosen pembimbing akademiknya.“Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Dapat uang jajan tambahan buat beli cilok dari Pak Dosen?” tanya Sinta heran.Dini masih tersenyum-senyum sendiri. “Hehe. Enggak. Cuma ada yang buat aku seneng banget hari ini,” ujarnya.“Seneng kenapa makanya? Gak jelas,” cibir gadis berkerudung salem.“Sini aku ceritain,” bisik Dini. Gadis itu pun segera menghenyakkan diri di sebelah Sinta.“Barusan aku ketemu sama cowok idamanku,” sambung Dini kemudian.Seolah tak percaya, Sinta menatap wajah sahabatnya itu untuk meminta penjelasan. Bukankah Dini menemui dosen pembimbing akademik? Bukan pergi ke fakultas lain untuk mencari cowok?“Kamu nggak jadi ke kantor?” tanya Sinta.&
Dini kembali kuliah di kampusnya. Gadis itu sangat bersemangat karena hendak bertemu dengan tetangga baru sebelah rumahnya yang meresahkan di kampus sebagai dosen. Penampilan Alex memang sangat berwibawa saat mengenakan kemeja dan celana panjang. Dini sangat suka dengan sosok dewasa yang seperti itu.Gadis itu pun memperbaiki penampilannya. Kali ini Dini mengenakan dress biru muda sepanjang betis. Tak lupa gadis itu menyisir rambutnya yang panjang sebahu lalu mengenakan jepit rambut. Ia dengan sengaja tak mengikat rambutnya kali ini.Polesan bedak halus menutupi wajah cantiknya. Tak lupa lip tint merah muda dia tambahkan pada bibirnya yang ranum dan tipis. Penampilan Dini begitu sempurna hanya dengan dua benda itu. Segera setelahnya, ia langsung berangkat ke kampus.Saat melewati rumah Alex, ia sudah tak melihat mobil milik pria itu. Menandakan bahwa sang duda meresahkan sudah berangkat lebih dahulu.Kini Dini sudah berada di gedung faku
“Duh. Tumben anak Ibu cantik banget,” puji Minarti pada putrinya.Dini mengerucutkan bibirnya. “Biasanya Dini juga cantik, Bu,” sungutnya.“Eh. Gimana menurut Ibu sama lipmate yang baru Dini beli?” tanya gadis itu kemudian sembari tersenyum manis.Minarti mengamati warna lipmate yang sudah menempel sempurna pada bibir ranum putrinya. Wanita itu mengangguk-angguk. “Cakep kok. Nanti Ibu minta, ya?” ujarnya.“Boleh-boleh.”“Ibu nggak usah ikutan pakai,” celetuk suami Narti, Budi.“Kok nggak usah, Pak?”Budi menghentikan aktivitas sarapannya. Sedangkan Dini baru saja mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya. Budi menatap wajah istrinya.“Ibu udah cantik walau pun nggak pakai lipstik begituan,” ujar pria paruh baya itu. Dini tersedak karena mendengarkan gombalan sang ayah. Namun nampaknya kedua orang tua Dini tidak peduli.
Kini Dini mendapatkan julukan baru dari sang duda ganteng. Gadis itu tak merasa keberatan saat dirinya dipanggil cewek ganjen oleh sang dosen. Karena baginya panggilan dari Alex merupakan panggilan sayang untuknya.Pagi itu pun Dini kembali mengganggu sang dosen yang hendak berangkat kerja dari kamarnya. “Selamat pagi, Pak Alex,” sapanya sembari tersenyum manis dengan rambut yang masih basah.Alex mendongak ke atas untuk melihat penampakan dari tetangganya itu. Wajah pria itu datar saat menatap wajah ceria Dini. Tanpa memberikan jawaban, Alex langsung membopong putri kecilnya ke dalam mobil. Saat itu juga, Xena menjulurkan lidahnya untuk meledek Dini.“Selamat pagi, Xena yang cantik dan manis!” seru Dini lagi. Kali ini anak kecil seusia taman kanak-kanak yang menjadi sasarannya.Xena kembali mendongak pada sang tetangga. Wajahnya bersemu malu-malu. Dini pun tersenyum karena tahu apa yang membuat gadis kecil itu senang.Matah
Pagi itu hari Sabtu. Dini dan Alex libur dengan kegiatan perkuliahan mereka. Namun, kedua orang tua Dini tetap masuk kerja sesuai dengan peraturan di daerah mereka dan instansi mereka.Gadis itu pun mendapat mandat dari sang ibu untuk mengepel lantai seperti biasanya. Dengan rasa malas Dini melaksanakan tugasnya. Gadis itu mengambil peralatan pelnya dan segera mengepel dari teras.Saat dia sudah sampai ke ruang tengah dan pintu sampingnya terbuka, Dini melihat Alex yang tengah memotong rumput. Gadis itu langsung bersemangat ingin menggoda sang duda ganteng meresahkan itu lagi. Apa lagi sekarang Alex mengenakan kaos berwarna putih polos yang digulung kedua lengannya dan celana training. Dini dapat dengan jelas melihat otot-otot lengan sang tetangga.“Pagi, Pak Alex. Lagi motong rumput, nih?” tanya Dini basa-basi sembari keluar membawa ember dan pel. Gadis itu hendak mengepel teras di samping rumah sambil bercengkerama dengan sang duda.“U
Dini kembali mendesah saat tangan besar Alex memijit kaki kanannya. Pria itu pun segera melepaskan kaki Dini dan beranjak dari duduknya. Tak biasanya pria dingin itu merasa gugup. Pasalnya ini kali pertamanya menyentuh seorang perempuan setelah sekian lama selain anak dan ibunya.“Nanti harus tetap minta diurut sama tukang pijit biar nggak parah,” ujar pria itu. “Sudah ya. Saya mau pulang.”“Makasih, Pak.” Dini membalas dengan tersenyum manis. Gadis itu benar-benar senang saat sang dosen idolanya memijit kakinya yang cidera.“Ya udah. Saya pamit,” ucap Alex sembari berbalik.“Aw, aw, aw!” seru Dini yang mampu menghentikan langkah sang duda tampan itu.Alex menoleh dan kembali menghampiri Dini. Pria itu merasa cemas. “Ada apa?”Gadis itu pun menatap pria tampan di hadapannya sembari menaikkan kaki kanannya yang sebenarnya sudah tak terlalu sakit. “Ini ... masih saki
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaruh," sapa Alex kepada para mahasiswanya.Salam itu pun dijawab secara serentak. Namun, hanya Dini lah yang tampak paling semangat. Dini sangat senang karena akhirnya dia akan menyaksikan bagaimana sang dosen idaman mengajar. Meski mendapatkan gelar sebagai dosen killer, akan tetapi hal itu tak meruntuhkan niat Dini untuk mendapatkan hati sang dosen.Seratus menit berlalu. Meski Dini selalu mengganggu dan menggoda Alex, gadis itu tetap mau memperhatikan penjelasan sang dosen hingga akhir jam kuliah di pagi itu."Oke. Any question?" tanya pria itu tanpa senyuman. Wajahnya hanya menampakkan ketegasan yang dingin.Para mahasiswa tidak ada yang berani mengangkat tangan. Bagi mereka, lebih baik bertanya ke dukun dari pada harus menanyakan materi yang tak mereka pahami pada sang dosen. Dini hanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat teman-temannya.Alex menghela napasnya pelan. "Baiklah kala
"Minggir!" tutur Alex dingin.Dini tersenyum manis. Tatapannya masih lurus ke arah iris keabuan Alex. Pria itu pun diam sejenak karena merasa terhipnotis oleh iris gelap gadis yang masih berada di dalam dekapannya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Alex segera sadar dan langsung melepaskan tangan kanannya yang memeluk Dini tanpa sengaja."Kau ini cari-cari kesempatan saja! Saya ini dosenku, nggak bisakah kamu sopan dan menghargai saya sedikit?" sungut Alex yang mengungkapkan kekesalannya.Dini memundurkan tubuhnya. Kakinya masih terasa kesemutan. Beruntung tidak terkilir lagi seperti beberapa waktu yang lalu. Dia lalu menenangkan jantungnya yang berpacu."Maaf, Pak ...." cicitnya pelan. Alex masih menatapnya dengan wajah kesal. Bahkan kacamatanya sampai melorot."Saya benar-benar heran sama kamu. Mau kamu sebenarnya apa? Kenapa kamu selalu mengganggu?" tanya Alex lagi. Kali ini pria itu mengalihkan pandangannya dan memilih membereskan peralatan