Share

03 Agreement

"This is your room." Liana menunjukan salah satu kamar yang ada di bagian apartement nya.

"Apa kamu tinggal di sini juga?" tanya Sakha.

"Ya. Memangnya kenapa?" Liana tampak malas melakukan komunikasi, tapi dia harus melakukannya agar semuanya berjalan dengan lancar.

"Kamu tidak takut jika aku melakukan sesuatu padamu?" tanya Sakha.

"Sebelum itu terjadi, tulang rusukmu akan patah hingga menusuk ke organ dalam milikmu," ketus Liana.

Sakha yang menyadari itu langsung memegang dadanya, seolah merasakan jika tulang rusuknya akan patah dengan semengerihkan itu, ekspresinya pun mendukung.

"Masuklah."

Wanita itu meninggalkan Sakha sendirian di kamar ini.

"Pantas saja dia tidak punya pacar, memangnya siapa yang tahan dengan psikopat sepertinya."

Sakha melempar tubuhnya untuk merasakan kasur. Setengah bulan ini dia tidak bisa tidur nyenyak karena berusaha mencari uang, mulai dari meminjam hingga bekerja dimana saja.

"Aww!" Tak bisa dipungkiri, kalau rasa nyeri dan sakit sangat terasa di tubuh Sakha setelah apa yang dilakukan anak buah wanita itu. Walaupun Liana sudah membawa Sakha ke rumah sakit untuk luka-luka yang Sakha dapat dari anak buah wanita gengster itu, tetap saja tubub Sakha sakit walaupun kata dokter semuanya baik-baik saja, tidak seperti perkiraan Sakha sebelumnya.

"Ah! Namanya siapa?" Tapi Sakha langsung menepis.

"Nanti juga tau, gak perlu nyari tau," ucap Sakha tidak peduli, yang penting dia bisa istirahat dulu, sebelum itu terjadi dia harus mandi.

Sakha membuka lemari yang ada di dalam kamar itu. Mulai dari setelan jas mahal hingga piyama semuanya lengkap ada di sana.

"Kapan dia menyiapkan ini semua?" Sakha bertanya-tanya.

"Tapi ini bagus-bagus. Aku belum pernah punya sebelumnya. Lumayan juga jadi simpanan orang kaya ya, kenapa tidak dari dulu saja aku begini..." kekeh Sakha.

Sakha adalah seorang pria biasa yang hidupnya cuma kerja, duniawi, tapi dia juga lumayan rajin ibadah. Temen-temennya juga asik-asik, jadi dia bukan orang yang kaku atau cukup terbilang asik.

Sedikit nyentrik kalau punya uang, tapi jadi miskin diakhir bulan, itu sih udah biasa. Semuanya fine-fine aja kalau dia gak dijebak. Parahnya malah sama keluarga sendiri.

Sakha memilih untuk mandi dan membersihkan dirinya yang tampak menyedihkan itu. Bekas lukanya pun sudah dia obati dan ditutupi dengan plaster.

Sakha pikir hari ini adalah hari terakhirnya menghirup udara, ternyata Tuhan masih membiarkannya, tidak sia-sia dia beribadah meski suka bolong-bolong. Tuhan memang tahu kalau Sakha tidak bersalah, dia tidak pantas menanggung semua kesalahan yang dibuat keluarganya. Ah... Rasanya dia tidak mau mengakui Poldi sebagai keluarganya, setiap malam dia merutuki mereka.

Suara ketukan pintu itu menyadarkan Sakha yang masih merenungi jalan hidupnya ini.

Wanita yang dia tidak tahu namanya sampai sekarang itu ada di hadapannya. Penampilannya sangat berbeda, dia terlihat lebih santai dan natural. Tidak menyeramkan seperti pertama mereka bertemu, ini jauh lebih bagus.

"Kamu mau mati sebelum saya suruh? Tidak mau makan malam?" Wanita itu melipat tangannya tepat di depan dadanya.

"Eh, iya." Tanpa peduli jawaban Sakha, Liana berjalan mendahului pria itu. Membiarkan pria itu mengekorinya. Ternyata punya orang lain di rumah ini cukup menghibur bagi Liana, dia punya teman bicara walaupun orang ini sangat bodoh.

"Saya sudah buat kontrak, apa-apa aja yang harus kamu lakukan saat jadi pacar bayaran saya." Liana menyerahkan sebuah kertas dengan salinannya yang ada di tangannya.

"Pekerjaan kamu adalah dokter anak."

"Tapi aku cuma staf marketing di kantor. Bagaimana bisa jadi dokter, terus aku baru aja jadi weiters di kafe." Liana sudah tahu itu sebelum Sakha memberitahu, dia punya latar belakang Sakha dengan detail.

"Kamu kan bisa riset, gimana itu jadi dokter anak. Memangnya kamu sebodoh itu." Omel Liana, gadis itu menyantap makan malamnya dengan tenang.

"Berapa usia kamu?" tanya Liana.

"31 tahun."

"Sempurna. Nanti kamu harus tampil seperti orang hebat, bisa akting kan? Kalau kamu gagal..." Liana memberi isyarat untuk memotong leher Sakha. Pria itu meringis memegangi lehernya ngerih. Sebelumnya Sakha tidak suka diatur, dia adalah orang yang suka mengatur tapi demi keselamatan nyawanya dia harus tetap menurut.

"Seorang yang sangat hebat sampai mereka merasa saya bisa mendapatkan orang yang lebih hebat dari calon suami Alena."

"Siapa mereka dan  siapa Alena?" tanya Sakha.

"Mereka adalah orang tuaku dan Alena adikku," jawab Liana tidak semangat. Sakha pikir wanita ini adalah si antagonis yang ingin selalu menjadi pemenang dalam setiap pertarungan sekalipun dengan cara curang. Sakha harap dia akan kalah dalam pertarungan kali ini.

Baru sehari Sakha bertemu dengan wanita ini, tapi dia sudah mendapat banyak kejutan. Wanita ini memiliki banyak ekspresi yang seperti sulit dia tunjukan pada publik.

"Siapa nama kamu?" tanya Sakha. Bukankah sangat tidak sopan jika Sakha tidak tahu siapa yang membuatnya babak belur seperti ini.

"Liana... Liana Rodriguez." Perjelas wanita itu.

Sakha mengangguk, artinya dia paham dengan apa yang Liana katakan.

"Liana! Where are you?" Suara bariton itu membuat keduanya mengalihkan atensi merek ke arah sumber suara.

"Dapur!" Teriakan Liana sukses membuat Sakha kaget. Ternyata wanita ini tetap wanita biasa yang suka teriak-teriak.

"Who are you?" Suara bariton itu langsung mengintrogasi Sakha.

"My boyfriend."

"Secepat itu?" Kini Cakra menatap Liana curiga.

"Dengan cara yang kamu sarankan. Aku berhasil dapat dengan mudah."

Sakha bingung, kedua orang ini tampak akrab kenapa tidak membantu satu sama lain. Mereka pasti jadi pasangan yang cocok dalam hidup, mereka sama-sama terlihat nyaman dan terbuka.

"Saya Sakhala Poldi, pacarnya Liana." Sakha menjabat tangan Cakra.

"Cakra, temennya Liana."

"Wait a minute." Cakra membawa Liana menjauh dari Sakha. Tapi Sakha tidak peduli, karena di ingin makan tenang sekarang, sudah lama dia tidak makan dengan tenang. Dia selalu dihantui rasa takut yang membuatnya susah menelan nasi.

"Kamu gila ya? Aku cuma bercanda waktu itu," ucap Cakra.

"Tapi aku anggap itu serius. Lagi pula dia harus bayar utangnya, dia tidak melakukan ini dengan suka rela."

"Kalau ayahmu tahu, bukan cuma kamu yang akan sekarat. Dia juga bakal mati." Cakra memperingati, dia paham apa yang terjadi jika membohongi tuan Ronald.

"I don't care. Selama tidak ketauan, semuanya baik-baik aja. Lagi pula kami tidak akan lama, setelah pernikahan Alena, kontraknya habis."

"Bicara memang gampang, kalau dia mati bagumana? Bagaimana dengan keluarganya. Kalau dia mati, kamu mau tanggung jawab!" Cakra tidak habis pikir dengan wanita yang sudah dia kenal lama itu. Dia memang gila setahu Cakra, tidak menurut dengan Cakra, tapi kenapa saat Cakra asal bicara dia malah mengikutinya.

"Dia dijebak keluarganya. Mungkin juga dia udah dibuang. Sekalipun dia mati, keluarganya pasti tidak akan sedih." Wanita jahat itu tumbuh di dalam Liana, sehingga membuat Cakra kewalahan.

Andai saja Liana tau, sedalam apa perasaan Cakra padanya dulu, tapi Cakra menguburnya dan memilih menyerah dengan wanita seperti Liana, bukan hanya lelah menghadapi, tapi Liana tidak akan berubah kecuali atas kemauannya sendiri. Sepenuhnya Liana menguasai dirinya, dia tidak akan mau menuruti siapapun kecuali ayah dan ibunya.

"Keluarga mana yang tidak sedih, kalau salah satu anggota keluarganya ada mati?"

"Keluarga aku." Liana menutup pembicaraan mereka dengan dark. Sekaligus membungkam Cakra dengan fakta keluarga Rodriguez.

Suatu kejadian menimpa Liana saat melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh Papanya. Dia hampir mati, dan tidak ada seorang pun dari keluarganya menangis melihat kondisi Liana yang sudah parah itu. Bahkan mereka datang setelah beberapa hari Liana dirawat di rumah sakit.

Kecelakaan mobil yang dia alami itu hampir saja merenggut nyawanya. Keluarganya hanya datang sekali, itu pun saat hari pertama Liana sadar. Sebelum dan sesudahnya hanya ada Cakra dan Javas beserta pacarnya yang datang bergantian menjaga Liana.

Tidak ada tangis yang Liana dengar dari keluarganya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Liana memperhatikan keluarganya, mengikuti semuanya, menjadi apa yang diinginkan mereka tapi tidak bisa merasakan timbal balik dari apa yang dia perbuat.

Deringan ponsel menyadarkan Liana saat akan berjalan ke dapur.

"Hallo, Pa."

"Papa ingin bicara denganmu sebentar," ucap tuan Ronald dari sana.

"Ya ada apa Pa?" tanya Liana.

"Mama kamu meminta kamu pulang ke rumah, seminggu sebelum pernikahan Alena. Kamu harus membantu Alena menyiapkan pernikahannya karena Marco sedang sibuk."

"Pa, aku sibuk. Aku masih punya pekerjaan lainnya yang tidak bisa ditinggal. Papa sendiri yang memberikan aku tanggung jawab ini, bagaimana bisa aku tinggalkan?"

"Kamu tidak usah menyulitkan diri sendiri. Papa akan cancel semua pekerjaan kamu hingga 1 minggu ke depan, besok kamu harus ke sini!" Dengan tegas Ronald memberikan akhiran dari panggilan itu.

"AAA!!" Liana membanting ponselnya hingga terpecah menjadi bagian-bagian kecil, semua orang selalu menyulitkannya tapi kenapa dia tidak bisa menolak mereka. Liana tidak peduli jika dia menjadi perhatian di sini, tapi untungnya itu tidak akan terjadi karena orang-orang tidak peduli.

"Kamu kenapa langsung bad mood gitu?" tanya Sakha saat Liana kembali ke dapur.

Liana membanting sendok dan garpu di piringnya. Selera makannya sudah tidak ada lagi karena Cakra.

"Bersiaplah besok kita akan ke rumah orang tuaku. Lakukan semua instruksiku. Jangan sampai membuatku malu."

Lalu Liana benar-benar meninggalkan Sakha di dapur sendirian.

•••


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status