Share

05 Your Smile

Sakha berdiri di samping Liana yang sedang melemparkan pakan ikan ke kolam.

"Aku cariin, ternyata kamu di sini."

"Untuk apa kamu mencariku? Mau memberi kata-kata motifasi ke aku? Aku tidak  perlu." Liana tetap pada dirinya yang angkuh. Dia merasa dirinya masih hebat, dia berada di atas Sakha sehingga dia bisa berkata semaunya. Meskipun tidak tahu jika ke depannya rencana mereka malah membuat mereka terjebak.

"Aku gak punya kata-kata motifasi, kamu tau kan berantakannya hidup aku, sampai aku harus ada di sini jadi pacar bohongan kamu." Sakha mencoba mengalah, jika melawan Liana dengan emosi sama saja menghancurkan rencana mereka.

"Terus untuk apa kamu ke sini?" tanya Liana.

"Ya kamu pikir saja, kalau aku tetap di sana malah aku yang  terjebak di sana, lebih baik aku pergi. Belum lagi kalau Papa kamu marah lalu aku tidak bisa nyela, dan akhirnya aku yang mendengarkan kemarahan Papa kamu."

"Oh, jadi kamu tidak mau mendengarkan Papaku?" Liana melirik Sakha dengan tajam.

"Tentu saja tidak, kamu saja pergi, lalu apa gunanya aku di sana." Nada bicara Sakha yang kesal, mengundang tawa Liana.

"Kamu memang tidak berguna." Tawa Liana semakin pecah, benar sekali tawanya Liana malah menjadi aneh untuk Sakha. Selama bertemu dengan wanita itu, belum sekalipun Sakha melihat Liana tertawa atau tersenyum. Kalaupun tertawa dan tersenyum, auranya pasti menjadi jahat.

"Kamu udah berapa lama tidak ketawa?" tanya Sakha.

Pertanyaan Sakha sontak membuat Liana bungkam. "Memangnya kenapa? Kamu jangan sok peduli padaku." Kembali lagi judesnya. Wanita itu kembali ke mode menyebalkan lagi, dia selalu berkata kasar dan menyakitkan.

"Kamu seperti lagi berusaha untuk ketawa dengan tulus." Tangan Sakha terulur untuk mengusap ekor mata Liana, ada air mata di sana, sontak Liana menepis tangan Sakha.

"Kamu tidak perlu tahu urusanku. Satu lagi, kamu jangan sembarangan menyentuh wajahku, menjualmu saja tidak cukup untuk perawatan wajahku, tanganmu itu tidak steril, jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotor lagi." Liana meletakan pakan ikan yang ada di tangannya kembali ke tempat seharusnya. Lalu dia berjalan menjauhi Sakha dengan kesal, hanya karena masalah Sakha menyentuh wajahnya.

Alis Sakha mengernyit, kenapa wanita itu menyebalkan sekali, Sakha hanya reflek menyeka air mata di ekor matanya, lalu dengan tidak tahu diri, wanita itu memarahinya.

Jika tidak punya tanggung jawab dan keinginan hidup lebih lama di dunia ini, Sakha dengan senang hati menyerahkan dirinya di makan oleh serigala kutub dari pada berhadapan dengan wanita bertempamen buruk itu.

Sakha memejamkan matanya, dia berusaha untuk tenang sebelum menghadapi Liana lagi, butuh banyak pasokan kesabaran untuk bisa menghadapi Liana tanpa emosi yang menggebu.

"Kamu mau aku ajari tersenyum, tidak?" Sakha berjalan di belakang Liana, sesekali mencondongkan tubuhnya di samping Liana.

"Kamu pikir aku orang bodoh yang tidak bisa tersenyum? Bahkan bayi tidak perlu diajari untuk tersenyum," ketus Liana.

"Senyum tuh enak loh, rasanya lega. Kamu juga lebih cantik kalau tersenyum."

"Tanpa senyum juga wajahku cantik, tidak perlu susah payah mengajari ku." Baru berapa hari bersama Liana saja Sakha sudah hampir mati kesal, dia adalah wanita yang sulit di tabak, sebentar dia baik, tapi lebih banyak menyebalkan nya.

"Ayolah, kamu pasti bisa tersenyum, aku yakin semua mantan pacarmu akan memohon untuk kembali bersama saat melihat senyum kamu."

Liana menarik bibirnya seolah-olah ingin tersenyum, lalu dia kembali membekukan wajah jahatnya. "Jika itu terjadi, aku tidak akan tersenyum sampai mati."

"Sudahlah, kamu tidak perlu mengurusiku, kembali saja ke kamarmu untuk mencari lowongan pekerjaan baru, waktu kita hanya tinggal 6 hari lagi." Liana mencuci tangannya di keran.

"Tunggu sebentat, aku cuma mau berterima kasih dan membantu kamu. Kamu kan sudah memberi solusi untuk melunasi utang keluarga aku, ya sekarang aku kasih solusi bahagia buat kamu," ucap Sakha.

"Emangnya hidupmu sudah baik?" tanya Liana sambil menelurusi Sakha dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan meremehkan, semua yang dia pakai adalah pinjaman dan itu menggambarkan betapa menyedihkan Sakha.

"Mungkin saat ini tidak baik, tapi ada sedikit kebahagiaan yang pernah aku rasakan." Sakha terlihat senyum sambil memandang vegetasi di depannya. Meski mendapat tatapan meremehkan dari Liana, tapi Sakha merasa lebih beruntung dari hidup Liana dan dia merasa menang dari Liana.

"Jangan pedulikan aku. Kalau kamu cuma kasihan. Saya gak butuh kasihan dari siapa-siapa. Cari orang lain saja untuk kamu kasihani." Ada sedikit rasa senang saat ada orang yang peduli padanya, tapi Liana enggan mengharapkan itu, karena dia takut terluka.

"Bener juga kamu. Lagi pula aku cuma bisa dekat denganmu kalau hutang aku masih ada. Juga, kamu memang orang hebat yang sangat hebat hingga siapapun tidak bisa menggapai kamu," sindir Sakha. Ucapan Sakha itu membuktikan bahwa sulit bertemu orang yang benar-benar peduli pada orang lain.

"Bener. Setelah pernikahan Alena, kamu tidaj perlu khawatir lagi dikejar utang, aku akan menganggap semuanya lunas."

"Semudah itu?" tanya Sakha.

"Ya... Semudah itu. Aku punya segalanya, aku bisa mengatur semuanya dengan mudah, bahkan mengatur rencana pembunuhanmu dengan rapi juga aku bisa."

"Gimana kalau aku tidak mau utang itu lunas." Pernyataan Sakha itu membuat Liana mengernyitkan darinya.

Liana tersenyum hambar, "aku baru bertemu dengan orang seperti kamu. Dimana-mana orang ingin utangnya lunas. Lah kamu malah tidak mau. Aneh..."

Sakha hanya tersenyum bingung, dia pun tidak tau kenapa dia berlagak seperti orang yang peduli pada orang lain, apa lagi Liana. Dia adalah dalang dari semua luka yang ada di tubuh Sakha saat ini. Belum lagi mental Sakha yang sedikit mengerut melihat orang-orang berbaju hitam di sekitar Liana.

"Balik sana ke kamar kamu, aku mau keluar," perintah Liana.

"Kamu mau kemana?" tanya Sakha.

"Ada urusan."

Liana langsung meninggalkan Sakha yang masih berdiri di sana.

Baru saja Liana menghilang karena berbelok, Sakha mendapati seorang gadis lain berada di belakangnya saat ia berbalik.

"Astaga!" Sakha memegangi dadanya karena Alena berada di belakangnya.

"Kak Sakha, sedang apa di sini?" tanya Alena dengan keramahan yang dia suguhkan.

Sakha juga bingung, karena sejak Liana pergi dia hanya diam menatap hilangnya Liana.

Gerak-geriknya tampak seperti orang kebingungan. "Oh iya, tadi mau memberi makan ikan."

"Gak cuma ganteng dan mapan, ternyata Kak Sakha peduli sama sekitar ya." Alena menatap Sakha dengan kagum.

Sakha menggaruk tengkuknya, merasa tidak enak karena menyebarkan kebohongan. Senyum canggung pun tercipta di bibir Sakha.

"Aku duluan ya Len, mau ke kamar," pamit Sakha.

Alena mengangguk, sambil menatap Sakha dengan kagum, meskipun sudah punya calon suami Alena masih berharap calon suaminya itu punya rasa kasih sayang yang besar dan suka memanjakannya. Sejak kecil hidup di kelilingi kasih sayang Alena juga ingin punya pendamping yang menyayanginya. Sayangnya dia bertemu dengan laki-laki kaku yang workaholic, meski begitu Alena mencintainya.

Sakha terbangun dengan suara langkah kaki yang lumayan kencang, membuat tidurnya terganggu. Kasur yang nyaman ini bahkan tak lagi nyaman saat sinar matahari masuk ke kamar ini.

Laki-laki itu mengerjapkan matanya, mendapati seorang gadis tengah menghadap ke arah luar di dekat jendela super besar itu. Angin pagi yang dingin menerpa wajahnya, serta mengurai rambut panjangnya.

"Liana." Suara Sakha membuat gadis itu berbalik.

"Kamu ngapain di kamar aku?" tanya Sakha.

Gadis yang menggunakan pakaian bagus itu berjalan ke arah Sakha.

"Siapa yang suruh kamu gak kunci pintu kamu."

Rasanya Sakha sedikit tersentil harga dirinya akan hal itu, untuk apa seorang laki-laki mengunci kamarnya. Dia pikir Sakha itu lelaki feminim.

"Aku cuma bercanda." Liana duduk di sofa yang ada di kamar itu.

Tangannya menggenggam sebuah gelas bening yang memperlihatkan air berwarna gold semu. Gelas yang khas itu membuat Sakha berpikir bahwa gadis itu meminum miras di pagi hari.

"Kamu pagi-pagi minum alkohol pagi-pagi?" tanya Sakha. Tentu saja Sakha mengira itu minuman keras, melihat bagaimana sifat dan perilaku Liana yang selama ini dia lihat.

Liana hanya tersenyum, sambil meminum air itu lagi.

"Aku ada pekerjaan hari ini, kamu bisa istirahat seharian di sini," ucap Liana.

Rumah ini memang besar dan bagus, tapi Sakha tidak merasa aman di sini, dia di sini karena Liana, jika tidak ada Liana dia bahkan tidak ingin ke sini.

"Aku kan pacar kamu, kalau di sini gak ada kamu, aku ngapain di sini?" Sakha tidak mau di tinggal di sini. Dia hanya merasa tenang saat dekat Liana. Tentu saja karena mentalnya terguncang karena ternyata dia tinggal dikelilingi oleh orang-orang kejam yang membunuh dengan mudah.

"Kenapa kamu seperti wanita," ejek Liana.

Jujur saja, tadi malam Sakha tidak sengaja melewati salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Bodohnya, Sakha malah penasaran dengan apa yang ada di dalam sana, akibatnya kaki Sakha gemetar melihat darah yang mengalir di lantai dengan pistol peredam yang mengacung ke arah manusia yang setengah mati itu.

Dari pada membicarakan itu pada Liana, Sakha hanya memilih diam untuk menjaga harga dirinya.

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status