Share

Pemainan

Sonia menggeram seperti kerbau yang kebelet buang air. Bibirnya tampak menggerutu. Kejadian beberapa menit lalu membuat wajahnya benar-benar malu, apalagi Kei mengabaikannya. 

 

“Emira, kenapa kamu cuma diam aja tadi huh?”

 

“Habisnya Emira takut, kalau ada Mas Kei," cicit Emira dan langsung duduk di ranjang sang Ibu.

 

“Tapi ‘kan setidaknya kamu cari cara biar Safir yang disalahkan. Ini, Ibu yang malu dan Kei pasti benar-benar akan mengusir kita.”

 

“Tenang aja Bu, nggak bakal. Kita berlindung di bawah Mas El.”

 

“Ini rumah Kei, bukan rumah El.”

 

“Tapi ‘kan, siapa yang tau di masa depan rumah ini akan jatuh ke tangan Mas El.”

 

“Aku harap gitu. Tapi nyatanya, pria playboy itu sibuk dengan wanita-wanita di luar sana. Bagaimana bisa ngelola perusahaan. Aku udah sakit kepala rasanya. Em, kapan kamu selesaikan tesismu? Cepatlah terjun ke perusahaan."

 

“Masih proses Bu. Sabar, hanya menunggu waktu aku bisa menduduki posisi menejer perusahaan.”

 

“Iya kalau Kei ngasih kamu jabatan itu.”

 

“Mas Kei pasti ngasih. Dia sangat menyayangiku Bu.”

 

Di kamar, Kei melepas jasnya, lalu menaruhnya di keranjang tempat pakaian kotor. Badannya terasa lengket dan ia memutuskan untuk mandi walau jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Safir memijat keningnya yang tiba-tiba pusing. Lelah memikirkan semua hal yang masih mejadi teka-teki bagi dirinya. 

 

Hari-hari kemarin, ia memang sibuk berkabung atas kepergian Neneknya dan sudah mengikhlaskan jika tanah milik sang Nenek harus di ambil alih oleh Alexander grup dengan iming-iming dana untuk pembangunan jembatan yang terputus di kampungnya, juga pembangunan beberapa masjid. Walau nyatanya ia telah di tipu, tahu sendiri bagaimana sebuah perusahaan akan sangat bermulut manis dan mengumbar janji agar tanah bisa jatuh ke tangan mereka. Setelah itu, mereka bisa bebas mengelola.

 

 

Semua yang terjadi pada hidupnya, rumit dan membuatnya merasa benar-benar hina. Pertama, aset tanah milik Neneknya hilang begitu saja dan ia hanya sedikit mendapat kompensasi darinya. Kedua, ia kehilangan suatu hal yang berharga bagi dirnya sebagai seorang wanita, yakni kehormatan. Ketiga, ia harus dihina dan sindir setiap hari karena ia menikah dengan pria bernama Kei. Bukankah, selengkap itu penderitaan hidupnya? 

 

“Ini balasan untuk wanita pezina sepertimu.” Pikiran itu selalu hadir dan membuat Safir merasa dirinya adalah manusia yang paling berdosa di dunia.

 

“Astaghfirullah.” Safir memanjatkan do’a kepada Tuhannya setelah beristighfar dan memohon ampun atas segala dosanya. Siapa lagi yang mau mendengar keluh kesahnya selain penciptaNya sendiri. Teman? Safir tidak benar-benar merasa memiliki teman jika yang di sebut teman adalah Fika. Entah, ia masih meragukan. Suami? Entah sudah pantas atau tidak, ia menyebut pria itu suaminya. Pria bermulut pedas yang selalu menyindirnya. Nenek adalah keluarga satu-satunya, tapi pil pahit itu harus Safir telan karena Allah telah mengambilnya.

 

“Hanya iman, yang membuat aku bertahan,” batin Safir. Ia masih memiliki harapan, sehina apapun dirinya di hadapan manusia dan Tuhannya, setidaknya ia merasa hidup masihlah amat berharga. Apalagi kini, ia tidak sedang berjuang untuk dirinya sendiri, tapi untuk seseorang yang beberapa bulan lagi akan hadir. Darah dagingnya sendiri.

 

“Tadi siang kamu ketemu siapa?” pertanyaan itu menyentak Safir. Ia bangkit dan melepas mukena yang di kenakannya. Berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan itu. Dirinya tahu, lambat laun entah siapa yang disuruh Kei mengawasinya, suaminya itu pasti mengetahui bahwa ia diam-diam bertemu Fika.

 

“Kamu pasti tau,” balas Safir lalu beranjak ke ranjang dan merebahkan dirinya di sana.

 

“Kalian ngomongin apa?”

 

“Kenapa kamu pengen tahu?”

 

“Saya bertaya Safir!” gertak Kei.

 

Safir menghela nafas. Ia menatap pria yang kini tengah bersender di dekat jendela yang terbuka. Angin dari luar yang masuk ke dalam, sampai mampu membuat bulu-bulu halus di tangan Safir naik.

 

“Kamu tau Edward?” tanya Safir. Kei mengangguk.

 

“Dia yang mengenalkanku dengan Elan. Aku baru tahu ternyata pria itu menjalin hubungan dengan Emira. Kami membahas itu tadi.”

Kei menghela nafas. “Kamu pengen saya ceritakan sesuatu?”

 

Mendapat tawaran langka itu, Safir langsung mengganti posisinya. Duduk bersender di kepala ranjang. “Iya.” 

 

Siapa tahu, dengan mendengar cerita dari Kei, ia bisa mencari tahu lebih dalam mengenai pria bernama Edward juga tentang kasus kematian Neneknya yang tiba-tiba. 

 

“Dia adalah alat untuk memata-matai sekaligus ancaman.”

 

“Untuk?”

 

“Perusahaan.”

 

“Kenapa kamu mau cerita sama aku?”

“Sayangnya, aku cuma mau ngasih tau kamu sampai situ. Tidurlah.”

 

Kei menutup tirai, ia berjalan ke sebuah pintu yang menghubungkan dengan ruangan lain yang sifatnya rahasia. Bahkan Safir, tidak ia izinkan masuk ke dalamnya.

 

Safir berdecak kesal, ternyata Kei hanya ingin membuatnya tidur dengan penuh rasa penasaran. Ingin rasanya ia mengejar pria itu sampai ke ruangan yang mencekam itu, tapi ia urungkan. Ia memilih untuk terlelap.

 

“Kei, Tante mau ngomong sama kamu,” pinta Sonia saat melihat keponakannya berjalan melewati kamarnya.

 

Hanya deheman yang diberikan oleh Kei. Sonia berjalan ke arah ruang tamu, begitu pula Kei. 

 

“Kamu nggak bakal tega ngusir Tante ‘kan Kei?” tanya Sonia dengan mata berkaca. “Kamu tau sendiri, Tante janda, siapa pula yang mau menanggung hidup Tante.”

 

Kei mendesah lirih, ia tatap dengan teduh Bibinya yang selama ini menemaninya di rumah besar namun terasa mencekam dan sepi ini. “Sepanjang Tante nggak mengganggu istriku, aku nggak bakal usir Tante dari rumah ini.”

 

“Tante nggak ganggu istrimu. Dia itu cuma emosian aja, pengaruh hamil Kei.”

 

“Oleh karena itu, karena dia lagi hamil, makanya Tante yang harus Tahan emosi. Jangan terpancing.”

 

“Kamu membela dia karena kamu mencintainya Kei?”

 

Kei terdiam, tidak berniat menjawab sama sekali pertanyaan dari Tantenya. “Pria yang mencintai wanita, cenderung ingin melindungi wanita itu.”

 

“Anggap aja begitu Tante.”

 

“Kamu mau bawa dia pada kehidupanmu Kei?” tanya Sonia dengan wajah serius. Bibirnya terangkat sebelah, begitu mendapati keponakannya diam seribu bahasa. 

 

“Biarkan aku yang memutuskan Tante.”

 

“Aku harap, kamu bisa menarik kembali kepemilikan Baymax grup. Itu yang akan menyelamatkan mu dari kehancuran.”

“Itu cuma keinginan Tante ‘kan?”

 

“Kei! Tante tahu kamu. Tante yang selama ini besarkan kamu. Tolong, mengertilah.”

 

Kei tertawa dalam hati. Bertanya-tanya, mengapa orang-orang yang berada di sekelilingnya terus meminta dirinya untuk mengerti? Apa sebenarnya yang harus di mengerti? Hanya gara-gara Tantenya ingin agar perusahaan semakin membengkak dan keuntungan banyak di dapat, menyuruh Kei untuk kembali berurusan dengan kematian? Apakah itu rasa sayang selama ini dari seorang wanita yang katanya menggantikan peran seorang Ibu bagi dirinya?

 

“Bahkan, aku nggak bakal tahu siapa yang akan berubah di masa depan. Jadi, biar aku sendiri yang memutuskan Tante. Jangan pernah campuri lagi urusanku. Selama ini, Tante menjadi pengganti Ibuku dan aku sangat berterimakasih untuk itu, tapi setelah ini, aku nggak ingin walau Tante sekali pun mengatur hidupku.”

 

Kini, Sonia yang tertegun. Kei secara tidak langsung menyindiri dirinya yang seolah di masa depan bisa jadi tidak setia lagi berdiri di sisinya. “Tante, akan dampingi kamu sampai semuanya selesai.”

 

Lagi-lagi Kei tertawa miris. “Memangnya kapan permainan ini akan selesai?” batinnya.

Kei kembali ke kamar, masih dengan setelan casualnya. Kaos oblong warna hitam dan celana pendek berbahan jeans dengan panjang selutut, sehingga memperlihatkan bulu-bulu di kakinya. 

 

“Kamu nggak enak badan?” tanya Kei yang melihat Safir justru berbaring di ranjang dengan berselimut. Padahal tadi baru saja sarapan, setidaknya perempuan itu berjemur atau jalan-jalan keluar untuk kesehatan bayinya.

 

Safir menggeleng, walau percuma, karena Kei sudah dapat menebak. “Kamu demam.”

“Aku baik-baik aja.”

 

“Jangan ajarin anakmu naif. Nanti kayak kamu, gampang ketipu.”

 

Safir mendadak kesal, selalu saja Kei menyalahkan dirinya. Apa tadi ‘gampang ketipu’? oh tepat sekali, Safir merasa Kei sangat benar. Ia tidak ingin mendebat.

 

“Aku pengen Mie,” ucap Safir yang membuat Kei mengernyitkan alis. Tidak lama, ia akhirnya mengangguk dan berjalan ke dapur.

 

“Ngapain Den?” tanya Bi Suti yang merasa heran begitu melihat majikannya mondar-mandir di depan kompor.

 

“Ada mie instan Bi?”

 

“Ada Den. Siapa yang pagi-pagi pengen Mi instan Den?”

 

“Safir.”

 

Bi Suti terkekeh pelan. “Oh Non Safir. Pasti ulah si debaynya. Sabar ya Den. Sini, biar Bibi yang buatkan. Aden tunggu aja.”

 

“Aku pengen Mas Kei yang buat.” 

 

Dua orang itu langsung menoleh ke sumber suara. Bi Suti tampak terkejut, sedangkan Kei menghela nafas berat. “Biar saya aja Bi. Bibi silakan kerjakan yang lain.”

 

 

Oh Safir, tahukah kamu, bahwa wajahmu yang menatapku tanpa dosa itu sangatlah menyebalkan?! Kei membatin sendiri.

 

 

 

Lanjut? Jangan lupa berlanggana cerita ini yaa😊😊🥳 oh ya yang belum baca ceritaku Dinikahi Dosen, gas keun ya

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status