Share

06 Killer

"Kamu sedang apa di sana?" Suara bariton milik tuan Ronald itu membuat Sakha  berbalik dan tersenyum ramah sebisa mungkin.

"Liana sedang pergi. Jadi saya iseng lihat-lihat sekeliling Om," jelas Sakha. Dia sedikit ciut di hadapan tuan Ronald, dengan wajah bule itu dia terlihat lebih seram.

"Kenapa tidak ikut dengannya?" tanya Ronald.

"Dia melarang saya," jawab Sakha, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ya, dia merasa tidak enak saja, seperti lepas tanggung jawab sebagai laki-laki.

"Kamu tidak perlu khawatir, dia gadis yang pandai menjaga diri. Kamu sudah makan?" Pria berparas bule itu jauh lebih bersahabat sejak mereka terakhir bertemu.

"Udah Om, tadi Liana menyiapkan saat dia mau pergi."

Ronald tersenyum, lalu menepuk bahu Sakha. "Saya harap, kamu orang yang tepat untuk Liana."

Sakha mengangguk canggung, bagaimana jadi orang yang tepat, Sakha sendiri adalah pacar sewaan Liana. Semua kendali ada di tangan Liana. Dia hanya pengikut yang menuruti apa yang Liana perintahkan.

Untungnya ini hanyalah sementara, jadi Sakha masih bisa menahan rasa sakit karena harga dirinya turun drastis di depan Liana.

Suara tembakan saling bersautan, misi terakhir sebelum pernikahan Alena. Liana harus menghabisi rekan yang berhianat pada aliansi ayahnya.

Sekali menarik pelatuk Liana berhasil melumpuhkan 1 orang dari pihak musuh, dia bersembunyi di balik tiang besar basement.

Rasa takutnya terhadap suara tembak kian memudar saat dia mendapat pelatihan yang keras oleh ayahnya. Dia mengerti bagian mana saja yang bisa membuat musuh lumpuh dengan cepat.

Setelah berhasil melumpuhkan pertahanan awal, mereka berpencar untuk mencari bos dari aliansi kecil ini.

Sejak tadi Sakha merasa tidak tenang, dia terus memikirkan Liana, kemana gadis itu pergi, apa yang dia lakukan, banyak pertanyaan yang berputar di kepala Sakha.

"Apa kamu tau kemana Liana pergi?" tanya Sakha pada salah satu penjaga rumah ini.

"Memangnya kamu gak tau? Liana itu suka membunuh, mungkin dia sedang menghabisi musuh Papa sekarang." Bukan penjaga itu yang menjawab, melainkan Alena. Dia suka muncul tiba-tiba dan membuat Sakha kaget.

Kejadian tadi malam kembali melintas di pikirannya, kenapa di jaman serba canggih dan hukum dimana-mana seperti ini, masih saja mereka dengan mudah menghilangkan nyawa orang dengan mudah.

Belum lagi ingatan Sakha berputar ketika dia hampir mati dikerjai oleh orang-orang di bawah perintah Liana. Jadi Sakha percaya saja kalau Liana itu bisa membunuh orang, wanita tidak berperasaan itu mungkin bisa membunuh orang, tapi Sakha tidak yakin kalau Liana "suka" membunuh.

"Kamu jangan aneh aneh Len, dia itu Kakak kamu. Masa sih dia suka begituan." Sakha tersenyum canggung menanggapi ocehan Alena. Walaupun dia sadar, kalau Liana bisa saja membunuh orang. Mengesampingkan rasa takutnya Sakha menyadari kalau keluarga ini jauh dari kata harmonis.

"Liana itu suka membunuh perasaan orang lain, aku tahu kalian bukan pasangan, jadi kamu jangan menaruh perasaan dengan Liana, kalau kamu tidak mau sakit hati," ucap Alena sambil melipir pergi.

Sakha menatap Alena yang semakin menjauh lalu mengalihkan pandangannya pada frame dengan foto Liana di sana.

"Haha... Tidak mungkin aku suka sama dia," tawa Sakha semakin miris karena menyadari apa yang dia rasakan. Sakha sangat menyangkal hal itu, dia tidak mau berurusan lebih dalam lagi dengan pembunuh seperti keluarga ini.

Keinginan Sakha dan kehendak Tuhan saling bertolak belakang, karena sejak pertama kali Sakha melihat tawa Liana, dia seperti tertarik masuk ke dalam cerita Liana, dia ingin semakin dalam masuk ke dalam cerita milik wanita itu.

Sepertinya banyak hal-hal menarik yang ada pada Liana namun harus terkubur dalam wajah dan sikap dinginnya.

Semakin Sakha menyangkal dia malah semakin ingin tahu banyak dari wanita yang hampir membuatnya mati itu.

"Ada apa di foto aku? Sampai kamu tidak sadar kalau aku datang." Suara khas yang dinginnya menusuk itu membuat Sakha kehilangan fokus dalam lamunannya.

"Well, aku tahu aku cantik, tapi tidak perlu memandangiku seperti itu lewat foto, karena kamu bisa melihat yang original di depanmu." Narsisme juga menjadi ciri Liana yang menyebalkan, wanita itu punya banyak hal menyebalkan pada dirinya.

"Kamu dari mana sih?" tanya Sakha sewot, sejak tadi dia hanya berputar-putar rumah ini tanpa tujuan.

"Kan aku sudah bilang tadi, kamu saja yang tidak mendengarkan aku." Liana mendahului Sakha untuk keluar dari ruangan ini.

Mata Sakha yang jeli itu melihat sesuatu yang aneh pada gaun hitam milik Liana, tepatnya di lengan sebelah kanannya.

"Liana!" Panggil Sakha, laki-laki itu buru-buru mendekati Liana yang berhenti. Wanita itu menatap Sakha dengan alis yang naik sebelah.

"Ada apa? Kamu butuh apa lagi?" Liana berbalik, betapa kagetnya Liana melihat tatapan Sakha yang begitu khawatir, dia mengikuti arah pandang Sakha yang menuju lengannya.

Wanita itu menghela nafas kesal. "Sialan." Umpatnya.

"Lengan kamu berdarah." Sakha panik, dia menarik tangan kiri Liana untuk mengikutinya.

Sesaat Liana terbuai dengan rasa khawatir yang Sakha tunjukan untuknya, sebelumnya dia tidak pernah merasa begitu beruntung karena memiliki seseorang yang peduli padanya, bahkan keluarganya.

Sakha mengambil kotak pertolongan pertama, membersihkan luka Liana dengan perlahan. Sesekali dia meniup luka itu padahal Liana sama sekali tidak merintih kesakitan.

"Kamu tidak tahu rasa sakit ya? Dari tadi diam terus," omel Sakha. Kenapa dia begitu manis dengan omelan yang keluar dari mulutnya itu, pikir Liana.

Liana hanya terkekeh melihat Sakha yang begitu khawatir padanya, dia sadar bahwa ini tidak akan bertahan lama, karena simpati Sakha itu akan berakhir jika Sakha melihatnya membunuh orang di depan mata laki-laki itu.

"Kenapa kamu ketawa begitu?" Sakha menutup lukanya, membuatnya aman.

"Kamu lucu, bahkan kita tidak dekat, kenapa begitu khawatir denganku?" tanya Liana. Lalu menurunkan lengan gaunnya.

"Sesama manusia harus punya rasa peduli. Manusia itu saling membutuhkan, jadi kamu jangan sungkan untuk minta bantuan aku." Liana terhenyak dengan jawab Sakha. Sakha menyadari jawabannya itu sangatlah bodoh, dia juga belum paham kenapa dia tertarik pada Liana.

"Jawaban kamu sangat standar," ejek Liana.

"Memangnya kamu mau jawaban yang gimana? Jawaban yang bilang aku membantu kamu karena aku suka sama kamu gitu?" Cibir Sakha.

"Mungkin..." Liana tampak berpikir dan menjeda pekataannya. "Tapi, itu kan tidak mungkin." Liana tertawa ringan lagi.

Liana dan Sakha sedang berada di luar, mereka memutuskan untuk membeli beberapa barang selama tinggal di rumah itu.

"Alena kan mau nikah tuh, memangnya kamu tidak memberi hadiah padanya?" tanya Sakha.

"Hadiah? Memangnya itu perlu? Setiap saat dia dapat hadiah dari Papa."  Liana memilih barang yang dia inginkan. Terlahir di keluarga kaya raya, Liana sulit membedakan mana barang yang dia inginkan karena nafsu dan barang yang di butuhkan, semuanya dia anggap sama. Apapun yang dia suka semuanya akan masuk ke dalam keranjang belanjaan.

"Ya perlu lah, memangnya kamu tidak pernah datang ke acara pernikahan orang lain?" Sakha menatap barang-barang di dalam troli yang dia dorong.

"Dia sudah punya banyak hadiah, aku mau datang ke rumah itu saja sudah bagus, tidak perlu hadiah," ketus Liana.

"Ya setidaknya kamu memberikan ucapan selamat untuk mereka."

Liana tidak peduli, dia melanjutkan memilih barang yang akan dia beli karena suka.

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status