Ketukan high heels itu menandakan seorang wanita tengah berjalan. Irama yang santai dan juga elegan itu membuatnya tampil seperti wanita yang berkelas.
Wanita dengan setelan hitam, bibir berwarna merah, juga kacamata hitam yang besar hampir menutupi sebagian wajahnya.
Tangannya terulur meminta sesuatu. Anak buahnya terlihat memberikan sebatang rokok padanya.
"Jadi dia orangnya?" tanya wanita itu.
"Yes, Liana." Benar, nama wanita itu adalah Liana, lebih tepatnya adalah Liana Rodriguez. Seorang anak penguasa terkenal di negara ini dengan kelihaian dalam berkelahinya yang sulit ditandingi.
Melihat seorang pria yang terkapar lemas, dengan memar yang ada di sekujur tubuh dan juga wajahnya itu membuat Liana sedikit kasihan.
"Tolong saya..." Tampak pria itu masih sadar, dia masih sanggup untuk meminta tolong pada Liana.
"Just pay your debt, and you can live safely." Seringai licik itu membuat Liana semakin terlihat kejam.
"I don't have money. How do i pay the debt." Terlihat frustasi sudah jelas laki-laki itu frustasi. Dia tidak tahu menahu soal hutang yang keluarganya buat, dan sekarang dia harus membayarnya.
"I don't care, i don't wanna know. Just pay your debt." Liana menginjak dada si pria itu, sampai pria itu terbatuk-batuk.
"Give me time, and i'll pay the debt." Sambil menahan rasa sakit, pria itu masih bertahan untuk tetap hidup.
"Kamu pikir saya percaya dengan ucapan kamu?" Seringai mengerihkan itu kembali muncul. Dan pria itu tampak tak bisa melawan sedikitpun.
"Sekali pembohong, tetap pembohong. Kamu sudah saya berikan waktu setengah bulan dan kamu tetap tidak bisa membayar, walaupun hanya seperempat dari utangmu. Dan sekarang kamu minta waktu lagi? Hah... Kamu bercanda?"
"Aku berjanji... Kali ini saja." Pria itu memeluk kaki Liana, berharap dapat sedikit belas kasihan darinya.
Liana terdiam sejenak, menatap lampu kota yang menyala berkelap-kelip itu. Mereka memang sedang berada di atap gedung. Sebuah ide melintas di kepalanya.
Wanita itu berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan pria itu. "Jika dilihat-lihat, kamu ini tampan juga ya. Bagaimana kalau saya menjualmu saja."
"Saya akan dapat uang, dan kamu yang tidak berguna ini akan hilang dari dunia ini. Bukan hanya aku yang untung, dunia juga akan senang karena populasi manusia tak berguna sepertimu akan berkurang," usul Liana.
"Jangan... Jangan... Tolong, biarkan aku membayar utang saja, tidak perlu menjualku."
"Apa jaminannya?" Liana kembali berdiri. Bersikap sombong, sudah menjadi salah satu kewajiban jika bekerja seperti ini.
"Aku. Jika aku tidak bisa membayarnya maka aku rela ditembak mati olehmu," ucap laki-laki itu dengan penuh keyakinan.
"Itu terlalu mudah, kamu tertembak, lalu mati? Lalu siapa yang bayar utang kamu? Dimana untungnya untuk saya?" Liana membuka kacamata hitam yang menutupi hampir sebagian wajahnya itu.
"Pilihan kamu hanya dijual, jika tidak bisa membayar utang."
"Yaa... Whatever, yang penting bebaskan aku."
Liana menghela nafas, cukup sulit menghadapi orang-orang seperti ini. Dia berbalik dan menyuruh anak buahnya untuk melepaskan pria itu dengan syarat tetap diawasi. Karena Liana tidak mau pria itu kabur.
Liana baru saja sampai di pavilliun milik keluarganya. Rumah mewah seperti ini sudah biasa untuk keluarga penguasa seperti Rodriguez.
"Liana, Anda sudah ditunggu oleh Tuan Ronald." Liana mengangguk lalu menyuruh orang suruhan ayahnya itu kembali.
Langkahnya semakin melambat kala ruangan ayahnya yang semakin dekat. Berhadapan dengan orang tua adalah hal yang paling dia hindari, dia lebih baik menerima perintah dari jauh saja dari pada harus berhadapan.
"Astaga... Apa yang harus aku katakan..." Wanita kejam yang kalian lihat diawal itu seketika menghilang, berganti dengan wanita yang penuh kegelisahan.
"Bagaimana kalau dia memukulku lagi," ucap Liana frustasi di depan pintu besar itu.
"Ah! Sial, apa boleh buat." Liana membuka pintu itu dengan kasar, matanya menyusuri setiap sudut ruangan hingga menemukan tuan Ronald, atau dia sering menyebutnya dengan Papa.
"Oh God, my beautiful daugther..." Sambutan yang sangat aneh. Tidak biasanya tuan Ronald bersikap ramah pada Liana.
"Papa..." lirih Liana, wanita itu rindu dengan suasana masa kecilnya yang bahagia.
Sebuah pelukan diterima oleh Liana, hal ini sudah lama tidak terjadi. Wanita itu hanya membeku dengan perlakuan Papanya hari ini.
"How are you?" tanya tuan Ronald.
"I'm okay, Pa..."
"Not good? Good is better then okay." Semua ini membuat Liana berdebar, bertanya-tanya apakah semua ini benar tulus yang diberikan Papanya.
"Yeah... I'm good, Pa."
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya pria paruh baya itu.
"Semuanya berjalan lancar. Aku hanya butuh sedikit waktu lagi untuk mengurusi orang itu."
"Baiklah, aku tahu kamu bisa melakukan apa yang aku inginkan."
Tuan Ronald berjalan menuju mejanya, mengambil selembar kertas yang terlihat sangat bagus. Perpaduan warna yang indah, sekaligus terlihat sangat mewah, Liana yakin itu bukan hal baik yang akan berdampak padanya.
"Adikmu sudah menemukan pujaan hatinya. Dia akan menikah bulan depan." Tuan Ronald memberikan Liana sebuah undangan.
Liana menerima undangan itu, dia ikut senang. Meskipun akan menjadi masalah baru untuknya di kemudian hari.
"Aku turut bahagia," ucap Liana. Liana membuka lembaran undangan itu, terlihat indah dengan nama Alena Rodriguez dan Marco Hwang.
"Jangan cuma bahagia, kapan kamu akan bawa pacarmu menghadap kami." Wanita paruh baya itu datang dari belakang Liana, itu Mamanya.
"Adik kamu itu, sudah pintar, cantik, berkarir, jodohnya juga bagus. Kamu mau sampai kapan sendiri terus. Sebentar lagi usia kamu sudah kepala 3, memangnya tidak lelah sendiri terus?" Wanita itu membawakan kopi untuk suaminya.
Sudah Liana tebak, dia pasti akan mendapat masalah lagi kali ini. Meskipun manis di awal.
"Kenapa diam saja? Memangnya kamu gak mau menikah?" tanya nyonya Marina.
Liana menatap ujung high heelsnya, dia tidak bisa membantah perintah orang tuanya. Bagaimana pun dia hidup untuk memenuhi kemauan orang tuanya.
"Pokoknya Mama mau kamu datang ke pernikahan Alena bersama pacar kamu." Perkataan itu berubah menjadi perintah untuk Liana.
"Kalau begitu, aku pergi dulu Pa, Ma." Sebelum semakin banyak lagi perintah tidak masuk akal dari orang tuanya itu, Liana lebih baik undur diri.
Wanita itu berjalan keluar dari pavilliun milik keluarganya. Dibanding tinggal di sini, Liana lebih memilih untuk tinggal sendirian di sebuah apartement mewah untuk mendapat ketenangan.
Tempat ini menyimpan banyak sekali cerita menyakitkan untuk Liana, dia bukan bermaksud masokis karena tetap menyimpan rasa sakit itu, namun tubuhnya menolak untuk membiarkan Liana melepaskan masa lalunya yang menyedihkan itu.
Setiap datang ke tempat ini, memorinya kembali memutarkan momen-momen yang ingin dia lupakan. Tempat ini membangkitkan rasa sakit itu.
"Dasar anak itu, terus saja menghidar dari jodohnya. Sudah pernah kita jodohkan dan dia berhasil menghindar, dia membuat calonnya lari terbirit-birit karena akan dibunuh. Ini semua salah kamu karena mendidiknya menjadi berandalan, bukannya wanita yang lemah lembut." Omel nyonya Marina pada suaminya, tuan Ronald.
"Kamu tau sendiri kan, satu-satunya yang menonjol dari Liana adalah kekuatannya, bukan keanggunan ataupun kecerdasan seperti Alena."
"Tapi dia itu anak perempuan, mau sampai kapan dia bertingkah seperti itu." Nyonya Marina sudah cukup kesulitan mengatur Liana, dan sejak anak itu pindah, nyonya Marina lebih sulit lagi mengatur anak pertamanya itu.
•••
Liana harus memutar otaknya, bagaimana dia bisa bertemu dengan pria dengan cepat agar bisa dibawa ke pernikahan Alea. Tidak mungkin Javas, karena orang tuanya tahu, hubungan Liana dan Javas sudah seperti kakak adik, belum lagi kebenaran kalau Javas sudah memiliki kekasih.Meskipun Liana ingin tidak datang ke pernikahan adiknya, dia selalu memikirkan apa yang diperintahkan oleh orang tuanya, seakan pikirannya sudah disetting untuk datang bersama seorang laki-laki dan memeperkenalkan pada orang tuanya itu menjadi kalimat wajib yang harus dia kerjakan."Mikirin apa kamu?" Seorang pria masuk ke dalam apartement nya tanpa permisi itu sudah biasa, selain anak buahnya, pria ini juga mendapat akses bebas di sini."Mau tahu saja." Liana tampak lebih santai dari pada yang kalian bayangkan diawal. Karena Liana punya prinsip, penampilan akan menunjangnya untuk bersikap lebih kejam lagi."Bilang saja padaku, mana tahu
"This is your room." Liana menunjukan salah satu kamar yang ada di bagian apartement nya."Apa kamu tinggal di sini juga?" tanya Sakha."Ya. Memangnya kenapa?" Liana tampak malas melakukan komunikasi, tapi dia harus melakukannya agar semuanya berjalan dengan lancar."Kamu tidak takut jika aku melakukan sesuatu padamu?" tanya Sakha."Sebelum itu terjadi, tulang rusukmu akan patah hingga menusuk ke organ dalam milikmu," ketus Liana.Sakha yang menyadari itu langsung memegang dadanya, seolah merasakan jika tulang rusuknya akan patah dengan semengerihkan itu, ekspresinya pun mendukung."Masuklah."Wanita itu meninggalkan Sakha sendirian di kamar ini."Pantas saja dia tidak punya pacar, memangnya siapa yang tahan dengan psikopat sepertinya."Sakha melempar tubuhnya untuk merasakan kasur. Setengah bulan ini dia tidak bisa tidur n
Liana dan Sakha berhasil sampai ke pavilliun milik keluarga Liana dengan selamat. Sakha menatap bangunan ini dengan kagum. Seumur-umur dia hanya bisa melihat bangunan dengan 1 keutamaan, misalnya kemewahan, tapi tidak dengan keindahan alam yang alami atau sebaliknya. "Ini rumahmu?" tanya Sakha. "Bukan." "Lalu untuk apa kita datang ke sini?" tanya Sakha heran. "Are you 31 years old? Kenapa pemikiranmu begitu sempit," ejek Liana. "Maksudmu aku bodoh?" Sakha tidak terima dengan hinaan itu, dia laki-laki dan dia tidak ingin direndahkan apa lagi dengan seorang wanita. "Bukan aku yang bilang." Liana berjalan mendahului Sakha. Perdebatan bodoh akan segera terjadi dari mulut Sakha yang ternyata sangat berisik. "Apa hak kamu menghinaku? Memangnya kamu tidak pernah tahu ya, merundung itu bisa berdampak buruk bagi korban." Sakha masih tidak terima den
Sakha berdiri di samping Liana yang sedang melemparkan pakan ikan ke kolam. "Aku cariin, ternyata kamu di sini." "Untuk apa kamu mencariku? Mau memberi kata-kata motifasi ke aku? Aku tidak perlu." Liana tetap pada dirinya yang angkuh. Dia merasa dirinya masih hebat, dia berada di atas Sakha sehingga dia bisa berkata semaunya. Meskipun tidak tahu jika ke depannya rencana mereka malah membuat mereka terjebak. "Aku gak punya kata-kata motifasi, kamu tau kan berantakannya hidup aku, sampai aku harus ada di sini jadi pacar bohongan kamu." Sakha mencoba mengalah, jika melawan Liana dengan emosi sama saja menghancurkan rencana mereka. "Terus untuk apa kamu ke sini?" tanya Liana. "Ya kamu pikir saja, kalau aku tetap di sana malah aku yang terjebak di sana, lebih baik aku pergi. Belum lagi kalau Papa kamu marah lalu aku tidak bisa nyela, dan akhirnya aku yang mendengarkan kemarahan Papa kamu."
"Kamu sedang apa di sana?" Suara bariton milik tuan Ronald itu membuat Sakha berbalik dan tersenyum ramah sebisa mungkin. "Liana sedang pergi. Jadi saya iseng lihat-lihat sekeliling Om," jelas Sakha. Dia sedikit ciut di hadapan tuan Ronald, dengan wajah bule itu dia terlihat lebih seram. "Kenapa tidak ikut dengannya?" tanya Ronald. "Dia melarang saya," jawab Sakha, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ya, dia merasa tidak enak saja, seperti lepas tanggung jawab sebagai laki-laki. "Kamu tidak perlu khawatir, dia gadis yang pandai menjaga diri. Kamu sudah makan?" Pria berparas bule itu jauh lebih bersahabat sejak mereka terakhir bertemu. "Udah Om, tadi Liana menyiapkan saat dia mau pergi." Ronald tersenyum, lalu menepuk bahu Sakha. "Saya harap, kamu orang yang tepat untuk Liana." Sakha mengangguk canggung, bagaimana jadi orang yang
Tadinya Sakha ingin berolah raga pagi, tapi dia urungkan karena melihat ibu Liana atau nyonya Marina sedang menyuruh pekerjanya untuk memotong tanaman bonsai import dari luar negeri miliknya.Sakha ingat, Liana memberinya tugas untuk membuat orang tua Liana merasa Sakha adalah laki-laki yang tepat untuk Liana."Pagi, Tante," sapa Sakha."Hai, Sakha. Kamu sudah sarapan?" tanya wanita paruh baya itu."Udah Tante, aku denger Tante yang masak ya? Enak banget Tan." Senyuman Sakha itu seolah benar-benar memuja nyonya Marina."Benar kah? Kebetulan hari ini memang Tante yang masak, soalnya Om kamu lagi mau makan masakan Tante, syukur deh kalau kamu suka, kapan-kapan Tante masakin lagi." Wanita itu tampak berseri ketika pacar dari anak sulungnya itu memberikan pujian.Sakha mengangguk dan tersenyum ramah. "Ini bonsai pinus kan Tante? Kalau ini Azalea kan Tan? Wah, ini import kan?"
3 orang memasuki mobil yang sama, mereka akan menuju suatu tempat yang mungkin akan lama di sana.Liana, Sakha dan Alena berada dalam 1 mobil dengan atmosfer yang terasa semakin dingin jikalau Alena tidak terus-terusan bertanya ini itu. Gadis itu baru saja kembali ke tahan air setelah lama mengenyam bangku pendidikan di Seattle.Lalu dia bekerja sebagai pengacara selama 3 tahun di Seattle, setelah itu dia memilih kembali ke tanah air, dengan tujuan untuk menikah dengan tunangannya."Jadi kamu pengacara? Kasus apa yang menurut kamu sulit banget?" tanya Sakha pada Alena sambil fokus menyetir, sedangkan Liana hanya melalukan pekerjaannya sebagai pendengar."Semua kasus itu sulit, tapi yang paling sulit itu waktu aku jadi pengacara ada kasus seorang pengusaha, dia dituduh melakukankorupsi, pembunuhan dan pelecehan seksual. parah banget deh. Sebenarnya aku juga tidak mau mengambil kasus itu, kasus itu jat
2 hari sebelum resepsi dilakukan, Alena ingin melakukan family time. Awalnya tidak akan mengajak Sakha, tapi karena Liana mengatakan kalau dia akan ikut jika Sakha ikut juga, akhirnya Alena mengalah.Saat keluarga Rodriguez itu berada di pantai sambil menikmati hidangan seafood yang tampak sedap itu, Liana malah sibuk menyiapkan apapun yang disukai oleh keluarganya.Sakha yang melihat kesibukan Liana itu menghampirinya, membantunya menyiapkan apa yang Liana inginkan."Kamu kenapa tidak makan dari tadi?" tanya Sakha sambil membolak-balik seafood di atas panggangan."Alergi," jawab Liana singkat. Lalu meninggalkan Sakha dan memberikan hidangan itu pada keluarganya yang sedang bermusik ria.Meski hidup berdampingan dengan dunia gelap, mereka masih punya rasa ceria untuk merayakan sesuatu tentunya. Bukan keluarga yang kaku, bahkan senyum pun sulit.Sakha dengan cepat bisa berb