Share

4. Eh, Si Bapak

Hari itu Dini mempersiapkan untuk kuliahnya. Dia akan mulai kuliah. Setelah ospek dirinya hanya rebahan saja di rumah. Namun, kegiatan rebahannya itu mulai berganti dengan menggoda sang duda tampan tetannga di sebelah rumahnya. Apa lagi dia harus berdebat tak penting dengan si bocil centil yang merupakan anak kesayangan sang duda.

“Bu. Aku berangkat dulu, ya,” ujar gadis itu.

“Ya. Hati-hati. Sekolah yang pinter.”

“Sekarang sudah kuliah, Bu.”

“Oh iya. Ya udah. Kuliah yang pinter,” ralat sang ibu.

Dini pun mencium punggung tangan wanita itu dan kemudian berali mencium punggung tangan ayahnya.

“Pak. Dini berangkat dulu, ya.”

“Ya. Hati-hati.”

“Assalamu’alaikum.”

“W*’alaikumussalam.”

Dini keluar bersama helm berwarna merah muda. Gadis itu pun melajukan motornya yang sudah selesai dipanasi. Saat melewati depan rumah sang duda meresahkan, dia berhenti sejenak untuk menyalami seorang wanita paruh baya yang tengah menyiram tanaman.

“Pagi, Bu Nining,” sapanya ramah.

“Pagi, Dini. Mau ke mana?” Wanita bernama Nining itu bertanya balik.

“Mau kuliah, Bu.”

“Oh.”

“Pak Alexnya udah berangkat?”

“Sudah dari tadi sama Xena.”

“Ya sudah. Saya permisi ya, Bu.”

“Ya.”

Dini pun melanjutkan perjalanannya menuju kampus. Gadis itu merupakan mahasiswi baru di program studi Pendidikan Bahasa Inggris. Kini dia bergabung bersama mahasiswa lainnya yang tengah sibuk mencari ruang kelas pertama mereka.

“Hai, Din!” sapa seorang gadis cantik dengan kerudung berwarna salem.

“Eh. Sinta. Kita sekelas, ya?” balas Dini. Gadis itu pun duduk di dekat Sinta. Mereka memang sudah saling mengenal dan menjadi akrab saat ospek.

“Oh iya. Dosen pembimbing akademik kamu siapa?” tanya Sinta.

Dini meletakkan tasnya di atas meja. “Emmm. Aku belum tau dapat siapa. Aku belum cek. Memangnya ada di mana?”

“Ada di papan pengumuman di lantai satu. Kamu sih main naik aja ke lantai empat,” cibir Sinta.

“Ya maaf. Namanya juga hampir telat,” bisik Dini. Bertepatan dengan itu, seorang dosen wanita memasuki kelas.

Seratus menit pun berlalu. Dini dan mahasiswa lainnya sudah selesai dengan jam pertama mereka. Segera saja gadis itu mengajak Sinta untuk turun ke lantai satu.

Kini kedua gadis itu sudah berdiri di depan papan pengumuman fakultas. Dini langsung mencari namanya pada daftar pembagian pembimbing akademik atau PA. Setelah namanya ketemu, gadis itu mengernyitkan dahi.

‘Alex Dixon Normansyah? Kok aku jadi keinget sama Pak Alex ganteng, sih,’ batinnya sembari tersenyum-senyum sendiri.

“Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?” tanya Sinta heran.

“Nggak papa. Cuma nama dosbingku sama dengan tetanggaku,” jawab Dini.

“Oh. Teserah deh. Yang penting sekarang kamu temui dosen pembimbing kamu buat minta buku bimbingan akademik dan tanda tangan KRS kemarin,” anjur Sinta.

“Oke deh. Emangnya kamu udah?” tanya Dini sembari menatap kawannya.

“Udah tadi pagi.”

“Yah. Nggak ajak-ajak.”

“Dosbing kita beda, Bambang.”

“Bambang itu almarhum kakekku,” ujar Dini kesal.

“Ya maaf nggak tahu. Udah deh sana buruan temui dosen pembimbingmu!” Sinta mendorong punggung Dini agar gadis itu bergegas menemui dosennya.

“Iya, iya.” Dini pun berjalan sembari terkekeh pelan.

Kini Dini berada di depan pintu ruang dosen. Gadis itu segera mengeluarkan kartu rencana studinya yang hendak dia ajukan pada dosen pembimbing.

“Permisi, Bu,” sapa Dini pada seorang dosen yang mejanya paling dekat dengan pintu masuk.

“Ya. Mau cari siapa?” tanya sang dosen wanita.

“Saya mau cari Pak Alex Dixon,” jawabnya dengan sopan. Yah. Meski gadis itu selalu membuat sang ibu kesal dengan tingkahnya saat di rumah, tertapi Dini selalu menjaga kesopanan agar tak mempermalukan kedua orang tuanya. Kecuali saat dia bertemu dengan pria tampan idamannya seperti sang tetangga baru. Dia sungguh tak tahu malu.

“Oh, Pak Alex. Ada. Sana kamu masuk aja. Ruangan Pak Alex yang paling ujung.” Dosen wanita itu menunjukkan ke ujung ruangan.

“Baik, Bu. Terima kasih.”

Anytime,” balas sang dosen.

Dini segera melanjutkan langkah kakinya. Kini dia sudah menemukan ruangan dosen pembimbingnya. Segera saja Dini mengetuk pintu dengan kaca buram di depannya.

“Masuk,” ujar seseorang dari dalam ruangan.

Dini membuka pintu tersebut. Kedua matanya langsung membulat saat dia melihat pria yang dia kenal duduk di depan meja.

“Eh, Si Bapak ....” gumamnya tak percaya.

Sang dosen pembimbing pun tak kalah terkejutnya dengan gadis itu. Wajahnya langsung berubah kesal karena dia harus bertemu gadis usil yang merupakan tetangga sebelah rumahnya.

Pintu kembali ditutup dari dalam. Dini dengan wajah sumringah langsung duduk tanpa dipersilakan. “Ternyata Pak Alex ini toh yang jadi dosen pembimbing akademik saya,” cetusnya.

Alex masih menatap tak percaya dengan gadis yang tiba-tiba datang ke ruangannya itu. Ia merutuki kesialannya karena harus bertemu Dini tak hanya di rumah tetapi juga di kampus tempatnya bekerja. Terlebih lagi dia menjadi pembimbing akademik gadis itu. Dia pun membetulkan kaca matanya.

“Ada apa?” tanya Alex dengan ketus.

Dini masih memasang senyuman manisnya. Namun, Alex sama sekali tak peduli.

“Ini, Pak. Saya mau minta tanda tangan Pak Alex buat KRS saya. Saya juga mau minta buku bimbingan akademik,” jawab Dini sembari mengagumi ketampanan pria di hadapannya.

Alex tak menghirauan tatapan dari mahasiswinya itu. Segera saja pria itu meraih kertas yang disodorkan Dini dan menandatanganinya.

“Saya beneran nggak nyangka kalau Bapak ini dosen, loh,” ucap Dini sembari terkekeh pelan, sok akrab.

“Aku juga nggak menyangka kalau aku harus menjadi dosen pembimbingmu,” balas Alex tanpa menatap mahasiswinya. Pria itu segera meraih sebuah buku akademik untuk Dini dan menandatangani bagian depannya.

“Berarti ini pertanda kalau kita jodoh, Pak,” ucap Dini.

Alex mengalihkan perhatiannya pada gadis di hadapannya itu. Tatapannya menunjukkan bahwa dia tak suka dengan anggapan Dini.

“Kamu mau kuliah apa mau godain aku?” tanya pria itu.

Dini terkekeh. “Ya saya mau kuliah dong, Pak. Tapi kalau Bapak mau minta digodain ya ... bisa-bisa aja sih,” celetuknya.

Kedua alis Alex saling bertautan. “Jangan berani macam-macam kamu di sini!” ujarnya memberikan peringatan.

“Saya nggak macam-macam, kok, Pak. Saya cuma mau dibimbing Bapak aja,” balas Dini.

Alex kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, yaitu menandatangani buku bimbingan akademik Dini.

“Nih. Tulis namamu dan tanda tangan di sini!” ujarnya sembari menyerahkan buku tersebut.

“Baik, Pak.”

Dini tak melepaskan senyumannya. Gadis itu segera menandatangani buku bimbingannya tepat di sebelah Alex.

“Kalau tanda tangannya bersebelahan kaya gini saya jadi inget dengan rumah kita,” ujar gadis itu.

“Jangan mulai!”

“Apa sih, Pak. Eh tapi saya serius tahu dengan ucapan saya waktu itu.”

Alex mengernyitkan dahinya.

“Saya serius waktu bilang suka sama Bapak,” sambung Dini.

“Aku serius akan hukum kamu kalau kamu sampai aneh-aneh di kampus!” ancam Alex.

“Ih, Bapak ....”

“Ya udah sana keluar dari ruanganku! Gantian sama yang lain.”

Dini pun segera mengambil buku dan KRS-nya. Setelah memasukkan kedua benda itu ke dalam tas, dia segera beranjak dari ruangan Alex.

“Tapi makasih, ya, Pak Alex,” ujarnya sebelum pergi meninggalkan ruangan. Tak lupa dengan salah satu matanya berkedip pada dosen tampan itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status