Share

TUJUH

Jenazah Rahmat juga Nenes akan dishalatkan bersama di Masjid Agung Cianjur. Tepat sebelum kedatangan rombongan pembawa keranda, Pak Hamid dan Elrima mulai gelisah karena Malik tak kunjung kembali.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikir Pak Rusdi. Ia yang dari kejauhan melihat Pak Hamid dan putrinya tengah duduk di teras masjid, langsung tersulut emosi. Berjalan tergesa seorang Bapak yang baru saja kehilangan putranya itu mendekat ke arah Elrima. 

Plak! 

"Belum puas maneh bikin si Reza mati, sekarang si Rahmat nyusul Kakaknya. Semua ini pasti ada kaitannya sama kamu!" bentak Pak Rusdi yang baru saja mendamprat pipi Elrima. 

Gadis yang sedang melamun memikirkan Malik, tentu kaget dengan serangan mendadak dari mantan calon mertuanya itu. 

"Kurang ajar sia geus nyabok anak aing. Kadieu wani gelut jeung bapakna, lain ngan saukur wani ka awewe, dasar lalaki teu boga cedo!," (Kurang ajar kamu sudah menampar anak saya. Sini lawan bapaknya, bukan cuma berani sama perempuan, dasar laki-laki gak punya etika) rutuk Pak Hamid sambil mencengkram kemeja Pak Rusdi. 

Sebelum bapak Rima menghajar lelaki paruh baya itu, Pak Ustadz dan yang lainnya lebih dulu datang melerai perkelahian. 

"Istighfar Bapak-Bapak! Ada apa ini teh ribut-ribut. Kalian gak lihat ada mayit yang harus segera diurus?" tegur seorang ustadz seusia Pak Hamid itu menasihati keduanya. 

"Dia yang sudah menyebabkan anak saya mati, Pak. Perawan tua pembawa sial ini yang membuat kedua putra saya meninggal," kesal Pak Rusdi sambil menunjuk wajah Elrima penuh emosi, tangannya bergetar hebat memperlihatkan urat-urat hijau yang menonjol. 

"Astaghfirullah! Jangan menyalahkan orang lain atas meninggalnya almarhum, Pak. Ini semua sudah takdir Allah, tak ada istilah pembawa sial dalam Islam, semua tak akan terjadi tanpa seijin-Nya." Pak Ustadz berkata tenang sambil mengusap punggung Pak Rusdi agar emosinya mereda. 

Jenazah Rahmat dan Nenes sudah berada di dalam masjid, seseorang memanggil Pak Ustadz agar segera melakukan prosesi shalat jenazah. Mendengar nama putranya disebut seketika Pak Rusdi terduduk lemas, ia menangis sesenggukan sambil membenamkan wajah di antara lutut. 

"Kalian pasti gak tahu rasanya kehilangan anak dengan cara tragis. Kalian gak akan ngerti gimana saya yang sendirian mengurus Reza dan Rahmat dengan tangan ini," lirih lelaki paruh baya itu sambil melihat dua telapak tangannya yang bergetar dengan pandangan mengembun. 

Masih terekam jelas di benak Pak Rusdi, kala Rahmat baru saja berhenti menyusu di usia dua tahun, istrinya pamit pergi bekerja di luar negeri karena himpitan ekonomi. Sayangnya setelah itu Ibu dari dua anaknya tak pernah lagi memberi kabar hingga kini. 

Pak Rusdi membesarkan dua putranya seorang diri, banting tulang menjadi sopir angkot. Tak mudah membesarkan dua anak lelaki di tengah ekonomi seadanya, tetapi saat mereka dewasa justru Sang Maha Pemilik mengambilnya kembali. 

Awan hitam berarak-arak menggumpal di sekitar Cianjur. Seolah semesta ikut berduka, sampai tak lama rintik gerimis mulai berjatuhan terbawa angin. Mata lelaki paruh baya itu berubah nanar, mengingat kembali Rahmat yang sangat menyukai hujan. 

"Kamu yang tenang di sana, Jang. Do'a kan semoga bapak bisa membalas semua perbuatan orang yang sudah menghilangkan nyawamu." Suara Pak Rusdi begitu lirih bagai desauan angin di musim penghujan.

"Pak, ayo kita shalatkan jenazah, mumpung hujan masih gerimis dan semoga saja setelah ini langit cerah," ajak Pak Ustadz yang lebih dulu berdiri, ia memutuskan dengan ataupun tanpa Pak Rusdi, tentu mayit harus segera dishalati dan dimakamkan. 

Akhirnya para lelaki itu memasuki masjid untuk melaksanakan shalat jenazah, menyisakan Elrima yang memandang hujan dengan tatapan sendu. Kepalanya terus berputar mengingat berbagai kehilangan yang menimpanya bertubi-tubi. 

"Kenapa begini Tuhan? Kenapa harus ada kematian di setiap rencana pernikahan yang kujalani?" gumam perempuan itu dengan mata yang mulai basah mengandung tangis. 

Di tempat lain di waktu yang sama. Malik baru saja tiba di RSUD Sayang di mana istrinya di rawat. Pria itu segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan pasien bernama Rina Nurjanah. 

Seorang suster lalu mengantar Malik menuju ruangan di mana wanita yang sangat dicintainya itu berada. Sampai beberapa meter sebelum tiba di tempat Rina dirawat, pria itu melihat Pak Maman juga Abdul yang wajahnya terlihat penuh duka. 

Keringat dingin bercucuran membasahi kemeja Malik, ketukan sepatu suster bersahutan dengan degup jantung lelaki itu yang berpacu dua kali lipat. Sampai di dekat Pak Maman ia mengucap salam. 

"Waalaikumsalam. Allahu Akbar! Jang Malik kenapa bisa babak belur begini, suster apa bisa menantu saja diperiksa dulu," sambut Bapak mertua yang sekilas memeriksa wajah menantunya yang dipenuhi lebam. 

Pak Maman memang begitu menyanyangi Malik seperti putranya sendiri, tentu mertua mana yang tak akan menyayangi menantu yang sangat baik juga dermawan, nyaris tiap bulan suami Rina itu selalu mengirim uang dengan jumlah yang tak sedikit. 

Bukan karena materi yang membuat Pak Maman begitu menghormati Malik, melainkan setiap pujian Rina yang selalu bercerita pada kedua orang tua, betapa baiknya sang suami. 

Maka ketika ada masalah, Pak Maman tak buru-buru menghakimi melainkan memberikan kesempatan pada Malik untuk menjelaskan masalahnya setelah ini. 

"Bisa, Pak. Mari ikut saya," ajak suster yang belum beranjak itu. 

"Nanti saja, Sus. Saat ini saya ingin bertemu istri dulu," tolak Malik yang kemudian diangguki sang suster yang langsung pamit undur diri. 

"Rina sekarang gimana, Pak?" tanya pria bertubuh tinggi itu tak sabar setelah punggung suster tak lagi terlihat.

"Alhamdulillah bayimu lahir sehat, Jang. Selamat karena sudah menjadi seorang Bapak," ucap Pak Maman yang lebih dulu memberikan kabar bahagia agar Malik lebih bisa berlapang dada dengan keadaan istrinya. 

"Bukannya kandungan Rina belum cukup bulan ya, Pak? Kok bisa melahirkan secepat ini?" cecar pria yang begitu mencintai istrinya itu, membuat Pak Maman hanya mampu menghela napas berat. 

"Itu dia masalahnya, Jang. Rina denger kamu kena musibah, dia langsung syok dan terpaksa bayinya harus segera dikeluarkan," jelas Pak Maman yang tak tega membicarakan secara gamblang di mana menantunya itu disangka melecehkan seorang gadis, biarlah nanti Malik sendiri yang bercerita, pikirnya. 

"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status