Share

DELAPAN

"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman. 

 

Tak bisa Malik bayangkan bagaimana perasaan Rina yang tengah hamil tua dengan kondisi sakit-sakitan, harus menerima kabar dirinya yang melecehkan seorang gadis. Benar adanya jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kini lelaki itu merasakan sendiri bagaimana sebuah fitnah bersiap menghancurkan rumah tangganya. 

 

"Jadi gimana kabar gadis itu, Jang?" tanya Pak Maman dengan nada tenang, berharap Malik menceritakan segalanya dengan jelas supaya hatinya tak lagi diliputi was-was andai berita itu benar adanya. 

 

"Dia gak papa, Pak. Semuanya cuma salah paham," jelas lelaki yang masih setia berjongkok di dekat kaki mertuanya, lantas Malik menceritakan semua hal persis adanya kecuali bagian di mana ia dipaksa menikahi Elrima. 

 

"Syukur kalau seperti itu, bapak lega dengernya, Jang. Tapi kenapa kamu bisa sampe babak belur begini? Siapa yang udah bikin menantu bapak terluka?" cecar Pak Maman dengan tatapan iba, sebab wajah sang menantu dipenuhi lebam. 

 

"Biarkan urusan ini saya yang selesaikan. Bapak jangan khawatir, keadilan pasti di tegakkan, biar mereka tak seenaknya lagi main hakim sendiri," pungkas Malik dengan tangan mengepal, ia dendam bukan karena sudah dipukuli, melainkan karena kejadian itu dirinya jadi tak bisa berada di saat sang istri sangat membutuhkan. 

 

"Bapak ngerti, Jang. Semoga semua masalah ini cepet selesai dan si Neng bisa bangun lagi." Pak Maman menghela napas berat selepas mengabarkan berita menyedihkan itu. 

 

"Bangun lagi? Maksudnya gimana, Pak? Bukannya Rina sedang ditangani dokter karena baru saja operasi caesar?" tebak Malik yang tentu tak begitu mengerti prosedur operasi seperti apa, andai Rina sadar mungkin saat ini sudah bisa ditemui sang suami. 

 

"Mungkin terlalu berat tubuh dan pikirannya menanggung beban, jadi Allah biarkan si Neng istirahat panjang dulu. Kalau kata istilah medis, namanya koma. Seperti tanda baca, si Neng butuh jeda untuk bertahan melanjutkan hidup," tutur Pak Maman yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia itu. 

 

Malik mengusap wajahnya kasar, tak menyangka kejadian ini bisa sampai membuat istrinya koma. Ah, andai waktu bisa diputar mungkin ia lebih memilih pulang saat menemukan toilet pria tak bisa dipakai, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. 

 

Namun, takdir tak bisa dipungkir, semua sudah menjadi garis hidup Malik saat ini. Begitupun dengan Rina yang tak pernah memilih ingin koma. 

 

"Coba bapak tanya suster dulu apa si Neng udah bisa dijenguk atau belum, siapa tahu mendengar suaminya datang si Neng bisa sadar," harap Pak Maman lalu beranjak menuju tempat perawat jaga, sampai tak lama ia kembali bersama seorang suster. 

 

"Suami Bu Rina silahkan ikut saya," ajak sang suster yang ternyata menyuruh Malik berganti pakaian serba hijau. 

 

Tak hanya itu, tubuh lelaki itu disterilisasi agar tak ada virus dari luar yang bisa membuat kondisi Rina kian memburuk. Malik masuk sendiri ke dalam ruangan yang terasa dingin, matanya mengembun kala melihat sang istri terbaring lemah dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Wanita itu sudah dipindahkan ke ruang rawat. 

 

Lutut lelaki itu terasa lemas saat melangkah pelan mendekat bed pasien yang terbaring lemah sang istri di atasnya. Bunyi alat pemantau keadaan Rina terdengar pilu di telinga Malik. Lantas ia duduk di dekat wanita yang sangat dicintainya itu. 

 

"Assalamu'alaikum, Neng. Akang datang ...," lirih Malik yang tak sanggup menahan buliran bening berjatuhan di pipinya, jantungnya serasa diremas sebongkah tangan yang begitu dingin. 

 

Ia genggam jemari sang istri berharap aliran hangat dari tubuhnya bisa membuat Rina sadar. 

 

"Neng, anak kita udah lahir, tapi akang belum jenguk. Hayu Neng bangun, kita liat si dedek sama-sama," lanjut Malik sambil menempelkan tangan Rina di pipinya, lantas ia bangkit mengusap ubun-ubun sang istri lalu mencium kening begitu lama. 

 

Sebelah tangan Rina yang masih digenggaman Malik tiba-tiba jarinya bergerak samar, saat wajah sang istri ditatap Malik, meluncur setetes bening di pipi pualam Rina yang tampak pucat. 

 

Satu menit, dua menit sampai di menit ke lima Rina membuka mata. Silau lampu ruangan membuat irisnya bergerak-gerak, lantas ia menemukan seseorang yang menatapanya dengan haru.

 

"Neng, ini akang. Kamu sudah sadar, alhamdulillah." Malik berseru senang sambil memeluk tubuh lemah Rina dan mencium wajahnya bertubi-tubi. 

 

"Neng tunggu sebentar, akang panggilkan dokter," ucap lelaki yang tengah terharu itu, teringat pesan suster yang menyuruhnya segera mengabarkan andai Rina siuman. 

 

Rina yang masih setengah sadar terus mengedarkan pandangan di sekitar ruangan, sampai ia meraba perut karena teringat bayinya. Belum bisa duduk, tapi dapat meraba perban yang menutup bekas operasi, Rina menyimpulkan jika ia sudah melahirkan dalam keadaan tak sadar. 

 

Tak lama dokter datang memeriksa keadaan Rina dan menanyakan beberapa hal karena dikhawatirkan pasien mengalami amnesia.

 

"Bu Rina ingat kejadian terakhir sebelum pingsan?" tanya dokter yang tak sadar mengorek luka yang sejenak dilupakan Rina.

 

Wanita itu kembali teringat kabar sang suami melecehkan seorang gadis. Malik yang setia menunggui Rina mendapat tatapan nyalang dari perempuan yang sangat dirindukannya itu. 

 

Sementara sang dokter yang melihat ekspresi pasiennya, menyimpulkan bahwa pasien memiliki masalah dengan sang suami sebelum pingsan, jika Rina mengingat maka tentu ia tidak amnesia. 

 

"Alhamdulillah keadaan Bu Rina sudah mulai stabil, usahakan ia jangan sampai emosi karena takut tekanan darahnya naik lagi. Mohon Bapak bersabar jika pasien belum mau ditemui," jelas sang dokter pada Malik, tentu ia sering mendapat pasien yang penyakitnya berawal dari psikis seperti Rina. 

 

"Saya mengerti, dok." Malik mengantar dokter ke luar ruangan setelah lelaki dengan jas putih itu berpamitan. 

 

Pintu tertutup rapat, pria dengan kemeja sedikit koyak di beberapa bagian itu berjalan mendekat ke arah Rina. Ia kembali duduk di kursi tadi, lalu mencoba menggenggam tangan sang istri yang langsung ditepis kasar. 

 

Rina sejak tadi memperhatikan penampilan sang suami yang memprihatinkan, satu sisi hatinya merasa iba, tetapi di sisi lain ia semakin yakin tentang kebenaran berita yang dibawa Abdul. Buktinya Malik sampai diamuk masa, bisa dipastikan kejadian pelecehan itu benar adanya. 

 

Rina menatap kosong tembok putih dengan lukisan bunga di sisi kanan, sebutir kristal bening jatuh dari kelompaknya yang sayu.

 

"Akang ... tega," lirihnya begitu pelan tetapi mampu membuat hati Malik serasa disayat-sayat pisau berkarat. 

 

"Neng ...." Malik frustasi hendak menyentuh tangan Rina tetapi langsung ditepis kasar. 

 

"Ceraikan aku dan nikahi perempuan itu!" cicit wanita yang emosinya masih belum stabil karena baru saja melahirkan itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status