Malam itu, Dini dan kedua orang tuanya makan malam bersama. Mereka duduk saling berhadapan. Dini sangat suka dengan menu malam ini. Yakni mi goreng dengan telur. Bahkan dia bisa membuatnya sendiri dengan mudah.
“Oh iya, Bu. Itu tetangga kita yang tinggal di sebelah rumah, baru tadi pagi ya pindahnya?” tanya Budiono, ayah Dini.
Minarti menatap sang suami untuk menjawab. “Iya, Pak. Baru tadi pagi.”
Gadis berusia sembilan belas tahun itu pun diam menyimak obrolan sembari menikmati mi goreng di hadapannya.
“Bapak tahu, nggak?” tanya sang ibu sembari memberikan jeda sebentar. “Pria yang tinggal di sebelah kita itu duda loh,” sambungnya.
Dini langsung tersedak mi goreng yang dia santap. Dia kaget mendengarnya.
“Pelan dong makannya! Bisa sampai keselek gitu.” Minarti mendelik ke arah putrinya.
Segera saja Dini berlari menuju kulkas dan langsung meminum air putih dari botol. Setelah tak tersedak lagi, gadis itu kembali duduk pada tempatnya.
“Jadi Pak Alex itu duda, Bu?” tanya Dini saat dia menghenyakkan pantatnya pada kursi.
“Ya.”
“Istrinya ke mana? Cerai?” Dini menuntut penjelasan dari sang ibu.
“Bukan. Istrinya sudah meninggal saat melahirkan anaknya.”
Dini tak dapat menutupi keterkejutannya itu. Jadi pria dewasa yang tadi siang mencuri perhatiannya adalah seorang duda?
Malamnya sebelum tidur, Dini bermain dengan ponselnya. Gadis itu kemudian kembali teringat dengan sang duda yang tinggal di sebelah rumah. Ia mengingat setampan apa wajahnya dengan garis dagu yang tegas. Bahkan Dini kembali membayangkan jenggot tipis di dagu itu. Kedua mata Alex juga begitu indah.
‘Jadi si doi duda. Kalau duda berarti nggak ada ikatan pernikahan dong. Hmmm. Bisa jadi kesempatan bagus ini,’ ujarnya dalam hati. Senyuman lebar pun menghiasi wajahnya.
Mendengar ada kesempatan emas seperti ini, Dini kembali bersemangat. Menurutnya, tak apa meski Alex seorang duda. Wajah tampannya itu tak luntur dengan status dudanya itu. Jika Tuhan berkehendak, maka Dini berharap dia bisa menjadi istri kedua untuk Alex.
“Tunggu ....” gumamnya kemudian.
“Jika aku jadi istrinya Pak Alex ... berarti si bocil rese itu jadi anakku juga dong. Duh. Mana tadi pagi aku rebutan es krim sama dia. Sepertinya si bocil tengil itu dendam padaku,” racaunya.
Hingga tengah malam Dini belum juga bisa tidur. Ia terus memikirkan rencananya untuk menjadi istri dari seorang pria yang baru saja dia temui. Bagaimana pun juga orang seperti Alex itu belum pernah ia temui. Dan pria itulah yang dia idam-idamkan selama ini.
*****
Pagi itu Dini masih berada di rumahnya. Suara bising alarm ponsel telah membuat jengkel seorang wanita paruh baya. Saat melihat sang empunya masih saja terlelap, wanita paruh baya itu langsung menarik kasar selimut yang menutupi tubuh anak gadisnya.
“BANGUN!” teriaknya dengan suara nyaring.
“Bentar, Bu. Aku kan lagi nggak salat,” jawab sang anak yang terdengar seperti gumaman.
“Ya meski lagi nggak salat juga harus bangun pagi! Anak perawan jam segini masih molor. Nggak malu sama tetangga!” hardik sang ibu sembari berkacak pinggang. Minarti benar-benar tak habis pikir putri semata wayangnya itu begitu pemalas.
Kedua mata Dini langsung terbuka saat mendengar kata tetangga. Dia lupa bahwa pria idamannya kini tinggal di sebelah rumah. Dengan segera gadis itu terduduk. Rambut panjangnya berantakan.
Sang ibu pun melempar ponsel yang terus berdering dengan nyaring. “Nih matiin! Berisik!”
Dini segera menangkap ponselnya. Gadis itu pun mematikan alarm yang terus berbunyi. Dia langsung tersenyum tanpa dosa di hadapan sang ibu.
“Percuma kamu setel alarm kalau kamunya tidur kaya orang pingsan!” sungut Minarti lagi.
“Ya maaf. Namanya juga usaha, Bu.”
“Halah. Pret! Usaha macam apa kalau kamu masih pemalas kaya gini! Denger ya, Dini! Kamu tuh anak ibu satu-satunya. Anak perawan lagi. Kamu nggak malu apa nanti kalau kamu udah nikah terus suami kamu yang bangun duluan?” cerocos Minarti yang sudah kesal sampai ke ubun-ubun.
Dini masih memasang senyuman tanpa dosanya. Gadis itu menggaruk belakang kepalanya yang sedikit gatal karena belum keramas selama dua hari.
“Ya malu sih, Bu. Tapi Ibu juga jangan kenceng-kenceng dong ngomongnya. Malu banget kalau sampai kedengaran keluarga Pak Alex,” pintanya.
“Bodo amat. Biar mereka denger kelakuan kamu!”
Dini terdiam atas kemalasannya itu. Lalu, hidung mancungnya mencium sebuah bau yang mencurigakan.
“Bu.”
“Apa!” sentak Minarti yang masih berdiri sembari berkacak pinggang.
“Ibu nyium bau gosong nggak sih?” tanya sang anak dengan hidung yang sudah kembang kempis mencium bau.
Kedua mata Minarti langsung membulat. “Astaghfirullah! Gosong! Kamu sih!” sungutnya sebelum meninggalkan kamar sang anak.
Dini yang merasa bersalah kemudian segera beranjak dari tempat tidur dan seger mencuci wajah serta menggosok gigi. Gadis itu pun menghampiri sang ibu sebelum wanita itu berteiak lagi.
“Mau Dini bantu, Bu?” tawar gadis itu saat sudah berada di dapur.
Minarti menoleh. “Ya mau lah,” jawabnya tak santai.
“Ya udah. Nggak usah marah-marah, Bu. Mana yang bisa Dini bantu?”
“Nih! Tolong kamu cuciin wortel sama kubisnya. Itu kentangnya juga dicuci sekalian!” perintah Narti pada sang anak.
“Iya, Bu.” Dini segera melaksanakan tugasnya dengan baik.
“Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong, tadi yang gosong apa?” tanya Dini pada sang ibu.
“Ayam goreng.”
“Wah. Ibu masak ayam goreng nih. Asyik.”
“Dan yang gosng buat kamu!” Kesenangan Dini segera sirna karena dia sudah dijatah ayam goreng gosong oleh sang ibu.
“Iya iya ....” cicitnya sedih.
Setelah selesai memasak, Minarti pun menyuruh sang anak untuk mengantarkan hasil masakan mereka pada sang tetangga baru. Dini tentu saja dengan senang hati menerima tugas tersebut. Kapan lagi bisa ngapeli si duda tampan pagi-pagi. Untung saja dia sudah gosok gigi.
Dini segera berjalan melewati halaman pemisah rumahnya dan rumah Alex. Gadis itu kini berdiri di depan pintu samping rumah bercat putih tersebut.
“Assalamu’alaikum. Kulo nuwun,” sapanya. (Permisi)
Beberapa detik kemudian, muncullah seorang gadis kecil. Gadis itu menghampiri Dini dengan wajah yang masih sedikit mengantuk.
“Kenapa Mbak ke sini?” tanya Xena yang tak suka dengan kedatangan Dini.
“Halo Xena.” Dini mencoba beramah tamah. “Papimu ada?” tanyanya.
“Kenapa cari Papi aku?” Xena membalas dengan angkuhnya. Coba kalau Dini tak ingat gadis kecil itu anak dari pria idamannya, pastilah kedua pipi tembam itu sudah dia cubit dengan gemas.
“Siapa, Xen?” tanya seorang pria. Siapa lagi kalau bukan Alex. Pria itu muncul hanya mengenakan kaos oblong dan celana training. Bahkan rambut bangun tidurnya malah menambah pesona ketampanan pria itu.
Dini sejenak terpana. Kemudian gadis itu ingat dengan tujuannya datang. Segera saja Dini mengulurkan dua mangkuk berisi sayur sop dan ayam goreng pada Alex.
“Ini, Pak. Mau ngasih ini buat sarapan Bapak, Bu Nining, sama Xena,” jawabnya.
“Oh. Makasih.” Alex segera menerima kedua mangkuk tersebut.
Dini pun tersenyum lebar. “Sama-sama, Pak,” balasnya sembari dengan sengaja menyentuh kedua tangan Alex.
Alis pria itu sedikit berkedut menerima sentuhan halus itu. “Ah. Sebenarnya kamu nggak perlu repot-repot.”
“Sama sekali nggak repot kok, Pak. Karena saya suka sama Bapak dan Xena,” ujar Dini.
“Nggak boleh! Aku nggak suka sama Mbak Dini!” tolak Xena mentah-mentah.
***
Dini masih libur sebelum ia mulai kegiatan kuliahnya. Gadis itu kini mencoba bangun lebih pagi dari biasanya. Malu dong jika ketahuan gebetan dirinya tidur seperti pingsan.Sehari sebelumnya Dini mendapatkan tantangan dari putri kecil sang duda ganteng. Xena menolaknya mentah-mentah dan tak menginginkannya sebagai pengganti sang ibu yang telah tiada.“Aku nggak suka sama Mbak Dini. Mbak Dini jelek, nakal! Papi jangan mau ya sama dia,” rengek anak kecil itu sembari memeluk kedua kaki ayahnya.Alex menahan keseimbangan. Dia kini tengah membawa semangkuk sop dan lauk. Jika dia jatuh, maka makanan lezat itu akan menjadi mubazir. Dini yang melihat tingkah sang bocah itu pun harus menahan kekesalannya.“Mbak Dini cuma bercanda kok, Xen,” ujar Alex mencoba menenangkan putrinya.“Saya serius kok, Pak. Ya udah. Yang penting Bapak tahu aja sama perasaan saya. Dah, Pak. Dah, Xena!” serunya sembari berlalu pergi.Kini
Hari itu Dini mempersiapkan untuk kuliahnya. Dia akan mulai kuliah. Setelah ospek dirinya hanya rebahan saja di rumah. Namun, kegiatan rebahannya itu mulai berganti dengan menggoda sang duda tampan tetannga di sebelah rumahnya. Apa lagi dia harus berdebat tak penting dengan si bocil centil yang merupakan anak kesayangan sang duda.“Bu. Aku berangkat dulu, ya,” ujar gadis itu.“Ya. Hati-hati. Sekolah yang pinter.”“Sekarang sudah kuliah, Bu.”“Oh iya. Ya udah. Kuliah yang pinter,” ralat sang ibu.Dini pun mencium punggung tangan wanita itu dan kemudian berali mencium punggung tangan ayahnya.“Pak. Dini berangkat dulu, ya.”“Ya. Hati-hati.”“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumussalam.”Dini keluar bersama helm berwarna merah muda. Gadis itu pun melajukan motornya yang sudah selesai dipanasi. Saat melewati depan rum
Setelah pertemuan tak terduga antara sang duda meresahkan dan Dini, gadis itu pun kembali menemui kawannya. Wajahnya menjadi lebih ceria dari pada sebelum dia pergi bertemu dosen pembimbing akademiknya.“Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Dapat uang jajan tambahan buat beli cilok dari Pak Dosen?” tanya Sinta heran.Dini masih tersenyum-senyum sendiri. “Hehe. Enggak. Cuma ada yang buat aku seneng banget hari ini,” ujarnya.“Seneng kenapa makanya? Gak jelas,” cibir gadis berkerudung salem.“Sini aku ceritain,” bisik Dini. Gadis itu pun segera menghenyakkan diri di sebelah Sinta.“Barusan aku ketemu sama cowok idamanku,” sambung Dini kemudian.Seolah tak percaya, Sinta menatap wajah sahabatnya itu untuk meminta penjelasan. Bukankah Dini menemui dosen pembimbing akademik? Bukan pergi ke fakultas lain untuk mencari cowok?“Kamu nggak jadi ke kantor?” tanya Sinta.&
Dini kembali kuliah di kampusnya. Gadis itu sangat bersemangat karena hendak bertemu dengan tetangga baru sebelah rumahnya yang meresahkan di kampus sebagai dosen. Penampilan Alex memang sangat berwibawa saat mengenakan kemeja dan celana panjang. Dini sangat suka dengan sosok dewasa yang seperti itu.Gadis itu pun memperbaiki penampilannya. Kali ini Dini mengenakan dress biru muda sepanjang betis. Tak lupa gadis itu menyisir rambutnya yang panjang sebahu lalu mengenakan jepit rambut. Ia dengan sengaja tak mengikat rambutnya kali ini.Polesan bedak halus menutupi wajah cantiknya. Tak lupa lip tint merah muda dia tambahkan pada bibirnya yang ranum dan tipis. Penampilan Dini begitu sempurna hanya dengan dua benda itu. Segera setelahnya, ia langsung berangkat ke kampus.Saat melewati rumah Alex, ia sudah tak melihat mobil milik pria itu. Menandakan bahwa sang duda meresahkan sudah berangkat lebih dahulu.Kini Dini sudah berada di gedung faku
“Duh. Tumben anak Ibu cantik banget,” puji Minarti pada putrinya.Dini mengerucutkan bibirnya. “Biasanya Dini juga cantik, Bu,” sungutnya.“Eh. Gimana menurut Ibu sama lipmate yang baru Dini beli?” tanya gadis itu kemudian sembari tersenyum manis.Minarti mengamati warna lipmate yang sudah menempel sempurna pada bibir ranum putrinya. Wanita itu mengangguk-angguk. “Cakep kok. Nanti Ibu minta, ya?” ujarnya.“Boleh-boleh.”“Ibu nggak usah ikutan pakai,” celetuk suami Narti, Budi.“Kok nggak usah, Pak?”Budi menghentikan aktivitas sarapannya. Sedangkan Dini baru saja mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya. Budi menatap wajah istrinya.“Ibu udah cantik walau pun nggak pakai lipstik begituan,” ujar pria paruh baya itu. Dini tersedak karena mendengarkan gombalan sang ayah. Namun nampaknya kedua orang tua Dini tidak peduli.
Kini Dini mendapatkan julukan baru dari sang duda ganteng. Gadis itu tak merasa keberatan saat dirinya dipanggil cewek ganjen oleh sang dosen. Karena baginya panggilan dari Alex merupakan panggilan sayang untuknya.Pagi itu pun Dini kembali mengganggu sang dosen yang hendak berangkat kerja dari kamarnya. “Selamat pagi, Pak Alex,” sapanya sembari tersenyum manis dengan rambut yang masih basah.Alex mendongak ke atas untuk melihat penampakan dari tetangganya itu. Wajah pria itu datar saat menatap wajah ceria Dini. Tanpa memberikan jawaban, Alex langsung membopong putri kecilnya ke dalam mobil. Saat itu juga, Xena menjulurkan lidahnya untuk meledek Dini.“Selamat pagi, Xena yang cantik dan manis!” seru Dini lagi. Kali ini anak kecil seusia taman kanak-kanak yang menjadi sasarannya.Xena kembali mendongak pada sang tetangga. Wajahnya bersemu malu-malu. Dini pun tersenyum karena tahu apa yang membuat gadis kecil itu senang.Matah
Pagi itu hari Sabtu. Dini dan Alex libur dengan kegiatan perkuliahan mereka. Namun, kedua orang tua Dini tetap masuk kerja sesuai dengan peraturan di daerah mereka dan instansi mereka.Gadis itu pun mendapat mandat dari sang ibu untuk mengepel lantai seperti biasanya. Dengan rasa malas Dini melaksanakan tugasnya. Gadis itu mengambil peralatan pelnya dan segera mengepel dari teras.Saat dia sudah sampai ke ruang tengah dan pintu sampingnya terbuka, Dini melihat Alex yang tengah memotong rumput. Gadis itu langsung bersemangat ingin menggoda sang duda ganteng meresahkan itu lagi. Apa lagi sekarang Alex mengenakan kaos berwarna putih polos yang digulung kedua lengannya dan celana training. Dini dapat dengan jelas melihat otot-otot lengan sang tetangga.“Pagi, Pak Alex. Lagi motong rumput, nih?” tanya Dini basa-basi sembari keluar membawa ember dan pel. Gadis itu hendak mengepel teras di samping rumah sambil bercengkerama dengan sang duda.“U
Dini kembali mendesah saat tangan besar Alex memijit kaki kanannya. Pria itu pun segera melepaskan kaki Dini dan beranjak dari duduknya. Tak biasanya pria dingin itu merasa gugup. Pasalnya ini kali pertamanya menyentuh seorang perempuan setelah sekian lama selain anak dan ibunya.“Nanti harus tetap minta diurut sama tukang pijit biar nggak parah,” ujar pria itu. “Sudah ya. Saya mau pulang.”“Makasih, Pak.” Dini membalas dengan tersenyum manis. Gadis itu benar-benar senang saat sang dosen idolanya memijit kakinya yang cidera.“Ya udah. Saya pamit,” ucap Alex sembari berbalik.“Aw, aw, aw!” seru Dini yang mampu menghentikan langkah sang duda tampan itu.Alex menoleh dan kembali menghampiri Dini. Pria itu merasa cemas. “Ada apa?”Gadis itu pun menatap pria tampan di hadapannya sembari menaikkan kaki kanannya yang sebenarnya sudah tak terlalu sakit. “Ini ... masih saki