Sebuah ruangan berpendingin itu semakin panas, saat seorang wanita dengan rambut blonde miliknya mencoba menggoda seorang pria. Tangan nakal wanita itu menjulur dan mengusap pelan wajah sang pria, namun dengan segera pria yang tak lain adalah Keiji Salim Yamamoto menepis lengan Fika, wanita yang rela menjajakan dirinya kepada seorang pengusaha kaya.
Padahal, rencananya ia tidak ingin datang ke kantor. Tapi, laporan dari Sam membuatnya terpaksa harus ke sana dan menemui seseorang yang –ah jika boleh menyebutnya ular genit- mungkin Kei akan menjulukinya demikian.“Hehe.” Fika meringis karena tangannya di tepis dengan kasar. “Kamu nggak rindu belaianku Mas?” tanyanya.Kei tersenyum dingin, mata elangnya menatap tajam ke arah Fika – yang katanya teman Safir, walau ia meragukannya- melihat kelakuannya yang berani saat ini.“Jangan hinakan dirimu di hadapan seorang pria Fika!” gertak Kei. “KaWajah Safir sudah memucat, bahunya bergetar. Ia takut, jika yang tengah berdiri di belakangnya adalah Edward atau Elan, dua pria yang sangat dibencinya hingga ubun-ubun. Ia menoleh, mulutnya sedikit terbuka begitu melihat siapa yang tengah menatapnya tajam.“M-mas, gimana bisa kamu?” Safir mengernyit bingung, ia tidak memberitahu pria ini bahwa dirinya berkunjung ke Bogor. “Disini?” lanjutnya.“Bodoh,” umpat Kei hingga telinganya begitu peka mendengar derap langkah mendekat ke rumah yang pantas di sebut gubuk tua itu. Dengan gerakan cepat, ia merengsek ke arah istrinya lalu membekap mulut itu dan seketika menyeretnya ke pintu belakang.“Mas, siapa tadi?” tanya Safir sedikit khawatir dan juga takut. Ia melihat wajah suaminya begitu tegang, walau sekian detik kemudian meluruhkan ekspresi itu.“Diem!” titahnya tak terbantah. Safir mengatupkan mulut, menahan nafas, dan mengatur detak jantung. Ya, saat ini organ tubuh yang letaknya di dada itu seperti tengah mengejeknya karena bergetar tak
“Nggak ada lagi yang berharga. Semuanya cukup terekam di sini,” ucap Safir mengelus dada, dengan nada melankolis. Membuat Kei berdecak.“Kamu bukan aktris, jelek akting kayak gitu.” Safir hampir saja memaki mulut yang sepertinya sudah di campur dengan Boncabe level tinggi itu. Tapi, ia sadar, itulah suaminya. Jadi-jadian entahlah. Semoga bukan jelman setan saja, karena kemarin Safir sempat mengira Kei adalah ustadz.“Kamu tau apa yang di cari Elan?” tanya Kei dengan tatapan mengintimidasi. Safir yang mengerti raut penasaran itu, segera membuang wajah dan berjalan ke arah kamarnya. Mengulur waktu untuk menjawab.“Mana ku tau. Aku aja kaget, dia datang ke sini. Untuk apa juga.” Safir berucap sambil membuka lemarinya alih-alih berkilah dengan kata-kata.Kei tidak bertanya lagi, memb
Dua hari terlewati oleh dua orang pasangan suami istri itu di Bogor dengan Safir yang merasa sangat bosan karena harus tinggal sendirian di hotel. Bagaimaana tidak, Kei lebih sibuk diluar daripada menghabiskan waktu bersama istrinya. Maklum, memang itulah tujuan pria itu ke kota ini. “Aku nggak bisa langsung pulang ke rumah,” ucap Kei begitu mobilnya berhenti tepat dihalaman rumah besar miliknya. Safir hanya mengangguk, tidak ingin menanyakan apapun. Lalu membuka seatbelt dengan kondisi wajah di tekuk. Saat hendak membuka pintu, lengannya ditahan. “Kamu kenapa?” tanya Kei. “Nggak papa Mas," balas Safir. Namun, wajahnya tampak di tekuk. “Jangan ajarin anakmu untuk bermuka masam," hardik Kei. “Emang kamu nggak?” Safir menaikkan satu aslinya, kini menatap sang suami kesal. Selalu saja yang jelek-jelek ditimpakan padanya “Emang iya?” Kei memindai wajahnya sendiri di spion tengah, mengusap-usap jambangnya yang tidak terlalu lebat. Safir tertawa melihat wajah polos Kei saat ini.
Benda persegi yang tergeletak di atas meja berbunyi, membuat konsentrasi Kei pecah seketika. Sam yang melihatnya hanya berdehem pelan, ia hafal kebiasaan Tuannya yang tidak suka di ganggu. Tapi kabar baiknya, Kei tidak pernah membabi buta atau melampiaskan amarahnya pada orang lain saat ia merasa kesal.Kei mengusap wajah dengan sambil menghembuskan nafas kasar. Matanya terlihat bertanya-tanya mengapa istrinya yang jarang memberi kabar kecuali penting itu menelpon. Ayolah, ini adalah perdana bagi mereka.“Kenapa?” tanya Kei setelah menjawab salam.Terdengar balasan dari seberang, "ada seseorang.”“Siapa?” tanya Kei mendadak wajahnya muram, ia merasakan suara sang istri bergetar.“Aku nggak tau."Kei menghembuskan nafas. &ldq
Kei membuang pandangan, telapak tangannya mengepal seraya membanting setir. Perkataannya barusan sungguh tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang pria yang mampu melindungi wanitanya. Inilah yang sedari dulu ia takutkan. Harus membahayakan satu orang belum lagi di tambah satu nyawa tak berdosa. Semua akan habis karena dirinya.Di persimpangan empat, ia belok ke kiri, memasuki sebuah komplek perumahan yang terlihat dari dekorasi bangunannya begitu menawan.Kei jalan cepat menuju kamarnya, tangannya membuka pintu dan terlihatlah sang istri sedang duduk meringkuk di ranjang. Semua jendela telah tertutup.Pria itu menghela nafas, menatap intens pada sang istri yang kini juga menatapnya.“Kamu nggak papa?” tanya Kei masih dalam posisi berdiri. Safir menggeleng, namun cairan bening di pelupuk matanya berjatuhan begitu saja.
Pukul dua belas malam, wanita dengan perut mengembang yang sudah terlelap itu harus terusik karena mendengar suara pintu yang tertutup walau pelan. Ia mengucek mata, melihat ke samping kirinya, namun sang suami sudah tidak ada. “Kemana Mas Kei?” tanyanya. Namun, matanya terbuka sempurna saat mendengar keributan di luar. Langkah kaki membawanya menuju jendela. Tangannya menyibak tirai, penasaran mau pergi kemana suaminya tengah malam begini. “Bawa dia.” Suara Kei menggema dalam kelam malam. Safir semakin menajamkan mata. Terlihat ada satu mobil lagi selain mobil sang suami. Dua orang berpakaian hitam tampak mencekal tubuh seseorang yang mata dan mulutnya sudah tertutup kain hitam. "Siapa yang di culik oleh Mas Kei?" batin Safir bertanya-tanya. Ia sudah menduga jauh-jauh hari. Suaminya yang misterius yang cenderung dingin itu pasti menyimpan suatu hal. Terbukti, peristiwa di depannya kini, tampaknya menjadi salah satunya. Safir masih fokus melihat kebawah hingga tak disadarinya seseo
Meja itu di gerbak dengan keras. Pria bernama lengkap Elan Yamamoto itu melepas kerah kemeja yang terasa mencekiknya setelah mendapat kabar bahwa anak buah kepercayaannya harus mati di tangan saudaranya.“Kei brengsek!” umpatnya. “Jangan sampai Alex tau.”“Baik Bos,” balas asisten pribadi Elan. “Suruh Fika ke ruanganku!”Seorang gadis dengan heels setengah jengkal masuk dengan gayanya yang berlenggak-lenggok. Senyumnya tak pernah memudar saat pintu terbuka menampilkan dirinya.“Ada apa sayang?” tanyanya dengan nada menggoda. Tentunya setelah asisten pribadi Elan pergi ke luar, karena bisa kepanasan jika menyaksikan aktivitas apa yang akan dilakukan keduanya di ruangan itu.“Aku rindu belaianmu,” balas Elan serak. Ia langsung merangkul pinggang wanita bernama Fika dan melemparnya ke sofa.Setelah aksi bejat mereka tuntaskan di ruangan yang seng
Kei memijat keningnya pelan. Masalahnya kini semakin rumit. Ancaman Aoshi terngiang di kepalanya. Peristiwa tadi pagi yang membuat darahnya mengalir deras, juga menambah rasa pening itu. Bagaimana tidak? Setelah ia menghanguskan seseorang tanpa jejak, namun yang di sebut 'Tuan besar' oleh Aoshi justru memintanya untuk meninggalkan sang istri.Safir, dianggap sebagai penghambat dirinya bekerja. Padahal, bukan itu alasannya. Hanya saja, jiwanya yang lain seolah memberontak. Ingin berhenti saja dari dunia hitam yang terus menerus mencengkeram dirinya.Haruskah ia melepaskan Safir saja? Membiarkan wanita itu membesarkan anak seorang diri tanpa suami di sisinya? Memberikan sejumlah kekayaan tanpa dirinya harus menjadi suami Safir? Pikiran itu, terus berkelebat. Mengetuk setiap kemungkinan, mulai dari buruk hingga terburuk.“Ini janjiku,&rdq