Share

TIGA

"Dengar, Pak! Saya sudah beristri dan kejadian hari ini hanya salah paham belaka. Jadi hentikan kegilaan kalian!" rutuk Malik karena sudah tak tahan lagi.

Pak Hamid membeku dengan tatapan nanar. Sementara yang lainnya mulai kasak-kusuk.

"Tapi kamu sudah melecehkan anak saya. Sudah dicap perawan tua, saya tak mau dia dipandang sebelah mata oleh laki-laki. Saya tidak peduli Elrima dijadikan yang kedua asal tetap dinikahi," panjang lebar Pak Hamid memberikan pendapatnya dengan berbagai pertimbangan tentunya. 

Ia tak ingin Elrima semakin menjadi bahan gunjingan selepas kejadian ini. Mungkin juga Bi Siti akan lebih keras mengoloknya dan disangka mengikuti usulan wanita itu agar sang putri menggoda laki-laki. 

Tak ada seorang Bapak yang rela anaknya berbagi kasih meski statusnya seorang madu. Namun, ia takut suatu saat Elrima kembali dilecehkan bahkan bisa jadi lebih parah. Pak Hamid banyak mendengar diluaran sana korban kebejatan laki-laki yang terungkap malah semakin direndahkan, sungguh ironi memang. 

"Biar saya jelaskan dulu yang sebenarnya," sanggah Malik dengan wajah tegas nan dingin yang terlihat misterius di mata Elrima. 

Lantas lelaki dengan rahang tegas itu menceritakan kejadian yang sebenarnya dari awal sampai akhir tanpa ada yang ditutup-tutupi. Mereka yang sudah menghakimi Malik tanpa tabayyun lebih dulu, wajahnya mendadak pucat dan saling sikut.

"Betul apa yang dikatakan lelaki itu, Neng?" tanya Pak Hamid dengan kecemasan mendera hatinya, memikirkan bagaimana nasib Elrima setelah berita ini santer.

"Kejadiannya cepet, Pak. Yang Neng inget waktu lagi ngaca, tiba-tiba ada laki-laki yang keluar dari WC terus nyeruduk," lirih gadis itu hampir berupa bisikan, tetapi tetap dapat didengar sebagian orang. 

Elrima juga sebenarnya bingung dan masih syok, hingga yang ia ceritakan berdasarkan apa yang dilihatnya saja.

"Jangan-jangan mereka sengaja janjian buat berbuat gak pantes di WC masjid. Saya tahu kamu sudah cukup umur untuk menikah, makanya sudah ingin menikmati hubungan suami istri," celetuk Pak Rusdi sambil menatap sinis Elrima. Sungguh api dendam di dadanya sulit sekali dipadamkan.

"Kurang ajar siah, Rusdi. Anak aing perempuan baik-baik, saya tahu sendiri pergaulan dia seperti apa," kesal Pak Hamid sambil menunjuk wajah mantan calon besannya yang seketika merah padam.

Bapaknya Elrima bisa tahan jika dia yang dihina atau direndahkan, tapi tidak dengan keluarganya. Ia bersedia menjadi tameng terdepan bagi anak gadis kesayangannya itu. Sebab, Pak Hamid sangat yakin, walaupun anaknya agak bebal, tapi tak suka bergaul sembarangan.

"Heh! Denger Hamid. Aing moal pernah ngahampura anak sia, samemeh si Reza bangkit tina kubur," rutuk Pak Rusdi sambil berlalu berdiri meninggalkan sekumpulan orang yang menatapnya dengan pandangan berbeda-beda. 

[Heh! Dengar Hamid. Saya gak akan pernah memaafkan anak kamu, sebelum si Reza bangkit dari kubur]

Pak Hamid mengurut dada seraya menggumamkan istighfar. Sampai suasana hening sejenak, lalu Pak lurah yang pro poligami tanpa ilmu itu bersiap memulai wejangannya. Kebetulan hari ini, lelaki dengan badan tambun yang memiliki tiga istri itu menjadi imam shalat jum'at, sekaligus pencitraan karena sebentar lagi pemilu akan diadakan. 

"Menurut saya tidak ada solusi lain untuk masalah ini selain si Neng mau dinikahi, entah itu oleh Jang Malik yang akan menjadikannya istri kedua, atau dengan saya yang tentunya lebih segala-galanya," jelas Pak Kardi yang sejak tadi terus memperhatikan wajah cantik Elrima.

Sementara yang ditatap sedari tadi memikirkan langkah apa yang harus ditempuhnya. Elrima sedikit berpikir licik untuk memanfaatkan Malik. 

Selama ini calon suami yang akan menghalalkannya selalu tumbang di tengah jalan. Entah apa yang menyebabkan mereka tiada, tapi rasanya tak mungkin hanya sekedar takdir jika korbannya bukan hanya satu dua orang melainkan belasan. 

Mungkin dengan menikah pura-pura ini, ia mampu memancing keluar seseorang yang selama ini bisa jadi mengawasinya dari dekat. Meskipun Elrima tahu jika pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan tak bisa dipermainkan, tetapi gadis itu merasa lelah dengan teror yang menghantuinya selama ini. 

Walaupun mereka tak pernah mengganggu Elrima secara langsung, tetap saja ia merasakan banyak kehilangan yang seolah tak ada habisnya. Lagipula Malik sudah memiliki istri, jadi gadis itu pikir tak akan terlalu sakit hati jika suatu saat dicampakkan Elrima.

"Pak Hamid kumaha?" tanya Pak lurah yang baru mengetahui nama lelaki paruh baya itu beberapa saat yang lalu.

"Saya serahkan keputusan sama si Neng. Karena dia sendiri yang akan menjalani rumah tangga itu," ucap Pak Hamid selepas menghela napas berat.

"Bismillah, saya bersedia menikah dengan Kang Malik, Pak." Mantap Elrima mengucap, ia jadi teringat sebuah film berjudul Bismillah kunikahi suamimu. 

Ah, secara kebetulan gadis itu berada dalam garis hidup yang sama. Biarlah jadi istri kedua pikiran Elrima, daripada seumur hidup harus penasaran dengan mereka yang mencoba melenyapkan calon suaminya.

Sementara Malik terperangah mendengar jawaban Elrima, ia mengusap kasar wajahnya yang lebam mengingat istrinya yang tengah hamil besar dalam keadaan lemah. Entah bagaimana reaksi Rina nanti, jika tahu suaminya menikah lagi.

Jauh di tempat lain dalam waktu bersamaan, Rina tengah berjuang antara hidup dan mati melahirkan buah hati tercinta. Wanita itu mengalami preeklamsia dan kini sedang tak sadarkan diri dalam meja operasi.

Sampai tak lama, suara tangisan bayi yang sangat kencang menggema di ruangan bersalin. Sayangnya tangisan itu tak mampu didengar Ibunya yang masih tak sadarkan diri. Seorang perawat keluar dari ruangan menghampiri Bu Santi yang duduk sambil mengucap syukur bersama Abdul.

"Alhamdulillah dedeknya sehat dan berat badannya bagus walaupun lahir prematur. Mohon segera kabarkan kepada suami Bu Rina untuk mengadzhani dedeknya. Saya tunggu di dalam ruangan," ucap perawat yang langsung berlalu kembali menuju tempat yang dimaksudnya.

"Abdul gimana Bapakmu sama Kang Malik?" tanya Bu Santi kepada putranya yang sejak tadi menghubungi dua laki-laki penting yang seharusnya ada di sana. 

"Bapak teh katanya segera nyusul, tapi Kang Malik gak tahu gimana soalnya gak diangkat-angkat telponnya, Mah." Abdul menjelaskan dengan wajah nelangsa memikirkan nasib kakaknya.

"Ya sudah gak papa, kita gak bisa berharap sama manusia yang suatu saat bisa bikin kecewa. Cukup Allah yang kita andalkan sekarang. Ayo kamu saja yang masuk ke ruangan dokter dan adzhani keponakanmu," perintah Bu Santi yang langsung diangguki oleh anak lelakinya. 

Sepeninggal Abdul, wanita paruh baya itu diam-diam menumpahkan tangisnya dalam kebisuan. Meratapi nasib sang putri yang sungguh malang.

Adzhan dan iqamah terdengar merdu dari mulut Abdul, bocah itu memang memiliki suara yang indah dan juga terbiasa melakukan panggilan shalat di masjid. 

"Laa ilaha illallah," bacaan iqamah terakhir bersama monitor pendeteksi alat vital yang langsung bersuara kencang juga, alarm yang berubah menjadi warna merah.

"Pasien kritis, Dok!" seru salah satu perawat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status