Share

ENAM

"Jangan-jangan itu si Rina yang tadi dibawa ke rumah sakit," celetuk Bu Riska--salah seorang tetangga yang tadi melihat keluarga Bu Santi pergi membawa Rina yang tampak tak sadarkan diri. 

"Rina istri saya, Bu?" tanya Malik yang merasakan dentuman di dada bersama keringat dingin bercucuran. 

"Innalillahi, dari sirine-nya sih, itu kayaknya meninggal. Kasian banget mana lagi hamil lagi," lanjut perempuan paruh baya itu tanpa memikirkan perasaan pria di sampingnya yang tadi pertanyaannya tak dijawab.

Perasaan Malik semakin tak karuan mendengar monolog dari wanita seusia Ibu mertuanya itu, langkahnya seperti terpaku dan tak siap melihat bagaimana keadaan Rina. 

Seolah udara tak mampu ia hirup, napas Malik rasanya sesak. Namun, tak mungkin ia diam saja tanpa berbuat sesuatu. Sampai tak lama tenaga medis keluar dari dalam ambulans untuk memindahkan mayat yang sekujur tubuhnya ditutup kain. 

Bu Riska, tetangga yang tadi berbicara sendiri ikut mendekati Malik yang hanya diam menatap seonggok tubuh yang akan diturunkan.

"Tenang aja, Kang Malik. Rina mungkin udah gak ada, tapi ada anak gadis saya yang siap menggantikan," ucap Bu Riska tanpa rasa bersalah sama sekali padahal ia masih tergolong saudara Bu Santi, tentu sejak lama perempuan itu merasa iri karena kakak sepupunya mendapatkan besan orang kaya. 

Selepas dua orang itu menurunkan mayat dari ambulans, tak lama suami Bu Riska digandeng keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah lelaki itu menyiratkan luka yang dalam, tubuhnya lunglai seolah tak bertulang. 

"Loh, Bapak kok keluar dari ambulans? Ikut nganter Rina juga tadi apa gimana?" cecar Bu Riska tak sabar karena suaminya hanya bungkam dan tak lama terduduk di atas tanah lalu menangis tersedu-sedu. 

"Bapak kenapa ini teh, kok malah nangis? Ikhlaskan aja si Rina, lagian dia cuma keponakan kita, jadi gak perlu lebay juga, Pak!" gemas wanita paruh baya itu sambil mencoba mengangkat tubuh tambun suaminya.

Sopir ambulans yang baru saja turun menghampiri Pak Ujang yang meraung semakin kencang. Lelaki dengan seragam rumah sakit itu berjongkok dan memegang bahu pria yang tak mau berhenti menangis itu.

"Bapak yang sabar, ya. Kami ijin membawa jenazah memasuki rumah," pinta pria seumuran Malik itu, dibalas anggukan lemah Pak Ujang.

Dengan satu isyarat tangan dari sang sopir, dua orang membawa tandu menuju kediaman Bu Riska. Malik mengernyitkan dahi diliputi perasaan bingung, sementara istri Pak Ujang buru-buru mencegah dua orang yang akan menuju rumahnya itu. 

"Kalian mau ke mana? Rumah si Rina di sana!" tunjuk Bu Riska pada bangunan minimalis di samping rumahnya. 

"Rina siapa, Bu?" tanya tenaga medis yang dibuat bingung sejak tadi karena keluarga korban selain Pak Ujang, terlihat biasa-biasa saja. 

Biasanya mereka yang kehilangan akan bereaksi seperti Pak Ujang, atau minimal menangis tanpa suara. Lain dengan Bu Riska yang terkesan cuek. 

"Ini mayatnya Rina kan?" Bu Riska bertanya pada dua pria yang saling pandang di hadapannya, sekarang mereka mengerti kenapa wanita paruh baya itu tampak biasa-biasa saja. 

Sampai tak lama Pak Ujang datang dipapah sopir ambulans tadi. 

"Biarkan mereka masuk, Bu. Kasian Nenes kalau lama-lama di luar," lirih lelaki yang baru saja kehilangan putrinya itu. 

"Ne--nes? Nenes siapa Bapak? Jangan ngawur atuh, yang meninggal teh si Rina lain?" bentak Bu Riska yang tak sanggup membayangkan andai mayat yang ditutup itu benar-benar anak kesayangannya. 

Wanita paruh baya itu masih ingat, tadi sekitar pukul satu siang, Nenes pamit pergi jalan-jalan bersama Rahmat--anaknya Pak Rusdi. Bu Riska memang sempat melarang karena tak suka putrinya dekat-dekat dengan bukan orang kaya, walaupun masih selevel dengan keluarganya. Ia pikir jika ingin menjadi kaya maka harus bergaul dengan orang kaya pula. 

"Tong pernah balik deui kadieu lamun keukeuh erek indit," rutuk Bu Riska tadi siang yang mengatakan jika Nenes nekad pergi maka jangan harap bisa kembali pulang. 

Saucap jadi matak, saciduh jadi metuh. Ibarat pribahasa Sunda yang artinya setiap ucapan bisa jadi ada akibatnya, lantas pepatah itu terjadi pada Bu Riska sendiri. 

Dengan tangan bergetar wanita berdaster batik itu membuka kain penutup wajah si mayit. Di sana terpampang jelas, wajah cantik Nenes yang kini pucat dengan bibir membiru. Bu Riska menutup mulut tak percaya lalu terduduk karena tak kuasa menahan beban berat yang kini dipikulnya.

"Kenapa kamu yang pergi, Neng. Kenapa harus kamu bukannya si Rina yang mati," lirih wanita yang baru saja kehilangan anak satu-satunya itu. 

Ia begitu mengutuk takdir, tak sadar bisa saja kematian Nenes ada kaitannya dengan ucapan perempuan itu siang tadi. 

Malik yang sempat tercengang akhirnya mampu menguasai keadaan, ia tadi sempat mendengar jika Rina dibawa ke rumah sakit, bisa jadi istrinya itu masih berada di sana. Sayangnya ia tak bisa masuk ke rumah yang dikunci untuk mengambil ponsel dan kunci mobil. 

Akhirnya pria itu berinisiatif pergi ke rumah sakit naik angkutan umum, sepanjang jalan benaknya terus dipenuhi satu nama. Rina. Bahkan ia melupakan istri barunya yang kini tengah menunggu di tempat yang sama kala angkot yang ditumpangi Malik melewati Masjid Agung Cianjur. 

Di tempat lain masih satu RT, jenazah Rahmat yang lebih dulu datang di rumah duka kini sudah selesai dimandikan. Rencananya si mayit akan dishalatkan di Masjid Agung tempat Elrima dan Pak Hamid yang masih setia menunggu Malik.

Sementara di dalam kamar miliknya, Pak Rusdi memperhatikan catatan berupa sekumpulan angka dan huruf yang membentuk plat nomor kendaraan. Ia mendapat informasi seri kendaraan truk yang menabrak Rahmat dari salah satu saksi. 

"Teu salah deui, plat nomornya sama dengan mobil yang dulu menabrak Reza. Ieu pasti aya hubungana jeung si Parawan tua budak si Hamid." (Nggak salah salah lagi, plat nomornya sama dengan mobil yang menabrak Reza. Ini pasti ada hubungannya dengan si Perawan tua anak si Hamid) 

Pak Rusdi bergumam sambil meremas secarik kertas itu dengan penuh letupan emosi, matanya berkilat menyiratkan api amarah yang terus berkobar.

"Budak aing paeh duanana, anak si Hamid ku aing rek dipodaran geus ieu!" (Anak saya meninggal dua-duanya, anak si Hamid sama saya mau dibunuh setelah ini) rutuk lelaki paruh baya itu sambil melempar dengan kasar secarik kertas itu ke sembarang arah. 

Ia berjanji selepas ini akan menghabisi Elrima dengan tangannya sendiri. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status