Share

Hukuman

“Kenapa kau menikahiku?” tanya seorang gadis lagi entah untuk ke berapa kali. Rasanya, mendengar jawaban dari pria berwajah sedatar tembok beberapa waktu lalu masih belum memuaskannya.

 

“Aku nggak suka ngulang perkataanku.”

Safir menghela nafas, tangannya memindahkan guling ke tengah-tengah, lalu ia menepuk-nepuk bantal dengan pelan.

 

“Hanya gara-gara anak ini?” Safir kembali bersuara, ia mengelus pelan perutnya yang masih rata. Kaca-kaca di bola matanya menggenang. Rasa sesal bercampur marah kembali menyeruak dadanya. Apalagi begitu siluet wajah seseorang berkelebat dalam pikirannya.

 

“Kenapa kau nggak membiarkan aku membuangnya?” Safir menyeka wajah. Kepalanya ia tolehkan ke arah jendela, tepat di mana pria yang sekarang berstatus sebagai nahkoda rumah tangganya berdiri.

 

Pria itu menoleh dengan tatapan yang menjurus langsung ke netra milik Safir. Ia berjalan ke arah meja dan menggesek tembakau miliknya yang tinggal setengah di sana. Bukan kebiasaannya menghisap benda itu, namun karena pikirannya yang mendadak kacau, ia menjadi seperti ini.

 

“Mas Kei, jawab!” desak Safir karena pria itu tak kunjung bersuara lagi dan malah merebahkan dirinya di ranjang dan menutup kelopak mata elangnya. “Kalau hanya karena anak ini, mari hentikan kekonyolan ini sekarang!”

 

Setelah mengatakan itu, Safir merutuki mulutnya sendiri. Bisa-bisanya ia membentak pria yang secara tidak langsung menolongnya itu. Dadanya bergemuruh dan ia kembali menyesali kebodohannya sendiri karena telah jatuh kepada pesona pria bernama Elan Yamamoto, adik dari suaminya saat ini

 

Elan atau biasa di panggil El, seharusnya pria itu yang mempertanggungjawabkan perbuatannya, tapi bejatnya, El malah kabur di hari pernikahan yang Safir sendiri entahlah menantikan atau tidaknya.

 

“Jadi, benar hanya gara-gara anak ini? Tidak ada yang lain?” Safir sadarlah, memangnya kamu mengharapkan apa dari pria bernama lengkap Keiji Salim Yamamoto ini?

 

“Ya.” Hanya jawaban singkat yang keluar dari mulut Kei. Matanya yang tadi terbuka, ia pejamkan. 

 

“Jadi, kau menikahiku hanya untuk menceraikanku Mas?” Suara Safir bergetar dan serak, jika memang kenyataannya demikian, maka wajarlah jika hatinya hancur lebur. Meski, ia tidak memiliki rasa apapun untuk Kei, tapi tetap saja pernikahan seumur hidup sekali itulah impiannya. Ia ingin menikahi seseorang yang mampu menerimanya hingga mereka tua dan mati.

 

“Aku pergi dulu.” Kei bangkit dari posisi rebahannya, matanya menatap jam dinding yang baru menunjukkan pukul delapan. Lalu, kakinya melangkah keluar kamar setelah menyambar jaket hitam yang tergantung di hanger kayu yang berdiri.

 

Safir menggigit bibir bawahnya dengan rasa sesak di dada. Tatapannya membeku seiring punggung tegap pria itu yang menghilang dari balik pintu. Pernikahan dengan Kai yang sebelumnya adalah calon Kakak iparnya, telah merenggut pula harapan terbesarnya. Kalau saja, El tidak pergi sesaat sebelum pernikahan, setidaknya ia mungkin bisa menjadi wanita yang bahagia. Ya, ia sangat mencintai Elan Yamamoto. Tapi, mengingat kelakuan bejatnya malam itu, rasa benci pun kembali hadir. 

 

Akhir-akhir ini, ia begitu akrab dengan kesunyian dan kesedihan. Selalu bergelut dengan kesepian dan rasa hampa. Dan kehadiran El seolah memberi warna dalam hidupnya, walau hanya sekejap sampai ternyata pria itu mencampakkannya setelah dirinya ternoda.

 

“Ya Allah, inikah hukuman bagi wanita pezina, sepertiku?” lirihnya dengan air mata sesal.

 

Suara ketukan pintu terdengar, membuatnya cepat-cepat menyeka bulir bening itu. Bibirnya terangkat dengan kaku, setelahnya melebar paksa. 

“Non Safir, makan malam sudah siap di bawah.” Seorang perempuan berumur tiga puluh tahunan berdiri dengan senyuman di ambang pintu. Ia adalah pembantu di rumah suaminya.

 

“Iya Bi Suti, saya akan segera turun,” ucap Safir dengan senyuman. 

 

Safir mengenakan jilbabnya lagi, lalu menuruni anak tanpa dan melangkah menuju ruang meja makan keluarga. Di sana, sudah ada beberapa orang yang sejak kedatangan awal ke rumah ini, memandang Safir dengan tatapan jijik dan meremehkan.

 

Di meja makan, sudah tertata rapi beberapa lauk pauk, juga buah-buahan sebagai pencuci mulut. Jarang sekali Safir menemui paket makan lengkap, empat sehat lima sempurna ini ketika di rumahnya. Ya, dirinya hanya seorang perempuan lulusan SMA, hanya tinggal bersama Neneknya, dan bekerja sebagai kasir di Alfamart di selingi dengan menjadi baby sitter anak tetangganya. Sesekali, jika ia memang butuh lebih banyak uang, ia akan merantau ke Jakarta untuk menjadi ART, namun hanya beberapa bulan, lalu kembali ke kampungnya lagi. Terus menerus seperti itu.

 

Sonia, wanita berumur empat puluh tujuh tahun dengan wajah bulat dengan make up tebal yang selalu menghiasinya itu berdecak begitu melihat kedatangan Safir. Tante Kei itu seketika menatap wanita yang menjadi istri keponakannya dengan tajam. Hingga Safir, akhirnya hanya bisa menunduk dan urung mengambil nasi walau perutnya sudah keroncongan minta diisi.

 

“Bisa-bisanya Kei nikahin wanita kampung seperti kamu? Heran aku.” Kalimat yang tidak ingin didengar Safir itu meluncur begitu saja dari mulut tante Kei. Entah sudah keberapa kali, pedang itu menusuk jantung Safir. Tapi, kali ini Safir tidak tahan untuk tidak membalas.

 

“Bukan aku yang minta dinikahi Mas Kei, Tante. Semua ini terjadi seperti kecelakaan dan tiba-tiba.” Nada suara Safir naik satu oktaf, membuat mata Sonia mendelik dengan dada yang bergemuruh hebat. Berani-beraninya, wanita kampung membalas ucapannya? Jalang sekali, batin Sonia.

 

“Akal bulus! Emangnya aku orang bodoh apa? Kei itu kaya. Bisa aja kamu ngerayu dia buat daper hartanya!” Hardik Sonia, lantas meminum air di gelas dengan dengan cepat seperti di kejar sesuatu.

Mulut Safir kembali terkatup, nafsu makan yang tadinya menggebu mendadak lenyap dalam sekejap.

 

Jendela besar yang terbuka dan menelusupkan angin dari luar ke dalam, bahkan tidak mampu membuat suasana di sana nyaman, tapi justru sebaliknya, tidak mengenakkan dan terasa panas. 

Mulut Safir seperti hendak mengeluarkan sesuatu karena rasa lapar yang saat ini terganti dengan mual. Ia menatap nanar semua makanan yang tersaji, mungkin inilah definisi walau banyak hal yang bisa kita raup di depan mata, tapi nyatanya tidak bisa pula membuat bahagia. Miris. Ya, karena bahagia letaknya di dalam sana. Hati.

 

“Udahlah Ma. Kita lagi makan, nggak usah bahas itu terus.” Nania sebagai anak kedua dari Tante Sonia menimpali. Wajahnya yang biasa datar itu, tampak merengut karena kesal dengan kelakuan sang Ibu yang merusak suasana meja makan.

 

“Kamu itu jangan belain dia Dek, bisa besar kepala nanti. Malah, bakal makin giat morotin Mas Kei!” sanggah Emira, sang Kakak yang duduk di sebelahnya. Matanya mendelik ke arah Nania membuat si empunya hanya menghela nafas.

 

“Bukan itu, Kak. Aku nggak mau selera makanku hancur aja.” Nania berlasan, karena toh berdebat dengan Emira, hanya akan membuatnya lelah. Kakaknya keras kepala dan sangat cerewet.

 

“Aku nggak gila harta seperti Tante!” Safir tiba-tiba menggebrak meja, ia mendongak menatap Sonia. “Jadi, tante tenang aja.” Kalimat berani itu tak tertahan lagi untuk keluar dari bibir ranum wanita itu.

 

Brak!

 

Sonia menghantamkan telapak tangannya ke meja, nafasnya terdengar kasar. Emira dan Nania seketika menghentikan suapan mereka. Meletakkan sendok yang sudah terisi, kembali ke piring.

 

“Jadi, kamu nuduh saya gila harta huh?!” bentak Sonia tidak terima.

Safir memilih mengabaikan pertanyaan Sonia, bibirnya terangkat sebelah sebelum tubuhnya berbalik dan meninggalkan meja makan.

 

“Heh, jangan pergi kamu!” tahan Sonia dengan suaranya yang menggema di ruang makan keluarga yang luas.

Safir berlari kecil menuju kamarnya dengan deraian air mata. Ia menghempaskan tubuhnya sendiri di atas ranjang, lalu menelungkupkan wajahnya ke bantal. Beginikah Allah menyiksanya? Mengapa, seolah semua orang tidak menerima kehadiran dirinya?

 

“Kamu kenapa?” suara bariton itu terdengar, namun Safir tetap dalam posisinya. 

 

Kei yang sudah keluar rumah tapi karena ponselnya tertinggal, kembali masuk ke kamarnya. Namun, ia melihat sang istri dalam posisi telungkup dengan bahu bergetar sambil sesegukkan. 

 

Tidak mendapat jawaban apapun, Kei berlalu dan berlari kecil menuruni anak tangga. Ia berpapasan dengan Bi Suti yang membawa nampan berisi lauk pauk dan segelas air putih. Ia dapat menebak, Bi Suti ingin mengunjungi kamarnya.

 

“Safir kenapa Bi?” tanya Kei.

 

“Anu Den, tadi non Safir cekcok sama nyonya," balas Bi Suti dengan kepala yang sesekali menunduk.

 

“Cekcok dengan Tante Sonia?”

 

“Iya Den.”

 

“Soal apa?”

 

“Bibi kurang tau Den, cuma denger kayak ada yang mukul meja. Terus, Non Safir naik ke atas sambil nangis.”

Kei mengangguk paham, wajahnya tetap datar. Namun, langkahnya pasti menuju kamar Tantenya. 

 

Sonia, sebenarnya sudah lama menumpang di rumah Kei. Bahkan biaya pendidikan Emira dan Nania semua ditanggung oleh pria itu. 

 

Klek

 

Suara pintu kamar terbuka saat Kei mengetuknya.

 

“Ada apa Kei?” tanya Sonia dengan alis tertaut. Suranya selalu lembut jika di depan pria itu.

 

“Apa yang Tante lakukan pada Safir?” tanya Kei datar dan seketika membuat Sonia memaki dalam hati. Berani-beraninya, si Safir mengadu pada keponakannya, batin Sonia geram.

 

“Hah? emang kenapa sama istrimu?” Sonia justru balik bertanya dengan wajah tersenyum. “Tante hanya …” belum sempat ucapan Sonia selesai Kei menyelanya.

 

“Kalau Tante nggak suka dengannya, Tante bisa angkat kaki dari rumah in.”

Seketika mulut Sonia terbuka lebar, matanya melotot dengan gelengan kepalanya yang cepat.

 

“Kei, maksudmu apa ngomong gitu?”

 

Kei hanya menatap datar Tantenya, lalu beranjak dari sana tanpa mengindahkan panggilan Tantenya lagi.

 

 

 

Mohon dukungannya untuk cerita ini dengan langganan, like, komen dan vote ya🤗

Terimakasih

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status