Dua hari terlewati oleh dua orang pasangan suami istri itu di Bogor dengan Safir yang merasa sangat bosan karena harus tinggal sendirian di hotel. Bagaimaana tidak, Kei lebih sibuk diluar daripada menghabiskan waktu bersama istrinya. Maklum, memang itulah tujuan pria itu ke kota ini. “Aku nggak bisa langsung pulang ke rumah,” ucap Kei begitu mobilnya berhenti tepat dihalaman rumah besar miliknya. Safir hanya mengangguk, tidak ingin menanyakan apapun. Lalu membuka seatbelt dengan kondisi wajah di tekuk. Saat hendak membuka pintu, lengannya ditahan. “Kamu kenapa?” tanya Kei. “Nggak papa Mas," balas Safir. Namun, wajahnya tampak di tekuk. “Jangan ajarin anakmu untuk bermuka masam," hardik Kei. “Emang kamu nggak?” Safir menaikkan satu aslinya, kini menatap sang suami kesal. Selalu saja yang jelek-jelek ditimpakan padanya “Emang iya?” Kei memindai wajahnya sendiri di spion tengah, mengusap-usap jambangnya yang tidak terlalu lebat. Safir tertawa melihat wajah polos Kei saat ini.
Benda persegi yang tergeletak di atas meja berbunyi, membuat konsentrasi Kei pecah seketika. Sam yang melihatnya hanya berdehem pelan, ia hafal kebiasaan Tuannya yang tidak suka di ganggu. Tapi kabar baiknya, Kei tidak pernah membabi buta atau melampiaskan amarahnya pada orang lain saat ia merasa kesal.Kei mengusap wajah dengan sambil menghembuskan nafas kasar. Matanya terlihat bertanya-tanya mengapa istrinya yang jarang memberi kabar kecuali penting itu menelpon. Ayolah, ini adalah perdana bagi mereka.“Kenapa?” tanya Kei setelah menjawab salam.Terdengar balasan dari seberang, "ada seseorang.”“Siapa?” tanya Kei mendadak wajahnya muram, ia merasakan suara sang istri bergetar.“Aku nggak tau."Kei menghembuskan nafas. &ldq
Kei membuang pandangan, telapak tangannya mengepal seraya membanting setir. Perkataannya barusan sungguh tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang pria yang mampu melindungi wanitanya. Inilah yang sedari dulu ia takutkan. Harus membahayakan satu orang belum lagi di tambah satu nyawa tak berdosa. Semua akan habis karena dirinya.Di persimpangan empat, ia belok ke kiri, memasuki sebuah komplek perumahan yang terlihat dari dekorasi bangunannya begitu menawan.Kei jalan cepat menuju kamarnya, tangannya membuka pintu dan terlihatlah sang istri sedang duduk meringkuk di ranjang. Semua jendela telah tertutup.Pria itu menghela nafas, menatap intens pada sang istri yang kini juga menatapnya.“Kamu nggak papa?” tanya Kei masih dalam posisi berdiri. Safir menggeleng, namun cairan bening di pelupuk matanya berjatuhan begitu saja.
Pukul dua belas malam, wanita dengan perut mengembang yang sudah terlelap itu harus terusik karena mendengar suara pintu yang tertutup walau pelan. Ia mengucek mata, melihat ke samping kirinya, namun sang suami sudah tidak ada. “Kemana Mas Kei?” tanyanya. Namun, matanya terbuka sempurna saat mendengar keributan di luar. Langkah kaki membawanya menuju jendela. Tangannya menyibak tirai, penasaran mau pergi kemana suaminya tengah malam begini. “Bawa dia.” Suara Kei menggema dalam kelam malam. Safir semakin menajamkan mata. Terlihat ada satu mobil lagi selain mobil sang suami. Dua orang berpakaian hitam tampak mencekal tubuh seseorang yang mata dan mulutnya sudah tertutup kain hitam. "Siapa yang di culik oleh Mas Kei?" batin Safir bertanya-tanya. Ia sudah menduga jauh-jauh hari. Suaminya yang misterius yang cenderung dingin itu pasti menyimpan suatu hal. Terbukti, peristiwa di depannya kini, tampaknya menjadi salah satunya. Safir masih fokus melihat kebawah hingga tak disadarinya seseo
Meja itu di gerbak dengan keras. Pria bernama lengkap Elan Yamamoto itu melepas kerah kemeja yang terasa mencekiknya setelah mendapat kabar bahwa anak buah kepercayaannya harus mati di tangan saudaranya.“Kei brengsek!” umpatnya. “Jangan sampai Alex tau.”“Baik Bos,” balas asisten pribadi Elan. “Suruh Fika ke ruanganku!”Seorang gadis dengan heels setengah jengkal masuk dengan gayanya yang berlenggak-lenggok. Senyumnya tak pernah memudar saat pintu terbuka menampilkan dirinya.“Ada apa sayang?” tanyanya dengan nada menggoda. Tentunya setelah asisten pribadi Elan pergi ke luar, karena bisa kepanasan jika menyaksikan aktivitas apa yang akan dilakukan keduanya di ruangan itu.“Aku rindu belaianmu,” balas Elan serak. Ia langsung merangkul pinggang wanita bernama Fika dan melemparnya ke sofa.Setelah aksi bejat mereka tuntaskan di ruangan yang seng
Kei memijat keningnya pelan. Masalahnya kini semakin rumit. Ancaman Aoshi terngiang di kepalanya. Peristiwa tadi pagi yang membuat darahnya mengalir deras, juga menambah rasa pening itu. Bagaimana tidak? Setelah ia menghanguskan seseorang tanpa jejak, namun yang di sebut 'Tuan besar' oleh Aoshi justru memintanya untuk meninggalkan sang istri.Safir, dianggap sebagai penghambat dirinya bekerja. Padahal, bukan itu alasannya. Hanya saja, jiwanya yang lain seolah memberontak. Ingin berhenti saja dari dunia hitam yang terus menerus mencengkeram dirinya.Haruskah ia melepaskan Safir saja? Membiarkan wanita itu membesarkan anak seorang diri tanpa suami di sisinya? Memberikan sejumlah kekayaan tanpa dirinya harus menjadi suami Safir? Pikiran itu, terus berkelebat. Mengetuk setiap kemungkinan, mulai dari buruk hingga terburuk.“Ini janjiku,&rdq
“Safir!” teriak Kei tajam. Ia mendorong tubuh Fika hingga terpelanting ke sofa.“Sialan!” makinya sebelum mengejar sang istri yang pastinya salah paham dengan adegan barusan.Melihat Kei yang begitu emosi, Fika tersenyum puas. Ia menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah telah selesai dengan pekerjaannya.Sam yang baru saja datang dari toilet hampir bertabarakan dengan Safir yang berlari tanpa melihat jalan. Ia tak sempat bertanya dan langsung pergi ke ruangan sang Bos.“Kamu liat Safir Sam?”“Tadi Ibu lari-lari.”Kei mendesah, menyugar rambutnya sendiri. “Kenapa kamu nggak bilang kalau dia bakal ke ruanganku?”“Maaf Pak, saya kira udah janjian sama Bapak
Mata Safir beralih menatap dua orang yang baru saja datang. Tatapan mereka tampak seperti ingin menguliti harga dirinya. Seolah, dirinya yang hina ini akan sangat tidak tahu diri jika memilih tetap bersama sang suami."Gara-gara kamu semua ini terjadi! kalau aja, sedari awal aku memilih menggugurkan saja anak ini, atau aku membesarkan sendiri tanpa campur tangan orang lain, mungkin rasa bersalah yang kualami tidak sebesar sekarang. Kamu, telah memberi harapan padaku, bahwa kita akan membesarkannya bersama-sama. Namun, hanya dalam sekejap, kamu meluluhlantakan asaku dan anak ini." Safir menghala nafas ngilu, bukan ini yang dia inginkan tapi, sakit yang dialaminya mungkin saja di masa depan akan lebih menyakitkan, jika ia tetap memilih egois. Kei hanya menyimak mendengar uneg-uneg sang istrinya. Hatinya juga perih mendengarnya. Tapi, ada sesuatu yang menahannya untuk membiarkan langkah apapun yang akan diambil Safir, ia akan menyetujui. Mungkin, wanita itu juga tersiksa berada di sisin