Share

2. Dia Duda

Malam itu, Dini dan kedua orang tuanya makan malam bersama. Mereka duduk saling berhadapan. Dini sangat suka dengan menu malam ini. Yakni mi goreng dengan telur. Bahkan dia bisa membuatnya sendiri dengan mudah.

“Oh iya, Bu. Itu tetangga kita yang tinggal di sebelah rumah, baru tadi pagi ya pindahnya?” tanya Budiono, ayah Dini.

Minarti menatap sang suami untuk menjawab. “Iya, Pak. Baru tadi pagi.”

Gadis berusia sembilan belas tahun itu pun diam menyimak obrolan sembari menikmati mi goreng di hadapannya.

“Bapak tahu, nggak?” tanya sang ibu sembari memberikan jeda sebentar. “Pria yang tinggal di sebelah kita itu duda loh,” sambungnya.

Dini langsung tersedak mi goreng yang dia santap. Dia kaget mendengarnya.

“Pelan dong makannya! Bisa sampai keselek gitu.” Minarti mendelik ke arah putrinya.

Segera saja Dini berlari menuju kulkas dan langsung meminum air putih dari botol. Setelah tak tersedak lagi, gadis itu kembali duduk pada tempatnya.

“Jadi Pak Alex itu duda, Bu?” tanya Dini saat dia menghenyakkan pantatnya pada kursi.

“Ya.”

“Istrinya ke mana? Cerai?” Dini menuntut penjelasan dari sang ibu.

“Bukan. Istrinya sudah meninggal saat melahirkan anaknya.”

Dini tak dapat menutupi keterkejutannya itu. Jadi pria dewasa yang tadi siang mencuri perhatiannya adalah seorang duda?

Malamnya sebelum tidur, Dini bermain dengan ponselnya. Gadis itu kemudian kembali teringat dengan sang duda yang tinggal di sebelah rumah. Ia mengingat setampan apa wajahnya dengan garis dagu yang tegas. Bahkan Dini kembali membayangkan jenggot tipis di dagu itu. Kedua mata Alex juga begitu indah.

‘Jadi si doi duda. Kalau duda berarti nggak ada ikatan pernikahan dong. Hmmm. Bisa jadi kesempatan bagus ini,’ ujarnya dalam hati. Senyuman lebar pun menghiasi wajahnya.

Mendengar ada kesempatan emas seperti ini, Dini kembali bersemangat. Menurutnya, tak apa meski Alex seorang duda. Wajah tampannya itu tak luntur dengan status dudanya itu. Jika Tuhan berkehendak, maka Dini berharap dia bisa menjadi istri kedua untuk Alex.

“Tunggu ....” gumamnya kemudian.

“Jika aku jadi istrinya Pak Alex ... berarti si bocil rese itu jadi anakku juga dong. Duh. Mana tadi pagi aku rebutan es krim sama dia. Sepertinya si bocil tengil itu dendam padaku,” racaunya.

Hingga tengah malam Dini belum juga bisa tidur. Ia terus memikirkan rencananya untuk menjadi istri dari seorang pria yang baru saja dia temui. Bagaimana pun juga orang seperti Alex itu belum pernah ia temui. Dan pria itulah yang dia idam-idamkan selama ini.

*****

Pagi itu Dini masih berada di rumahnya. Suara bising alarm ponsel telah membuat jengkel seorang wanita paruh baya. Saat melihat sang empunya masih saja terlelap, wanita paruh baya itu langsung menarik kasar selimut yang menutupi tubuh anak gadisnya.

“BANGUN!” teriaknya dengan suara nyaring.

“Bentar, Bu. Aku kan lagi nggak salat,” jawab sang anak yang terdengar seperti gumaman.

“Ya meski lagi nggak salat juga harus bangun pagi! Anak perawan jam segini masih molor. Nggak malu sama tetangga!” hardik sang ibu sembari berkacak pinggang. Minarti benar-benar tak habis pikir putri semata wayangnya itu begitu pemalas.

Kedua mata Dini langsung terbuka saat mendengar kata tetangga. Dia lupa bahwa pria idamannya kini tinggal di sebelah rumah. Dengan segera gadis itu terduduk. Rambut panjangnya berantakan.

Sang ibu pun melempar ponsel yang terus berdering dengan nyaring. “Nih matiin! Berisik!”

Dini segera menangkap ponselnya. Gadis itu pun mematikan alarm yang terus berbunyi. Dia langsung tersenyum tanpa dosa di hadapan sang ibu.

“Percuma kamu setel alarm kalau kamunya tidur kaya orang pingsan!” sungut Minarti lagi.

“Ya maaf. Namanya juga usaha, Bu.”

“Halah. Pret! Usaha macam apa kalau kamu masih pemalas kaya gini! Denger ya, Dini! Kamu tuh anak ibu satu-satunya. Anak perawan lagi. Kamu nggak malu apa nanti kalau kamu udah nikah terus suami kamu yang bangun duluan?” cerocos Minarti yang sudah kesal sampai ke ubun-ubun.

Dini masih memasang senyuman tanpa dosanya. Gadis itu menggaruk belakang kepalanya yang sedikit gatal karena belum keramas selama dua hari.

“Ya malu sih, Bu. Tapi Ibu juga jangan kenceng-kenceng dong ngomongnya. Malu banget kalau sampai kedengaran keluarga Pak Alex,” pintanya.

“Bodo amat. Biar mereka denger kelakuan kamu!”

Dini terdiam atas kemalasannya itu. Lalu, hidung mancungnya mencium sebuah bau yang mencurigakan.

“Bu.”

“Apa!” sentak Minarti yang masih berdiri sembari berkacak pinggang.

“Ibu nyium bau gosong nggak sih?” tanya sang anak dengan hidung yang sudah kembang kempis mencium bau.

Kedua mata Minarti langsung membulat. “Astaghfirullah! Gosong! Kamu sih!” sungutnya sebelum meninggalkan kamar sang anak.

Dini yang merasa bersalah kemudian segera beranjak dari tempat tidur dan seger mencuci wajah serta menggosok gigi. Gadis itu pun menghampiri sang ibu sebelum wanita itu berteiak lagi.

“Mau Dini bantu, Bu?” tawar gadis itu saat sudah berada di dapur.

Minarti menoleh. “Ya mau lah,” jawabnya tak santai.

“Ya udah. Nggak usah marah-marah, Bu. Mana yang bisa Dini bantu?”

“Nih! Tolong kamu cuciin wortel sama kubisnya. Itu kentangnya juga dicuci sekalian!” perintah Narti pada sang anak.

“Iya, Bu.” Dini segera melaksanakan tugasnya dengan baik.

“Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong, tadi yang gosong apa?” tanya Dini pada sang ibu.

“Ayam goreng.”

“Wah. Ibu masak ayam goreng nih. Asyik.”

“Dan yang gosng buat kamu!” Kesenangan Dini segera sirna karena dia sudah dijatah ayam goreng gosong oleh sang ibu.

“Iya iya ....” cicitnya sedih.

Setelah selesai memasak, Minarti pun menyuruh sang anak untuk mengantarkan hasil masakan mereka pada sang tetangga baru. Dini tentu saja dengan senang hati menerima tugas tersebut. Kapan lagi bisa ngapeli si duda tampan pagi-pagi. Untung saja dia sudah gosok gigi.

Dini segera berjalan melewati halaman pemisah rumahnya dan rumah Alex. Gadis itu kini berdiri di depan pintu samping rumah bercat putih tersebut.

“Assalamu’alaikum. Kulo nuwun,” sapanya. (Permisi)

Beberapa detik kemudian, muncullah seorang gadis kecil. Gadis itu menghampiri Dini dengan wajah yang masih sedikit mengantuk.

“Kenapa Mbak ke sini?” tanya Xena yang tak suka dengan kedatangan Dini.

“Halo Xena.” Dini mencoba beramah tamah. “Papimu ada?” tanyanya.

“Kenapa cari Papi aku?” Xena membalas dengan angkuhnya. Coba kalau Dini tak ingat gadis kecil itu anak dari pria idamannya, pastilah kedua pipi tembam itu sudah dia cubit dengan gemas.

“Siapa, Xen?” tanya seorang pria. Siapa lagi kalau bukan Alex. Pria itu muncul hanya mengenakan kaos oblong dan celana training. Bahkan rambut bangun tidurnya malah menambah pesona ketampanan pria itu.

Dini sejenak terpana. Kemudian gadis itu ingat dengan tujuannya datang. Segera saja Dini mengulurkan dua mangkuk berisi sayur sop dan ayam goreng pada Alex.

“Ini, Pak. Mau ngasih ini buat sarapan Bapak, Bu Nining, sama Xena,” jawabnya.

“Oh. Makasih.” Alex segera menerima kedua mangkuk tersebut.

Dini pun tersenyum lebar. “Sama-sama, Pak,” balasnya sembari dengan sengaja menyentuh kedua tangan Alex.

Alis pria itu sedikit berkedut menerima sentuhan halus itu. “Ah. Sebenarnya kamu nggak perlu repot-repot.”

“Sama sekali nggak repot kok, Pak. Karena saya suka sama Bapak dan Xena,” ujar Dini.

“Nggak boleh! Aku nggak suka sama Mbak Dini!” tolak Xena mentah-mentah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status