"Jangan-jangan itu si Rina yang tadi dibawa ke rumah sakit," celetuk Bu Riska--salah seorang tetangga yang tadi melihat keluarga Bu Santi pergi membawa Rina yang tampak tak sadarkan diri.
"Rina istri saya, Bu?" tanya Malik yang merasakan dentuman di dada bersama keringat dingin bercucuran.
"Innalillahi, dari sirine-nya sih, itu kayaknya meninggal. Kasian banget mana lagi hamil lagi," lanjut perempuan paruh baya itu tanpa memikirkan perasaan pria di sampingnya yang tadi pertanyaannya tak dijawab.
Perasaan Malik semakin tak karuan mendengar monolog dari wanita seusia Ibu mertuanya itu, langkahnya seperti terpaku dan tak siap melihat bagaimana keadaan Rina.
Seolah udara tak mampu ia hirup, napas Malik rasanya sesak. Namun, tak mungkin ia diam saja tanpa berbuat sesuatu. Sampai tak lama tenaga medis keluar dari dalam ambulans untuk memindahkan mayat yang sekujur tubuhnya ditutup kain.
Bu Riska, tetangga yang tadi berbicara sendiri ikut mendekati Malik yang hanya diam menatap seonggok tubuh yang akan diturunkan.
"Tenang aja, Kang Malik. Rina mungkin udah gak ada, tapi ada anak gadis saya yang siap menggantikan," ucap Bu Riska tanpa rasa bersalah sama sekali padahal ia masih tergolong saudara Bu Santi, tentu sejak lama perempuan itu merasa iri karena kakak sepupunya mendapatkan besan orang kaya.
Selepas dua orang itu menurunkan mayat dari ambulans, tak lama suami Bu Riska digandeng keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah lelaki itu menyiratkan luka yang dalam, tubuhnya lunglai seolah tak bertulang.
"Loh, Bapak kok keluar dari ambulans? Ikut nganter Rina juga tadi apa gimana?" cecar Bu Riska tak sabar karena suaminya hanya bungkam dan tak lama terduduk di atas tanah lalu menangis tersedu-sedu.
"Bapak kenapa ini teh, kok malah nangis? Ikhlaskan aja si Rina, lagian dia cuma keponakan kita, jadi gak perlu lebay juga, Pak!" gemas wanita paruh baya itu sambil mencoba mengangkat tubuh tambun suaminya.
Sopir ambulans yang baru saja turun menghampiri Pak Ujang yang meraung semakin kencang. Lelaki dengan seragam rumah sakit itu berjongkok dan memegang bahu pria yang tak mau berhenti menangis itu.
"Bapak yang sabar, ya. Kami ijin membawa jenazah memasuki rumah," pinta pria seumuran Malik itu, dibalas anggukan lemah Pak Ujang.
Dengan satu isyarat tangan dari sang sopir, dua orang membawa tandu menuju kediaman Bu Riska. Malik mengernyitkan dahi diliputi perasaan bingung, sementara istri Pak Ujang buru-buru mencegah dua orang yang akan menuju rumahnya itu.
"Kalian mau ke mana? Rumah si Rina di sana!" tunjuk Bu Riska pada bangunan minimalis di samping rumahnya.
"Rina siapa, Bu?" tanya tenaga medis yang dibuat bingung sejak tadi karena keluarga korban selain Pak Ujang, terlihat biasa-biasa saja.
Biasanya mereka yang kehilangan akan bereaksi seperti Pak Ujang, atau minimal menangis tanpa suara. Lain dengan Bu Riska yang terkesan cuek.
"Ini mayatnya Rina kan?" Bu Riska bertanya pada dua pria yang saling pandang di hadapannya, sekarang mereka mengerti kenapa wanita paruh baya itu tampak biasa-biasa saja.
Sampai tak lama Pak Ujang datang dipapah sopir ambulans tadi.
"Biarkan mereka masuk, Bu. Kasian Nenes kalau lama-lama di luar," lirih lelaki yang baru saja kehilangan putrinya itu.
"Ne--nes? Nenes siapa Bapak? Jangan ngawur atuh, yang meninggal teh si Rina lain?" bentak Bu Riska yang tak sanggup membayangkan andai mayat yang ditutup itu benar-benar anak kesayangannya.
Wanita paruh baya itu masih ingat, tadi sekitar pukul satu siang, Nenes pamit pergi jalan-jalan bersama Rahmat--anaknya Pak Rusdi. Bu Riska memang sempat melarang karena tak suka putrinya dekat-dekat dengan bukan orang kaya, walaupun masih selevel dengan keluarganya. Ia pikir jika ingin menjadi kaya maka harus bergaul dengan orang kaya pula.
"Tong pernah balik deui kadieu lamun keukeuh erek indit," rutuk Bu Riska tadi siang yang mengatakan jika Nenes nekad pergi maka jangan harap bisa kembali pulang.
Saucap jadi matak, saciduh jadi metuh. Ibarat pribahasa Sunda yang artinya setiap ucapan bisa jadi ada akibatnya, lantas pepatah itu terjadi pada Bu Riska sendiri.
Dengan tangan bergetar wanita berdaster batik itu membuka kain penutup wajah si mayit. Di sana terpampang jelas, wajah cantik Nenes yang kini pucat dengan bibir membiru. Bu Riska menutup mulut tak percaya lalu terduduk karena tak kuasa menahan beban berat yang kini dipikulnya.
"Kenapa kamu yang pergi, Neng. Kenapa harus kamu bukannya si Rina yang mati," lirih wanita yang baru saja kehilangan anak satu-satunya itu.
Ia begitu mengutuk takdir, tak sadar bisa saja kematian Nenes ada kaitannya dengan ucapan perempuan itu siang tadi.
Malik yang sempat tercengang akhirnya mampu menguasai keadaan, ia tadi sempat mendengar jika Rina dibawa ke rumah sakit, bisa jadi istrinya itu masih berada di sana. Sayangnya ia tak bisa masuk ke rumah yang dikunci untuk mengambil ponsel dan kunci mobil.
Akhirnya pria itu berinisiatif pergi ke rumah sakit naik angkutan umum, sepanjang jalan benaknya terus dipenuhi satu nama. Rina. Bahkan ia melupakan istri barunya yang kini tengah menunggu di tempat yang sama kala angkot yang ditumpangi Malik melewati Masjid Agung Cianjur.
Di tempat lain masih satu RT, jenazah Rahmat yang lebih dulu datang di rumah duka kini sudah selesai dimandikan. Rencananya si mayit akan dishalatkan di Masjid Agung tempat Elrima dan Pak Hamid yang masih setia menunggu Malik.
Sementara di dalam kamar miliknya, Pak Rusdi memperhatikan catatan berupa sekumpulan angka dan huruf yang membentuk plat nomor kendaraan. Ia mendapat informasi seri kendaraan truk yang menabrak Rahmat dari salah satu saksi.
"Teu salah deui, plat nomornya sama dengan mobil yang dulu menabrak Reza. Ieu pasti aya hubungana jeung si Parawan tua budak si Hamid." (Nggak salah salah lagi, plat nomornya sama dengan mobil yang menabrak Reza. Ini pasti ada hubungannya dengan si Perawan tua anak si Hamid)
Pak Rusdi bergumam sambil meremas secarik kertas itu dengan penuh letupan emosi, matanya berkilat menyiratkan api amarah yang terus berkobar.
"Budak aing paeh duanana, anak si Hamid ku aing rek dipodaran geus ieu!" (Anak saya meninggal dua-duanya, anak si Hamid sama saya mau dibunuh setelah ini) rutuk lelaki paruh baya itu sambil melempar dengan kasar secarik kertas itu ke sembarang arah.
Ia berjanji selepas ini akan menghabisi Elrima dengan tangannya sendiri.
Jenazah Rahmat juga Nenes akan dishalatkan bersama di Masjid Agung Cianjur. Tepat sebelum kedatangan rombongan pembawa keranda, Pak Hamid dan Elrima mulai gelisah karena Malik tak kunjung kembali.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikir Pak Rusdi. Ia yang dari kejauhan melihat Pak Hamid dan putrinya tengah duduk di teras masjid, langsung tersulut emosi. Berjalan tergesa seorang Bapak yang baru saja kehilangan putranya itu mendekat ke arah Elrima.Plak!"Belum puas maneh bikin si Reza mati, sekarang si Rahmat nyusul Kakaknya. Semua ini pasti ada kaitannya sama kamu!" bentak Pak Rusdi yang baru saja mendamprat pipi Elrima.Gadis yang sedang melamun memikirkan Malik, tentu kaget dengan serangan mendadak dari mantan calon mertuanya itu."Kurang ajar sia geus nyabok anak aing. Kadieu wani gelut jeung bapakna, lain ngan saukur wani ka awewe, dasar lalaki teu boga ced
"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman.Tak bisa Malik bayangkan bagaimana perasaan Rina yang tengah hamil tua dengan kondisi sakit-sakitan, harus menerima kabar dirinya yang melecehkan seorang gadis. Benar adanya jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kini lelaki itu merasakan sendiri bagaimana sebuah fitnah bersiap menghancurkan rumah tangganya."Jadi gimana kabar gadis itu, Jang?" tanya Pak Maman dengan nada tenang, berharap Malik menceritakan segalanya dengan jelas supaya hatinya tak lagi diliputi was-was andai berita itu benar adanya."Dia gak papa, Pak. Semuanya cuma salah paham," jelas lelaki yang masih setia berjongkok di dekat kaki mertuanya, lantas Malik menceritakan semua hal persis adanya kecuali bagian di
"Dasar lalaki brengsek! Ngomongna bakalan balik lagi secepatnya, tapi buktinya apa?!" umpat Pak Hamid yang membuat Elrima terlonjak kaget seketika.Pasalnya lelaki paruh baya itu biasa menahan lisan dan amarah, tetapi sang putri seolah melihat sosok lain dari Bapaknya sendiri kali ini. Sebegitu besar kah, harapan Pak Hamid agar Elrima bisa berumah tangga dengan tenang.Mata indah wanita itu mengembun, ia bukan perempuan cengeng, tetapi melihat Pak Hamid begitu ingin memperjuangkan kebahagiaannya, Elrima merasa terenyuh. Ah, andai tak ada yang menghabisi nyawa belasan calon suaminya, mungkin sang bapak akan selalu manis dan tak menunjukkan sisi lain dirinya.Namun, kehidupan kadang kala tak sesuai harapan. Kebahagiaan disyukuri, cobaan dijalani dengan sabar, tetapi Pak Hamid sudah merasa di ambang batas lapang dada, hingga kini menjadi sempit hati dan pikirannya memikirkan masa depan sang putri yang teru
"Kalian pasti mau minta tanggung jawab, kan? Ayo saya bantu buat labrak ke rumah sakit!" seru Bu Riska menggebu-gebu, tak sabar ingin melihat kehancuran keluarga Rina yang tak lain keponakannya sendiri."Bu apa-apaan! Rina itu keponakan kita. Apa Ibu gak mikirin keadaan dia yang lagi drop, terus kita mau bikin rusuh di sana gitu? Istighfar Bu, nyebut!" sentak Pak Ujang mencoba menyadarkan istrinya yang seperti kesetanan.Ia sedikit paham bagaimana Bu Riska masih kehilangannya Nenes, begitupun dirinya. Namun, tak lantas harus melampiaskan rasa tak terima dengan menghancurkan rumah tangga keponakannya sendiri."Diam!" teriak Bu Riska dengan mata nyalang menatap sang suami."Ibu udah capek ngalah terus sama si Santi. Saya sudah kehilangan anak, maka diapun harus merasakan hal yang sama!" raung wanita paruh baya dengan daster lusuh itu sembari memukul-mukul dadanya.Sejak pernikahan
"Silahkan kamu berbuat seenaknya tanpa memikirkan perasaan Rima, tetapi lihat nanti bagaimana tanggapan istri pertamamu jika kuperkenalkan anakku sebagai istri kedua suaminya?" ancam Pak Hamid dengan nada tenang tetapi membuat emosi Malik tersulut karena tersudut.Lelaki dengan pakaian sama sedari siang itu mengacak rambut frustasi. Benaknya kembali terbang kala sebuah permintaan menyakitkan meluncurkan dari mulut sang istri."Ceraikan aku dan nikahi perempuan itu!"Mungkin lelaki tak bertanggungjawab di luar sana akan bersuka ria saat istrinya meminta meninggalkan perempuan yang tengah sekarat demi istri kedua. Namun, tidak dengan Malik yang setia dan terlampau mencintai Rina."Hatiku takan pernah menduakanmu, Rin."'Ya, hatiku takan pernah mendua meski raga sudah menikahi perempuan lain'Ucapan Malik bukan dusta, ia memang tak pernah
"Pak! Jangan sampai Rina drop lagi mendengar berita ini," teriak Malik sebelum Pak Maman berbelok menuju ruangan di mana putrinya di rawat.Lelaki yang diliputi amarah pada sang menantu itu akhirnya menghentikan langkah. Tentu saat ini kondisi Rina yang paling utama. Tak terbayang andai putrinya tahu jika sang suami menikah lagi."Saya akan diam untuk saat ini karena si Neng. Tapi kalau kamu bertingkah sampai si Neng tahu semuanya, bapak gak akan tinggal diam," ancam Pak Maman sambil menunjuk wajah Malik yang langsung memucat tetapi sedikit lega."Semoga Bapak suatu saat bisa tahu yang sebenarnya dan mengerti kenapa saya melakukan ini," sanggah Malik sambil terus mengatur napas karena kesal.Posisinya kali ini memang serba salah. Melepaskan Elrima, tentu Pak Hamid tak akan tinggal diam. Lalu melanjutkan perni
"Jangan-jangan Akang emang beneran udah nikah lagi?" tebak perempuan yang sudah melepas hijabnya di hadapan sang suami.Malik langsung salah tingkah dengan dentuman jantung yang nyaris serasa akan meledak saking kagetnya dengan pertanyaan Rina."Akang kenapa sampe pucet gitu, padahal neng teh cuma bercanda," kekeh Rina sambil mengunyel-unyel cambang tipis lelaki di hadapan.Malik tersenyum lega melihat keceriaan sang istri, matanya menatap lekat sepasang netra berbentuk hazel itu begitu dalam. Ia mengusap punggung tangan Rina yang berada di pipinya dengan lembut."Apapun yang terjadi, cinta akang untukmu takan pernah berubah, Neng. Kamu adalah istri terbaik yang akang miliki," ucap lelaki itu penuh kejujuran terlihat dari sepasang maniknya yang coba Rina selami.Tentu istri mana yang tak terenyuh mendengar kata-kata manis dari sang suami. Semakin ber
Malik Al-Faruq : Tewas dalam keadaan menggelepar selepas terlindas truk.Tubuh Elrima lunglai kala membaca sederet nama dan peristiwa yang membuat dadanya ngilu. Ia terduduk dengan tangan bergetar tepat di samping tong sampah dapur.Buliran kristal berjatuhan menganak sungai di pipinya, hingga cairan bening itu menetes di atas kain kafan yang Elrima geletakan begitu saja di atas lantai."Kang Malik ... Maafin Rima, Kang ... Harusnya Akang gak kaya gini," lirih perempuan yang masih mengenakan celemek dapur, tergugu dalam penyesalan karena telah menyeret lelaki itu dalam pusara kematian.Pak Hamid yang baru selesai ngopi di teras depan, menuju dapur untuk menaruh gelas di wastafel. Namun, segera ia mempergegas langkah kala melihat sang putri terisak sambil menangkupkan wajah di antara lutut yang ditekuk.Lelaki paruh baya itu ikut berjongkok di dekat E