Share

Ternoda

Safir meringis sendiri saat melihat tampilan Mie kuah buatan suaminya. Padahal, beberapa menit lalu dirinya merasa menggebu-gebu ingin menikmati makanan yang terbuat dari adonan tepung dan tanpa serat sama sekali itu. Tapi kini, entah mengapa selera makannya hilang.

 

“Makan.” Suara baritone Kei terdengar memerintah. Pria itu bersidekap dan menatap mangkok Mie dan istrinya bergantian.

 

“Tiba-tiba aku kenyang,” aku Safir jujur. Ia tidak ingin jika memaksakan makan, khwatirnya malah menuangkan isi perutnya keluar.

 

“Aduh anakku, ayolah. Jangan buat Ibu malu,” batin Safir dalam hati. Ia menunduk saja karena ia merasa benar-benar tidak ada minat lagi. Mungkin dedek yang didalam tengah mencoba membuatnya malu.

 

Sedangkan Kei menggeram tertahan. Matanya memicing ke arah istrinya.

 

“Kamu ngerjain aku? Kamu nggak bener-bener pengen makan Mie ‘kan?” tanya Kei yang mendudukkan diri di kursi tepat di samping istrinya. Safir menggeleng kuat dengan dugaan Kei. 

 

“Aku tadi pengen, tapi sekarang nggak mau lagi. Kamu tau ‘kan faktor ini,” tunjuk Safir pada perutnya yang belum buncit sama sekali. Kei mengikuti arah pandang sang istri, lalu mendesah pelan. 

 

“Hei jagoan, kamu ngerjain Ayah ya?” tanya Kei dan mendekatkan telinganya ke perut Safir, reflek membuat wanita itu menahan kepala suaminya, terkejut.

 

“Lepas, kepalaku,” ucap Kei dingin.

 

“E-eh maaf Mas.”

 

Hati Safir sedikit menghangat mendengar apa yang dikatakan Kei barusan. Ayah? Apakah pria itu dengan senang hati menjadi Ayah untuk bayinya? 

 

“Emang kamu tau dari mana dia laki-laki? Kemarin pas di USG belum keliatan jenis kelaminnya.”

 

Kei mendengkus, berbicara dengan Safir entah mengapa akhir-akhir ini terasa menyebalkan. Tapi, diam-diam ia merasa lega karena wanita itu tidak lagi mengungkit dan bertanya tentang alasan apa lagi yang melatarbelakangi dirinya menikahi wanita itu.

 

“Itu harapanku,” ucap Kei dan kini menatap nanar Mie di depannya. Ia paling tidak suka melihat makanan terbuang-buang. Masih banyak orang-orang diluar sana tidak bisa makan walau sesuap nasi, apalagi Mie.

Safir melebarkan mata saat ia melihat Kei memasukkan Mie ke dalam mulut. Ia pikir pria itu bakal membuangnya. Pantas saja, Sonia tadi malam mengadu pada Kei jika dirinya membuang-buang makanan, ternyata pria itu memang cenderung tipe orang yang sayang jika tidak menghabiskan makanan yang ada.

 

“Mau?” tawar Kei yang sedari tadi merasa diamati istrinya. Safir hanya terdiam. Membuat Kei menjulurkan sendok berisi Mei ke depan mulut Safir.

 

“Nggak,” tolak Safir. “Mas aja yang makan.”

“Beneran? Awas kalau sampe liuran.” Memang ya, kalau mulut sudah pedas, dimana dan kapanpun akan tetap sama. Tidak ada lembut-lembutnya. Jika begini, lebih baik berduaan dengan Samyang daripada sama suaminya.

 

“Mas nggak kerja hari ini?”

 

“Nggak.”

 

“Mas, Edward itu …” Safir tidak melanjutkan, membuat Kei menatapnya dengan mulut penuh.

 

“Kenapa Edward?”

 

“Dia yang memperkenalkanku pada Elan.”

Kei tidak menanggapi, hanya menyeruput kuah Mie yang dirasa sangat menyegarkan. Setelah semua tandas, ia menyeka mulut dengan tisue. “Terus?”

 

Safir berjingkrak girang dalam hati, ternyata suaminya bukan termasuk pendengar yang buruk. “Dia yang juga udah jebak aku.”

 

“Tentang hal?”

 

Malam dimana Safir masih bisa merasakan pelukan sang Nenek. Temaram lampu ruang tamu membuat suasana senyap, hanya menyisakan suara-suara jangkrik dari luar. Sekali bersuara, hilang dan seterusnya. 

 

“Percaya sama mereka.” Itu suara seorang wanita renta yang membuatnya bertahan hidup hingga hari ini.

 

“Tapi Nek, aku takut, semua hanya cara mereka biar luluhkan hati Nenek.”Safir sedikit berbisik, lalu melirik ke arah Edward yang sedari tadi terdiam. Menunggu kegiatan diskusi antara Safir dan sang Nenek.

 

“Jelas-jelas mereka menujukkan suratnya. Segeralah tanda tangan.”

 

“Apa kami bisa mempercayai kalian?” tanya Safir penuh selidik. Edward tersenyum dengan lesung pipinya. Pria manis, tapi terlihat meragukan. 

 

“Kami memang tidak seterkenal perusahaan Yamamoto Grup, tapi setidaknya kami tahu cara bersikap terhadap klien kami.”

 

Sikap Edward saat ini jelas tengah merendah, untuk mengunggulkan diri. Sayangnya Safir terlalu polos untuk menyadari. Ia mencari kebenaran dari mata lelaki yang bahkan ia sendiri tidak begitu mengenalnya walau pernah menjadi Kakak kelasnya.

 

“Jadi, bisa kamu temuin Bos Elan?”

 

“Kapan?”

 

“Besok, pukul sembilan malam.”

 

“Kenapa harus malam? Aku nggak suka bepergian malam. Nenek juga nggak ada yang jaga.”

 

Safir melirik Neneknya yang tampak tenang. Tidak ada kekhawatiran sama sekali di raut wajahnya yang renta. 

 

“Temuin aja Nak. Biar urusannya cepat selsai. Nanti cepat juga pembangunan tempat ibadahnya. Nenek nggak mau buang waktu, pengen semuanya sudah ada sebelum Nenek benar-benar pergi.”

 

Mendengar perkataan sang Nenek, Safir mengelus lembut paha wanita tua yang sudah menjaga dan mendidiknya selama ini. “Nek, jangan  ngomong gitu. Safir jadi takut.”

 

“Takut kenapa? Nenek udah tua. Nggak pengen ngurusin hal-hal yang ribet. Yang penting, udah ada simpanan untuk dunia dan akhirat. Beres.”

 

“Baiklah, besok saya akan menemui Mas El.”

 

Safir mengenal El sudah beberapa bulan lamanya, seiring dengan intensitas kedatangan Edward yang meningkat. Hampir setiap hari, tujuannya satu. Mendapatkan sertifikat tanah milik Neneknya untuk proyek sang Bos. Sedangkan Elan, pria itu tidak pernah mengusik atau membahas sedikit pun mengenai tanah kepada Safir. Justru pria itu telah membuat dada Safir bergetar tidak karuan karena kebaikan dan kelembutannya. 

 

“Kamu udah yakin Fir?” tanya Elan dari seberang telepon.

 

“Yakin Mas. Aku tau Mas mungkin lelah menunggu untuk keputusanku ini. Tapi, semua ada alasannya.”

 

“Saya nggak pernah minta kamu untuk setuju. Kamu udah pikirkan semua risikonya?”

 

“Udah Mas. Insyaa Allah, ini juga amanat dari Nenek."

 

“Maaf ya Fir, kamu harus menemui saya malam-malam. Soalnya dari pagi sampai siang, saya ada agenda yang padat. Hingga jam sembilan baru bisa luang dan nemuin kemu membahas itu. Itu pun masih termasuk pekerjaan aku.”

 

“Iya Mas, nggak papa. Lagi pula, yang aku temui bukan orang asing. Tapi Mas El, yang udah nolongin aku.” 

 

“Jangan di ungkit lagi. Aku nggak mau kamu baik hati sama aku gara-gara peristiwa itu.”

Elan memang pernah menolong Safir, saat beberapa orang pria hendak merusak harga dirinya. Tapi dengan berani dan menantang, El menghabisi preman-preman bejat itu. 

Safir yang memang tidak terlalu dekat dengan banyak lelaki, seketika terpesona dengan kebaikan Elan. Apalagi setelah ia tahu Elan adalah pengusaha. Sangat jarang orang kaya begitu peduli pada orang biasa sepertinya. Sayang sekali, Safir tidak sadar jika ia sedang dimanfaatkan saat itu. 

 

Semenjak kejadian itu pula. Safir seolah merasa El adalah jodoh yang telah digariskan Tuhan untuknya. Mereka kerap bertemu walau tanpa rencana. Semisal saat acara sumbangan untuk bencana longsor di kampungnya, kegiatan kunjungan ke panti asuhan, juga saat Safir mengajar di TPA, laki-laki itu ternyata salah satu penyumbang untuk lembaga itu. Kagum dan semakin cinta setiap harinya yang tumbuh di hati Safir untuk seorang Elan Yamamoto.

 

Malam yang penuh taburan bintang itu Safir seolah merasa seperti wanita yang akan di lamar. Benar-benar romantis saat ternyata Elan mengajaknya makan malam di sebuah restoran outdoor yang terletak satu jam perjalanan dari kampungnya. Karena di kampungnya tidak ada restoran seperti ini, akhirnya El mengajar Safir untuk mencari restoran yang istimewa.

 

Setelah makan malam, akhirnya terjadi proses penandatanganan. Walau Safir, sesekali melirik minuman yang di pesan El yang jelas berbeda dengan minuman miliknya. Ia hanya wanita kampung, yang tidak mengerti cairan berwarna ungu itu apa. Ia kira hanya jus biasa. Ternyata bukan. 

 

“Mas El, kamu mabuk?” tanya Safir begitu mereka masuk ke dalam mobil. Safir merasa aman saja, karena Edward ada di sana juga.

 

“Kamu tau juga ya?” tanya Elan dengan tatapan tak biasa. Terkesan menggoda.

 

“Edward, kalian menginap di penginapan mana?” tanya Safir yang khawatir dengan keadaan Elan.

 

“Di sekitar sini juga," balas Edward datar.

 

“Ya udah antarkan aja Mas Elan ke penginapan, setelahnya baru antar aku. Kayaknya Mas Elan butuh istrirahat, dia kelelahan.”

 

Elan menatap intens wanita yang kini tengah meremas ujung jilbab dengan tatapan menjurus ke depan. Hasrat yang selama ini ia tahan rasanya sulit sekali untuk di kendalikan, apalagi sudah duduk bersebelahan dengan Safir yang wajahnya begitu cantik dan bersih walau bukan berasal dari kota. Benar-benar tidak terlihat seperti orang kampung. 

 

“Edward, aku pengen.”

 

Edward yang mengerti betul kebiasaan Bosnya mengangguk dan menepikan mobil di daerah yang sepi dan hanya terdapat pohon-pohon pinus yang berjejer. Safir mengernyit heran, saat Edward keluar.

 

“Ada apa?” tanyanya pada angin karen Edward sudah menutup pintu mobil kembali. Kepalanya lantas menoleh ke arah Elan yang kini menatapnya dengan tatapan sulit di artikan.

 

Elan perlahan menyentuh wajah Safir, membuat si empunya terlonjak. “Mas, aku nggak pernah diajarin kayak begini, haram hukumnya.” 

 

Elan tertawa pelan dengan kepolosan gadis kampung ini. Di saat seperti ini, masih bisa berbicara tentang keharaman. Biasanya, semua wanita yang ia temui saat sudah seperti ini akan lumer sendiri, lalu maju dan bergerak lebih dulu. Tapi, Safir beda. Gadis itu masih belum beprengalaman dan ini adalah kabar baik bagi Elan. Lempar satu batu dapat dua sekaligus. Memiliki tanah dan memiliki keperawanan. 

 

“Oh gitu ya.” Elan menggaruk hidungnya yang tak gatal. “Kalau gitu, mau aku ajarin?” tawarnya.

 

“Mas!” pekik Safir saat Elan memajukan wajahnya dan berhasil menempelkan bibirnya ke mulut Safir. Lalu melakukan gerakan pelan yang membuat darah Safir ikut mendidih.

 

“Aku mau keluar!” Safir sudah ketakutan. Ia tak menyangka Elan ternyata lelaki yang seperti itu. Kepercayaannya kali ini benar-benar luntur. Ia menatap garang ke arah pria yang senyum-senyum sendiri seperti psikopat itu.

 

Sayangnya, pintu mobil tidak mau terbuka. “Buka Edward!” pekik Safir dengan suara bergetar. Dapat ia lihat, Edward tetap diam di tempatnya tanpa mau melirik ke arah mobil.

 

“Ayo kita main Safir. Sama Mas. Tenang aja, ini pasti menyenangkan buat kamu yang pertama kali.”

 

“Nggak Mas!” tolak Safir keras. Seberapa cinta pun ia terhadap laki-laki itu, tidak akan pernah menyerahkan seincipun kehormatan dirinya. 

Elan terus merengsek dan memaksa, melucuti semua yang menempel padanya dan akhirnya, di bawah intipan dewi malam, semuanya telah direnggut paksa dari Safir oleh pria bernama Elan. Jadilah kini, Safir sebagai wanita ternoda.

 

“Edward kamu,” tunjuk Safir marah, ia sudah mengenakan pakaiannya lagi walau tidak serapi serbelumnya. Kerudungnya terlihat acak-acakan.

 

“Jangan kabur, akan aku antar pulang,” ucap Edward dingin dengan tatapan meremehkan.

 

“Aku nggak sudi semobil sama dia!”

“Ini udah malam, bahaya kalau jalan sendirian. Bisa-bisa kamu di perko-“

Edward tersenyum sebelah melihat raut wajah sembab, bahu bertetar, dan mata Safir yang berkilat-kilat. Malang sekali adik kelasnya ini, harus menjadi santapan Bosnya yang hanya sibuk memuaskan nafsu kelaki-lakiannya.

 

“Cukup!” sentak Safir dengan air mata yang sudah melumer. Ia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar, tujuannya adalah segera pulang.

 

Beberapa minggu kemudian, Safir merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan tubuhnya. Ia sering merasa mual dan pusing juga tidak nafsu makan. Mengingat kejadian yang telah berlalu, Safir menggeleng. Tidak mungkin, ia benar-benar hamil setelah malam itu. Sayang sekali, perkiraannya ternyata melenceng. Setelah membeli alat kecil yang memanjang dari apotik, Safir harus dibuat tercengang. Air matanya luruh, ia terjatuh di kamar mandi umum. Semua harapan dan mimpi-mimpinya hancur, termasuk bayangan dirinya bisa menikahi Elan.

 

“Kamu harus tanggung jawab Mas! Kamu yang telah melakukan ini semua. Setidaknya, sampai anak ini lahir!” Safir dengan berani mendatangi penginapan Elan. Itu pun karena memaksa Edward menyebutkan alamatnya dan ternyata pria sok manis tapi munafik itu mau menuruti. Dan benar, pria bernama Elan itu masih singgah di sana.

 

“Akan aku pikirkan.”

 

Edward yang mendengarnya terkejut bukan main. Biasanya ketika selesai main dan walau pun ada wanita yang meminta pertanggung jawaban, Elan tidak pernah berbicara seperti itu. Pasti langsung mengusir wanita itu dan memberinya segepok dollar.

 

“Mas, kamu tega. Aku kira, kamu adalah laki-laki yang baik.”

 

“Aku minta maaf Safir. Aku saat itu mabuk.”

Entah,  poker face yang Elan tunjukkan, membuat Safir jelas tak bisa menebak apa isi pikiran lelaki itu. Benarkah itu permintaan maaf dari hati? Dan benarkah saat itu Elan melakukannya karena benar-benar mabuk? Entahlah.

 

“Tapi, kamu nggak seharusnya begitu Mas.”

Elan mengisyaratkan lewat matanya agar Edward pergi dari sana. Laki-laki yang statusnya sebagai asisten pribadi Elan itu hanya mengangguk.

 

“Mas, aku hanya hidup dengan Nenekku. Apa kata orang kalau kami nanti di hina masyarakat karena tiba-tiba bunting tanpa tau siapa Ayah dari jabang bayi ini.  Dan kemana pula aku akan mencari nafkah untuk menghidupi anakku?”

Safir memang tengah mengemis saat ini, tapi ini bukan kemauannya. Hanya demi sang anak. 

 

“Emangnya aku peduli,” batin Elan. Tapi, kali ini ia tidak ingin bertindak gegabah dengan memberi Safir imbalan pundi-pundi rupiah. Ia sangat yakin, wanita seperti Safir tidak menginginkan itu. Hanya tinggal beberapa hari, semua aset tanah akan sah berpindah ke tangannya. Walau sudah mendapat tanda tangan itu, tetap saja kepemilikan bisa jadi tidak jadi terambil alih. Sudah capek-capek ia berusaha, malah gagal total nantinya.

 

“Aku nggak butuh apapun. Cuma kamu Mas. Aku pengen sampai anak ini lahir, ada Ayah yang menemaninya.”

 

Elan memejamkan mata. Bukan dirinya, jika merasa kasihan dengan seorang wanita. Tapi, memang benar, Safir berbeda dengan wanita yang datang kepadanya. Tidak suka rela memberikan kehormatan, tapi ia paksa.

 

“Aku akan menikahimu.”

 

“Sampai kepemilikan itu benar-benar berpindah ke tanganku,” batin Elan dengan seringai licik di wajahnya.

 

“Sebenarnya, aku di perkosa Mas sama Elan.”

Kei menatap lekat-lekat wajah wanita di sampingnya yang kini sudah meneteskan bulir bening di pipinya. Bahunya bergetar, tangannya menyeka kasar sudut matanya.

 

“Apa aku masih sehina itu, ketika kamu tau kebenarannya?”

 

“Gimana aku bisa percaya?”

 

Safir tertawa dalam hati. Ternyata percuma juga menceritakan semuanya pada Kei. Laki-laki itu justru tidak percaya. Sakit sekali rasanya. 

 

“Terserah mau percaya atau nggak. Aku di sini hanya butuh keadilan. Aku ingin pertanggung jawaban. Aku ingin Ayah untuk anak ini. Tidak ada yang aku inginkan selain itu.”

 

Diam-diam tangan Kei terkepal di bawah. Ia ingin menggebrak meja, hanya saja di sana ada Safir yang pasti bakal terkejut melihat reaksinya. Tunggu saja Elan, kita lihat aku atau kamu yang akan hancur, batin Kei.

 

 

Kalau lanjut, jangan lupa berlangganan ya? Insyaa allah bakal up sering kalau kalian langganan dan cerita ini acc kontrak, doain yaa🤭

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status