Sonia berjalan mondar-mandir dengan bibir merahnya yang ia gigit. Wajahnya seperti menahan sesuatu. Sesekali kakinya ia hentakkan ke lantai.“Setan apa yang merasuki keponakanku, sampai dia mengatakan hal seperti tadi?” tanyanya geram.“Safir, awas saja wanita jalang itu, nggak akan aku biarkan hidup bahagia di sini.”Sonia mengambil ponselnya di atas nakas, tangannya bergulir mencari kontak seseorang. Dengan cepat, ia menekan tombol Calling, hingga terdengar suara dari seberang.“Cepet ke kamar Ibu!” titahnya. Ternyata Sonia menelpon anaknya sendiri. Ia terlalu malas untuk memanggil langsung ke kamar putrinya yang berada di lantai dua paling ujung itu.“Apa sih Bu? Aku udah ngantuk ini, mau tidur,” keluh Emira yang sudah memakai piyama tidurnya. Wajahnya putih seperti tepung karena masker wajah yang ia kenakan.“Kei mengusir Ibu.”“Hah? Mas Kei, ngusir Ibu? Gimana bisa?” Emira memelototkan matanya. “Gara-gara jalang itu. Dia pasti ngadu sama Kei.”“Astaga Bu, kita nggak bisa biarin
Safir terus terngiang perkataan dokter tadi. Ia melirik ke arah sang suami yang masih fokus menyetir. Namun, kembali ke arah lain saat menyadari Kei menoleh ke arahnya.“Kenapa?” tanya Kei.Safir menggeleng. Ia tidak ingin membahas apapun dengan suaminya. Tiba-tiba ia merasa malu. Jangan sampai, anaknya meminta hal aneh-aneh dan membuat dirinya mati kutu di depan Kei.“Ya Allah, ngiler aku ngeliat rujak.” Safir menggigit bibirnya begitu melewati deretan penjual di pingir jalan. Dan yang menjadi fokus perhatiannya adalah penjual rujak.“Kenapa berhenti?” tanya Safir begitu Kei menghentikan laju kendaraannya.“Kamu pengen rujak?”“Hah? sejak kapan? Nggak.” Safir berkilah, ia membuang wajah ke samping. “Kamu mau ngajarin anakmu pinter bohong huh?” pertanyaan tajam dan pedas itu mengusik Safir, ia menoleh dengan cepat ke arah Kei. “Ibu mana yang tega ngajarin anaknya yang nggak baik?” sentaknya dengan suara naik satu oktaf. Kei mengerti, sang istri mendadak emosi.“Aku cuma tanya tadi.
Sonia menggeram seperti kerbau yang kebelet buang air. Bibirnya tampak menggerutu. Kejadian beberapa menit lalu membuat wajahnya benar-benar malu, apalagi Kei mengabaikannya. “Emira, kenapa kamu cuma diam aja tadi huh?”“Habisnya Emira takut, kalau ada Mas Kei," cicit Emira dan langsung duduk di ranjang sang Ibu.“Tapi ‘kan setidaknya kamu cari cara biar Safir yang disalahkan. Ini, Ibu yang malu dan Kei pasti benar-benar akan mengusir kita.”“Tenang aja Bu, nggak bakal. Kita berlindung di bawah Mas El.”“Ini rumah Kei, bukan rumah El.”“Tapi ‘kan, siapa yang tau di masa depan rumah ini akan jatuh ke tangan Mas El.”“Aku harap gitu. Tapi nyatanya, pria playboy itu sibuk dengan wanita-wanita di luar sana. Bagaimana bisa ngelola perusahaan. Aku udah sakit kepala rasanya. Em, kapan kamu selesaikan tesismu? Cepatlah terjun ke perusahaan."“Masih proses Bu. Sabar, hanya menunggu waktu aku bisa menduduki posisi menejer perusahaan.”“Iya kalau Kei ngasih kamu jabatan itu.”“Mas Kei pasti nga
Safir meringis sendiri saat melihat tampilan Mie kuah buatan suaminya. Padahal, beberapa menit lalu dirinya merasa menggebu-gebu ingin menikmati makanan yang terbuat dari adonan tepung dan tanpa serat sama sekali itu. Tapi kini, entah mengapa selera makannya hilang.“Makan.” Suara baritone Kei terdengar memerintah. Pria itu bersidekap dan menatap mangkok Mie dan istrinya bergantian.“Tiba-tiba aku kenyang,” aku Safir jujur. Ia tidak ingin jika memaksakan makan, khwatirnya malah menuangkan isi perutnya keluar.“Aduh anakku, ayolah. Jangan buat Ibu malu,” batin Safir dalam hati. Ia menunduk saja karena ia merasa benar-benar tidak ada minat lagi. Mungkin dedek yang didalam tengah mencoba membuatnya malu.Sedangkan Kei menggeram tertahan. Matanya memicing ke arah istrinya.
Safir termenung di halaman belakang yang memperlihatkan betapa luas hamparan rumput nan hijau yang bisa di gunakan sebagai lapangan golf. Juga kolam renang yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Suara merdu air mancur menenangkan telinganya. Aroma anggrek bulan menyeruak melalui hidung mancungnya. Perlahan, tangannya mengusap perut. Ketika sendiri, selalu saja penyesalan datang. Hatinya tak pernah urung menangisi masa lalu. Jika saja, dirinya tidak bertemu El. Jika saja, dirinya tidak mudah percaya pada Edward. Jika saja, ah sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Rintik gerimis terlanjur jatuh. Semuanya, tidak akan pernah bisa berbalik lagi.Safir berdiri dari posisi duduknya. Kakinya terasa gatal untuk menyentuh air kolam yang membiru. “Wah, enak ya. Serasa jadi nyonya besar di rumah. Cuma santai-santai, dapat duit, makan enak, nggak usah kerja.” Suara seseorang yang muak untuk ia dengarkan. Safir abai saja membuat Sonia mengepalkan lengan.“Heh!” Sonia membalik tubuh Safir dengan kasa
Sebuah ruangan berpendingin itu semakin panas, saat seorang wanita dengan rambut blonde miliknya mencoba menggoda seorang pria. Tangan nakal wanita itu menjulur dan mengusap pelan wajah sang pria, namun dengan segera pria yang tak lain adalah Keiji Salim Yamamoto menepis lengan Fika, wanita yang rela menjajakan dirinya kepada seorang pengusaha kaya.Padahal, rencananya ia tidak ingin datang ke kantor. Tapi, laporan dari Sam membuatnya terpaksa harus ke sana dan menemui seseorang yang –ah jika boleh menyebutnya ular genit- mungkin Kei akan menjulukinya demikian.“Hehe.” Fika meringis karena tangannya di tepis dengan kasar. “Kamu nggak rindu belaianku Mas?” tanyanya.Kei tersenyum dingin, mata elangnya menatap tajam ke arah Fika – yang katanya teman Safir, walau ia meragukannya- melihat kelakuannya yang berani saat ini.“Jangan hinakan dirimu di hadapan seorang pria Fika!” gertak Kei. “Ka
Wajah Safir sudah memucat, bahunya bergetar. Ia takut, jika yang tengah berdiri di belakangnya adalah Edward atau Elan, dua pria yang sangat dibencinya hingga ubun-ubun. Ia menoleh, mulutnya sedikit terbuka begitu melihat siapa yang tengah menatapnya tajam.“M-mas, gimana bisa kamu?” Safir mengernyit bingung, ia tidak memberitahu pria ini bahwa dirinya berkunjung ke Bogor. “Disini?” lanjutnya.“Bodoh,” umpat Kei hingga telinganya begitu peka mendengar derap langkah mendekat ke rumah yang pantas di sebut gubuk tua itu. Dengan gerakan cepat, ia merengsek ke arah istrinya lalu membekap mulut itu dan seketika menyeretnya ke pintu belakang.“Mas, siapa tadi?” tanya Safir sedikit khawatir dan juga takut. Ia melihat wajah suaminya begitu tegang, walau sekian detik kemudian meluruhkan ekspresi itu.“Diem!” titahnya tak terbantah. Safir mengatupkan mulut, menahan nafas, dan mengatur detak jantung. Ya, saat ini organ tubuh yang letaknya di dada itu seperti tengah mengejeknya karena bergetar tak
“Nggak ada lagi yang berharga. Semuanya cukup terekam di sini,” ucap Safir mengelus dada, dengan nada melankolis. Membuat Kei berdecak.“Kamu bukan aktris, jelek akting kayak gitu.” Safir hampir saja memaki mulut yang sepertinya sudah di campur dengan Boncabe level tinggi itu. Tapi, ia sadar, itulah suaminya. Jadi-jadian entahlah. Semoga bukan jelman setan saja, karena kemarin Safir sempat mengira Kei adalah ustadz.“Kamu tau apa yang di cari Elan?” tanya Kei dengan tatapan mengintimidasi. Safir yang mengerti raut penasaran itu, segera membuang wajah dan berjalan ke arah kamarnya. Mengulur waktu untuk menjawab.“Mana ku tau. Aku aja kaget, dia datang ke sini. Untuk apa juga.” Safir berucap sambil membuka lemarinya alih-alih berkilah dengan kata-kata.Kei tidak bertanya lagi, memb