Liana mengamati sebuah akuarium kaca kecil yang berisi kelomang yang pernah dia bawa bersama Sakha. Beberapa sudah mati karena terlaku sering ditiup agar keluar. Yah, padahal Liana sangat menyukai mereka.
Hewan saja jika rumahnya tidak nyaman mereka akan pergi mencari tempat nyama yang lainnya. Kenapa Liana tidak bisa.
"Oh My God! Girl... What u do?" Seorang wanita mix Korea-Amerika itu datang sambil membawa banyak belanjaan ditangannya.
"Kenapa rumahmu yang kecil ini sangat kotor," ucapnya sarkas. Wanita itu meletakan belanjaannya di atas meja.
"Kenapa datang?" tanya Liana.
"Sejujurnya aku juga tidak mau datang, tapi my honey bunny sweety darling menyuruhku menjenguk temannya yang tidak tahu diri ini," ucapnya masih dengan nada dan kosa kata yang sarkas.
"Ya sudah sana pergi. Aku juga muak dengan mulutmu yang berbisa itu." Sejujurnya, keduanya sama-sama berbisa t
Sebut saja Liana sudah gila, dia membuang uang ratusan juta untuk membeli sebuah tempat yang tidak sesuai dengan bidangnya. Wanita itu membeli sebuah restoran dengan harga mahal tanpa melihat aspek-aspek yang mungkin menguntungkan atau merugikannya. "Aku pikir kamu memang benar-benar gila." Cakra sampai tidak percaya Liana melakukan hal ini setelah dia memberikan apa yang Liana mau beberapa hari lalu. "Memangnya kenapa? kamu tidak pernah diperjuangkan sebegitunya oleh seorang wanita? bilang saja kamu iri." Kekeh Liana. Cakra hanya menggelengkan kepalanya, beberapa laki-laki di dunia ini tidak ingin wanita yang dicintai lebih tinggi kedudukannya. "Kamu yakin, dia bakal kembali lagi bersama kamu?" tanya Cakra. Liana mengangguk mantap, sebisa mungkin wanita itu mengharapkan suatu kejadian baik menghampirinya. Sakha baru saja datang untuk bekerja hari ini. Penampilan sederhana
Laki-laki tinggi dengan telinga lebar itu menatap Liana dengan tatapan aneh. Melihat penampilan gadis itu yang sangat berbeda dari biasanya. Gadis itu berputar-putar di depan kaca sambil melihat bagaimana penampilannya dengan baju yang kemarin dia borong melalui pegawainya. "Bagaimana? Apa baju ini cocok denganku?" Rok tenis dipadu dengan kaos cerah. Liana menghadap ke arah Cakra dan meminta pendapatnya tentang apa yang ia kenakan saat ini. "Tidak. Kau bukan bocah SMA lagi. Tidak cocok, cari saja yang masuk akal." Cakra hanya tidak ingin temannya itu bersikap aneh-aneh. Meskipun gadis itu masih cocok mengenakan pakaian yang dikenakan. "Lalu apa?" Gadis itu tampak frustasi untuk mix and match pakaian baru yang dia miliki.
Cahaya itu mengusik tidur sang gadis, tangannya mengulur mencari-cari benda persegi panjang nan tipis yang biasanya ada di sampingnya. Kamar ini pun tak tampak seperti miliknya, hawa panas yang sangat kentara di tambah banyaknya sinar matahari yang masuk membuat gadis itu tak nyaman."Mencari ini?" Suara yang pernah dia idamkan hadir saat baru bangun tidur itu kenapa terasa nyata kali ini. Sampai sentuhan menyadarkan gadis itu kalau memang keadaan ini nyata."Good morning." Sakha menyerahkan ponsel Liana."Sakha!" Sontak gadis itu bangun saat matanya dengan sadar melihat sosok laki-laki tampan itu."Yes, it's me."Seketika bayangan-bayangan saat dia tertawa seperti orang bodoh, menangis bahkan berkata merendahkan dirinya sendiri melintas di otaknya. "Astaga!"Rasa malu melebihi harga dirinya, dia merasa orang paling bodoh sedunia namun disaat yang bersamaan dia merasa aman karena Sakha lah orang yang membawanya.
Ketukan high heels itu menandakan seorang wanita tengah berjalan. Irama yang santai dan juga elegan itu membuatnya tampil seperti wanita yang berkelas. Wanita dengan setelan hitam, bibir berwarna merah, juga kacamata hitam yang besar hampir menutupi sebagian wajahnya. Tangannya terulur meminta sesuatu. Anak buahnya terlihat memberikan sebatang rokok padanya. "Jadi dia orangnya?" tanya wanita itu. "Yes, Liana." Benar, nama wanita itu adalah Liana, lebih tepatnya adalah Liana Rodriguez. Seorang anak penguasa terkenal di negara ini dengan kelihaian dalam berkelahinya yang sulit ditandingi. Melihat seorang pria yang terkapar lemas, dengan memar yang ada di sekujur tubuh dan juga wajahnya itu membuat Liana sedikit kasihan. "Tolong saya..." Tampak pria itu masih sadar, dia masih sanggup untuk meminta tolong pada Liana. "Just pay your debt, an
Liana harus memutar otaknya, bagaimana dia bisa bertemu dengan pria dengan cepat agar bisa dibawa ke pernikahan Alea. Tidak mungkin Javas, karena orang tuanya tahu, hubungan Liana dan Javas sudah seperti kakak adik, belum lagi kebenaran kalau Javas sudah memiliki kekasih.Meskipun Liana ingin tidak datang ke pernikahan adiknya, dia selalu memikirkan apa yang diperintahkan oleh orang tuanya, seakan pikirannya sudah disetting untuk datang bersama seorang laki-laki dan memeperkenalkan pada orang tuanya itu menjadi kalimat wajib yang harus dia kerjakan."Mikirin apa kamu?" Seorang pria masuk ke dalam apartement nya tanpa permisi itu sudah biasa, selain anak buahnya, pria ini juga mendapat akses bebas di sini."Mau tahu saja." Liana tampak lebih santai dari pada yang kalian bayangkan diawal. Karena Liana punya prinsip, penampilan akan menunjangnya untuk bersikap lebih kejam lagi."Bilang saja padaku, mana tahu
"This is your room." Liana menunjukan salah satu kamar yang ada di bagian apartement nya."Apa kamu tinggal di sini juga?" tanya Sakha."Ya. Memangnya kenapa?" Liana tampak malas melakukan komunikasi, tapi dia harus melakukannya agar semuanya berjalan dengan lancar."Kamu tidak takut jika aku melakukan sesuatu padamu?" tanya Sakha."Sebelum itu terjadi, tulang rusukmu akan patah hingga menusuk ke organ dalam milikmu," ketus Liana.Sakha yang menyadari itu langsung memegang dadanya, seolah merasakan jika tulang rusuknya akan patah dengan semengerihkan itu, ekspresinya pun mendukung."Masuklah."Wanita itu meninggalkan Sakha sendirian di kamar ini."Pantas saja dia tidak punya pacar, memangnya siapa yang tahan dengan psikopat sepertinya."Sakha melempar tubuhnya untuk merasakan kasur. Setengah bulan ini dia tidak bisa tidur n
Liana dan Sakha berhasil sampai ke pavilliun milik keluarga Liana dengan selamat. Sakha menatap bangunan ini dengan kagum. Seumur-umur dia hanya bisa melihat bangunan dengan 1 keutamaan, misalnya kemewahan, tapi tidak dengan keindahan alam yang alami atau sebaliknya. "Ini rumahmu?" tanya Sakha. "Bukan." "Lalu untuk apa kita datang ke sini?" tanya Sakha heran. "Are you 31 years old? Kenapa pemikiranmu begitu sempit," ejek Liana. "Maksudmu aku bodoh?" Sakha tidak terima dengan hinaan itu, dia laki-laki dan dia tidak ingin direndahkan apa lagi dengan seorang wanita. "Bukan aku yang bilang." Liana berjalan mendahului Sakha. Perdebatan bodoh akan segera terjadi dari mulut Sakha yang ternyata sangat berisik. "Apa hak kamu menghinaku? Memangnya kamu tidak pernah tahu ya, merundung itu bisa berdampak buruk bagi korban." Sakha masih tidak terima den
Sakha berdiri di samping Liana yang sedang melemparkan pakan ikan ke kolam. "Aku cariin, ternyata kamu di sini." "Untuk apa kamu mencariku? Mau memberi kata-kata motifasi ke aku? Aku tidak perlu." Liana tetap pada dirinya yang angkuh. Dia merasa dirinya masih hebat, dia berada di atas Sakha sehingga dia bisa berkata semaunya. Meskipun tidak tahu jika ke depannya rencana mereka malah membuat mereka terjebak. "Aku gak punya kata-kata motifasi, kamu tau kan berantakannya hidup aku, sampai aku harus ada di sini jadi pacar bohongan kamu." Sakha mencoba mengalah, jika melawan Liana dengan emosi sama saja menghancurkan rencana mereka. "Terus untuk apa kamu ke sini?" tanya Liana. "Ya kamu pikir saja, kalau aku tetap di sana malah aku yang terjebak di sana, lebih baik aku pergi. Belum lagi kalau Papa kamu marah lalu aku tidak bisa nyela, dan akhirnya aku yang mendengarkan kemarahan Papa kamu."