Share

Wanita Jalang

Sonia berjalan mondar-mandir dengan bibir merahnya yang ia gigit. Wajahnya seperti menahan sesuatu. Sesekali kakinya ia hentakkan ke lantai.

 

“Setan apa yang merasuki keponakanku, sampai dia mengatakan hal seperti tadi?” tanyanya geram.

 

“Safir, awas saja wanita jalang itu, nggak akan aku biarkan hidup bahagia di sini.”

 

Sonia mengambil ponselnya di atas nakas, tangannya bergulir mencari kontak seseorang. Dengan cepat, ia menekan tombol Calling, hingga terdengar suara dari seberang.

 

“Cepet ke kamar Ibu!” titahnya. Ternyata Sonia menelpon anaknya sendiri. Ia terlalu malas untuk memanggil langsung ke kamar putrinya yang berada di lantai dua paling ujung itu.

 

“Apa sih Bu? Aku udah ngantuk ini, mau tidur,” keluh Emira yang sudah memakai piyama tidurnya. Wajahnya putih seperti tepung karena masker wajah yang ia kenakan.

“Kei mengusir Ibu.”

 

“Hah? Mas Kei, ngusir Ibu? Gimana bisa?” Emira memelototkan matanya. 

 

“Gara-gara jalang itu. Dia pasti ngadu sama Kei.”

 

“Astaga Bu, kita nggak bisa biarin dia terus di sini.”

 

“Kamu bener, kita harus buat rencana agar dia minggat. Kamu bilang, dia hamil anak El?”

 

“Iya, aku dengar percakapan dia sama Mas Kei. Pasti, itu alasan Mas Kei menikahinya.”

 

“Ck, dasar murahan. Kita singkirkan aja kandungannya, gimana?”

 

“Gimana caranya Bu?”

 

Sonia menyeringai, tentu sangat mudah untuk menghilangkan janin yang ada di rahim Safir. Bahkan ide berlian itu sudah terbesit dalam benaknya saat ini. 

 

Di tempat lain. Seorang pria dengan jaket hitam dan wajah datarnya berjalan ke arah ruangan kerjanya. Sesekali, ia memijat pelipisnya pelan dan langsung mendudukkan diri di kursi kebanggaan bagi sebagian orang sepertinya. Karena dirinya merasa biasa saja jika duduk disana.

 

Ia membaca beberapa dokumen, lantas tangannya mencoret-coretnya. Kembali  beralih ke dokumen lain dan melakukan hal yang sama.

 

Tidak lama, seorang pria berjas hitam dengan rambut gaya udercut masuk ke ruangannya. Wajahnya telihat kuyu, namun garis wajahnya menujukkan bahwa ia tengah memikirkan sesuatu yang berat.

 

“Sean di bunuh, tapi seolah-olah dibuat bunuh diri.”

 

“Sudah aku duga.” Kei menyandarkan punggungnya. Ia lelah dengan semua kerumitan ini, tapi mau tidak mau ia harus menuntaskan semuanya.

 

“Berkas-berkas itu, hilang tanpa jejak. Tapi, dari cctv yang ada, dua orang pria bertubuh besar mengambil alih dokumen itu dari Sean. Dan, kita kehilangan jejaknya.”

 

Habis sudah jalan terakhir untuk membongkar kejahatan dari salah satu kompetitor perusahaannya. Apalagi, musuhnya itu selalu melakukan banyak cara untuk menjatuhkan perusahaan Yamamoto Grup, milik keluraga Yamamoto, Kakeknya Kei.

 

Berkas penting itu, padahal ia dapatkan dengan susah payah dari salah satu perusahaan yang nasibnya sudah di ujung tanduk. Meminta batuan kepada Yamamoto Grup untuk menolong perusahaan mereka yang hampir gulung tikar, namun dengan syarat harus menyerahkan kartu As Alexander Grup. Tapi nyatanya, hal tersebut tidak berjalan lancar. Alexander Grup, memang sudah lama mengincar dokumen itu, namun tidak kunjung mendapatkannya. Hingga, mungkin saja rencana Kei terendus oleh orang-orang mereka dan akhirnya, orang kepercayaan Kei yang harus menanggung kehilangan nyawa.

 

“Aku yakin, berkasnya udah berpindah ke tangan Alexander grup,” lirih Kei. Ia menatap sekretaisnya yang tampak lesu walau berusaha untuk tetap berdiri tegak.

 

“Kamu udah makan malam Sam?” tanya Kei membuat pria yang bernama lengkap Samsuri itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia malu karena tertangkap basah dengan wajah yang telrihat sekali kelaparan. Bagaimana tidak, seharian ini ia menyelidiki seseorang sekaligus harus mengurus jenazah orang kepercayaannya.

 

“Sudah Pak,” balas Sam lirih. “Kemarin,” lanjutnya dengan jujur, membuat Kei menggelengkan kepala.

 

“Sebelum saya izinkan kamu pergi, gimana penyelidikan kamu tentang El?”

 

“Pak El sedang berada di Skotlandia Pak.”

 

“Sedang apa dia di sana?”

 

“Lagi menangani proyek terbaru dengan Alexander grup.” 

 

“Ya udah, kamu boleh pergi.”

 

Pukul dua belas malam, Kei kembali ke tempat kediamannya. Ruang keluarga sudah sepi, semua jendela pun sudah tertutup. Langkahnya pasti menuju kamar miliknya. Saat ia masuk ke dalam, tentu ia mendapati istrinya yang ternyata sudah tertidur tapi dalam posisi tengkurap di bantal. Rambut wanita itu acak-acakan.

 

“Ya, hanya sampai anak ini lahir,” ucap Kei lirih sambil membenarkan posisi kepala sang istri. Setelahnya, ia melepas jaket lalu memposisikan dirinya berbaring di samping wanita yang sebelumnya ia pun tidak pernah terpikirkan untuk mempersuntinnya. Apalagi, wanita itu telah ternoda, oleh saudaranya sendiri.

 

Sebelum subuh tiba, Safir sudah terbangun dari tidurnya. Ia mnengucek pelan matanya dan mendapati sang suami tertidur membelakanginya. Ia menatap punggung itu lama, lalu beralih kepada janin yang kini tumbuh di rahimnya. Air matanya mengalir deras.

 

“Gimana kalau kamu lahir? Siapa Bapakmu Nak?” tanyanya. “Bahkan warisan suamiku saat ini nggak akan pernah jatuh ke tanganmu.”

 

“Jadi, kamu pengen anak itu dapat warisan dariku?” suara berat dan serak itu terdengar. Safir berjengit sesaat.

 

“E-e bukan itu maksudku Mas. Aku hanya—“

 

“Nggak usah naif, semua manusia cinta harta, apalagi wanita sepertimu.”

 

“Mas, jangan samakan aku dengan Tantemu.” Nada suara Safir terdengar tidak terima dengan tuduhan Kei.

 

“Kamu ada masalah apa dengan Tanteku tadi malam?” Tanpa menanggapi perkataan Safir, Kei justru bertanya.

 

“Dia menghinaku.”

 

“Lawan.”

 

"E-eh?"

 

Safir terdiam, ia tidak menyangka jawaban itu keluar dari mulut Kei. Ia kira, suaminya akan memarahi dan membela Tantenya yang bermulut pedas dan gila harta itu.

 

“Kamu nggak marah Mas?”

 

“Untuk apa?”

 

“Aku udah membuat Tantenmu marah-marah.”

“Aku hanya bakal marah, kalau kamu gugurin kandunganmu.”

 

Kei berbalik, netranya menatap Safir dengan tajam, membuat si empu yang ditatap segera membuang wajah. Ia selalu merasa terintimidasi ketika Kei menatapnya begitu. Dengan cepat, ia beranjak dan langsung ke kamar mandi untuk berwudhu. 

 

Ketika basuhan air suci itu sampai ke wajahnya, ia kembali mengingat kejadian malam itu bersama El. Air matanya kembali jatuh, sungguh ia telah menjadi wanita bodoh sampai kapanpun. Menggadaikan ketaatan pada Tuhan untuk menuruti nafsu pria bejat model Elan. Wajarlah, jika Kei pun memandang rendah dirinya. Ya, wanita murahan itulah julukan yang cocok bagi dirinya. 

 

Meja makan itu penuh dengan menu sarapan berbagai jenis roti dan selai yang bervariasi. Tertata begitu rapi bersama deretan gelas susu baik yang putih maupun yang cokelat. Safir sebenarnya tidak ingin satu meja lagi bersama Tante Kei dan anak-anaknya tapi Kei menyuruhnya untuk ikut sarapan bersama.

 

“Apa ada kabar dari El Kei?” tanya Sonia sambil tangannya mengambil seiris roti tawar lalu menabur selai keju di atasnya.

 

“Dia lagi di Skotlandia.”

 

“Benarkah kamu ingin menjual lagi salah satu cabang Yamamoto Grup Kei?”

 

Kei yang sedang menikmati rotinya mendongak menatap Sonia. Ia paling tidak suka membicarakan bisnis di meja makan. Menurutnya, hanya mengganggu rasa dan suasana. Mendadak ia mual.

 

“Nanti kita bicarakan Tante.” 

 

Kei memang menempatkan posisi Sonia di perusahaan sebagai salah satu petinggi di divisi Personalia. Sehingga, tantenya itu selalu ingin tahu perkembangan hubungan antar Yamamoto Grup dengan perusahaan lain atau keadaan cabang-cabang perusahaan Yamamoto yang selama satu dekade, sudah dua yang lepas. Dan, itu ulah dirinya. Betapa murkanya sang Kakek waktu itu saat mengetahui dirinya telah merugikan banyak pihak. Bukan karena apa, Kei melakukan itu tentu ada alasannya.

 

“Kamu belum berangkat ke kantor Mas?” tanya Safir karena setelah sarapan, Kei justru kembali ke kamar.

 

“Jadwal cek kandunganmu kapan?”

 

“Hari ini Mas.”

 

“Siap-siaplah, aku antar.”

 

“Aku bisa sendiri Mas.” 

 

Kei yang tadi menghadap ke kaca lemari berbalik, lalu menatap tajam wanita yang kini tengah menatap ke arahnya juga. “Percayalah, aku nggak bakal hilangin dia,” ucap Safir dan melihat ke arah perutnya. Sebenarnya, ia menolak tawaran Kei karena ingin berkunjung lebih dulu ke rumah temannya yang entah dengan alasan apa, Kei tidak menyukai Fika saat mereka bertemu di acara pernikahan.

Kei berjalan mendekat, membuat Safir memundurkan langkahnya. “Tolong, pakaiakan ini,” katanya sambil menjulukan dasi pada sang istri. 

 

Safir dibuat terkejut, ia kira Kei bakal marah atau memukulnya, ternyata tidak. Hanya meminta tolong memakaikan dasi. “Sudah berapa lama kamu kerja di perusahaan Mas? Masa makai dasi aja nggak bisa.”

 

“Jangan bawel.”

 

“Aku sendiri aja ya Mas.”

 

“Nggak terima bantahan apapun.”

 

“Mas Kei!”

 

“Kenapa? Kamu mau menemui seseorang?”

Safir menghentikan kegiatannya melilit dasi, karena mendadak kesal, ia menarik kasar hingga Kei mengerang karena tercekik. “Kamu mau coba bunuh aku?” sindir Kei tajam.

 

“Aku nggak sengaja, tadi reflek.”

 

Kei menyentl pelan dahi istrinya. “Reflek.” 

Safir hanya mengaduh, lalu mendelik menatap suaminya, tapi ekspresi datar Kei mampu membuatnya hanya diam tak membalas lagi. Sepertinya, jika dilanjut akan panjang urusannya.

 

Rencana bertemu Fika akhirnya gagal. Kei menemani Safir hingga ke rumah sakit untuk chek up kondisi kandungan istrinya yang sudah menginjak dua minggu.

 

“Ada keluhan lain Bu?” tanya dokter saat Safir hanya mengatakan dirinya sering mual di pagi hari. Dan ia sangat benci rasanya melihat nasi yang tersaji di piring. Entah karena makan bersama tante Sonia, atau pengaruh dari janinnya. Tapi, mendengar pernyataan dokter bahwa hal itu adalah salah satu bagian dari syndrom ibu hamil, akhirnya ia hanya bisa pasrah.

 

“Nggak ada dok,” ucapnya. Beda dengan Kei yang sedari tadi terdiam, akhirnya membuka suara.

 

“Udah dua malam dia gelisah terus Dok. Miring kiri, miring kana, terletang dan segala macamnya, sampai saya nggak bisa tidur.”

Safir terlonjak di tempatnya, benarkah dirinya demikian? Tapi, memang ia merasakan juga tidurnya kurang nyaman. 

 

Dokter dengan jambang tidak terlalu lebat itu tersenyum simpul. “Tandanya pengen di belai anaknya Pak.”

 

Safir melotot, sepertinya diagnosa dokter salah. Siapa yang ingin di belai? Anaknya? Oleh siapa? Kei?

 

Kei mengangguk paham dengan wajah biasa aja. “Baik Dok.”

 

Jangan lupa berlangganan ceritanya yaa, komen2 juga hihi

Oh ya pembaca Hijrah Cinta Bryan, cek bab baru tuh, udh aku up

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status