Share

LIMA

"Silahkan kamu laporkan saya ke polisi, tapi siap-siap aja netizen ngamuk kalau video pelecehan itu tersebar luas," sanggah Elrima yang tak sedikitpun merasakan gentar. 

Kematian bertubi-tubi yang merenggut calon suaminya membuat gadis itu semakin kuat. Tak ada yang ditakutinya di dunia ini, sebab celaka tak celaka, ada masalah ataupun tidak, semua yang bernyawa pasti akan mati.

Malik terperangah mendengar ucapan Elrima yang tak terlihat terintimidasi sedikitpun, tetapi ia segera menguasai suasana dengan memasang tampang dinginnya kembali. 

Malik Al-Faqruq memang cukup berkuasa di negeri ini. Ia adalah salah satu pengusaha muslim yang sukses tetapi tak tersorot media. Tampan, kaya dan memiliki keluarga bahagia, hidupnya seolah sempurna, tetapi ada satu hal yang menjadi kelemahan lelaki itu, yaitu sosial media. 

Saat ini media masa dikuasai pemerintah, bisa saja ia ikut bergabung membangun citra di layar kaca, tetapi tentu dana yang digelontorkan tak sedikit. Sementara lelaki itu tentu memilih menggunakan uangnya pada hal lain yang lebih banyak manfaatnya. 

Satu lagi, ia lupa jika netizen di negeri ini dapat digerakan sebuah berita viral yang belum tentu kebenarannya. Elrima cukup cerdik untuk memanfaatkan sosial media, pikir Malik. 

"Jadi kalian mau apa?" tanya pria dengan rahang tegas itu, mencoba bernegosiasi mencari jalan tengah. 

"Bapak gak minta banyak, cukup kamu bertanggung jawab pada Rima, itu saja." Pak Hamid berkata sambil menghela napas berat, tentu ia sedikit kecewa karena Malik malah ingin balik menyerangnya. 

Namun, lelaki paruh baya itu cukup memaklumi karena keadaan menantu barunya sangat memprihatinkan. Mungkin ia juga akan sedikit membantu melaporkan masalah ini kepada polisi atas kasus penganiayaan, tetapi tidak dengan melibatkan Elrima seperti yang diancamkan Malik tadi.

"Rumah, mobil, kendaraan atau berapa milyar yang Bapak minta, saya siap berikan, tapi dengan satu syarat." Malik menjeda kalimantnya untuk melihat ekspresi lawan bicara. 

Wajah Pak Hamid tampak serius mendengarkan, berbeda dengan Elrima yang memutar bola matanya jengah karena merasa dianggap perempuan materialistis. 

"Setelah saya berikan apa yang kalian minta, tolong jangan pernah muncul lagi di hadapan saya apalagi keluarga saya," lanjut Malik yang merasa rencananya kali ini akan berhasil. 

Sebagai orang yang berada, tentu lelaki dengan cambang tipis itu sering mendapatkan situasi semacam ini, dan ujung-ujungnya pasti uang dan masalah selesai kemudian. Namun, lain dengan Pak Hamid dan Elrima yang tentunya tak silau dengan tawaran menggiurkan itu. 

"Maaf sebelumnya, tapi anak saya lebih berharga dari semua yang kamu sebutkan itu, Nak. Mungkin kamu tak terpikirkan jika Rima bisa dilecehkan oleh laki-laki lain setelah ini karena dianggap sudah tidak suci. 

Kamu mungkin bisa bergerak bebas sebagai lelaki yang secara tak langsung menodai, tetapi lain lagi dengan anak gadis saya yang pasti akan dipandang sebelah mata." Pak Hamid menjeda kalimatnya dengan helaan napas.

"Rima tak mungkin lagi bisa hidup dengan tenang di kampung setelah namanya tercoreng, juga Bapak tak bisa biarkan ia pergi sendirian tanpa mahram. Untuk itu saya minta Nak Malik bertanggung jawab dengan membawa Rima pergi dari sini," lanjut lelaki paruh baya yang sangat mencintai putrinya, dengan berbagai pertimbangan ia terpaksa menikahkan Elrima dengan lelaki yang dianggap orang melecehkan anaknya itu. Semua tentu demi kebaikan sang putri sendiri. 

Malik yang mendengar penuturan Pak Hamid memijat pelipis dengan jembol dan ibu jari. Hatinya sedikit terketuk setelah diberikan pengertian, ia paham sekarang kenapa lelaki paruh baya itu mendesak agar Malik menikahi anaknya. 

"Baik, Pak. Saya akan bertanggung jawab pada putri Bapak, tetapi dengan satu syarat." Pria berkulit eksotis itu menatap satu persatu lawan bicaranya. 

"Saya minta Rima tak pernah muncul di hadapan istri pertama saya, maupun mengaku pada publik jika ia adalah istri Malik Al-Faruq," tandas Malik yang kemudian meringis karena pipinya mulai terasa berdenyut.

"Bapak tak menuntut lebih dari tanggung jawabmu sebagai suami pada Rima. Baiklah, tunggu sebentar sepertinya lukamu itu harus segera diobati," ucap Pak Hamid seraya langsung berdiri, ia hendak membeli obat-obatan di apotek terdekat. 

Sepeninggal lelaki paruh baya itu, suasana mendadak canggung. Dalam bangunan masjid nan luas itu hanya ada Malik dan Elrima. Sebab pengajian akan dilangsungkan bakda asar dan semua orang memutuskan menunggu sembari menikmati panorama alun-alun Cianjur. 

Seketika pikiran Elrima travelling, gadis itu kembali mengingat kejadian di toilet dan buru-buru menutup dadanya secara tak sadar. 

"Kenapa kamu? Ngarep saya grepek-grepek ya?" ejek Malik yang berani berbicara seperti itu karena Elrima sudah sah menjadi istrinya, jiwa dingin lelaki itu mulai terkikis status pernikahan yang mengungkung keduanya. 

"Enak aja! Walaupun udah sah, tapi saya gak mau Anda grepek-grepek ya, Om. Awas aja kalau berani macem-macem," ancam gadis itu sambil memasang jurus karateka, lain lagi dengan hatinya yang mulai berdegup aneh. 

Tawa Malik pecah melihat tingkah konyol istri barunya, sejenak ia lupa pada masalah yang baru saja menimpanya. 

"Heh, Rima! Kamu itu udah cukup berumur, ngapain panggil saya Om kaya anak SMA, gak sadar diri apa gimana?" seloroh Malik hendak mengerjai Elrima dengan mencoba menyentuh pundaknya. 

Namun, dengan sigap wanita itu hendak memelintir tangan Malik ke belakang, tetapi pria yang lebih jago bela diri itu segera membalik keadaan dengan melingkarkan tangan Elrima pada bahunya, hingga jarak wajah mereka hanya satu jengkal. 

Tak ada kata yang terucap, hanya degup jantung yang saling bersahutan dalam kebisuan. Mata elang Malik bersirobok dengan sepasang iris kecokelatan milik Elrima yang sangat indah. 

"Ehem! Masih siang ini!" tegur Pak Hamid yang datang tanpa disadari sepasang pengantin baru itu.

"Obati luka suamimu dulu, setelah ini kita pulang untuk berkemas, Neng." Lelaki paruh baya itu menyodorkan kotak P3K yang baru saja ia beli dari apotek, sudut hatinya terasa teriris kala mengingat sebentar lagi akan berpisah dengan sang putri. 

Dengan canggung Elrima mulai membersihkan luka di wajah suaminya menggunakan kapas yang sudah dibubuhi alkohol, tangannya sedikit gemetar karena baru kali ini sangat dekat dengan seorang lelaki. 

Sementara Malik mencari ojek lain untuk dipandang selain wajah Elrima yang terlihat begitu cantik dari dekat. Setelah selesai diobati, pria itu pamit pulang sebentar untuk mengambil mobil di rumah istri pertamanya.

"Saya berjanji akan segera kembali," pamit pria itu yang langsung dibalas tepukan pelan di pundak kekarnya dari sang mertua. 

Malik tergesa pulang, banyak pasang mata yang memperhatikan penampilannya yang urakan. Sampai di rumah mertuanya itu, ia dikejutkan suara sirine ambulans yang baru saja datang dan berhenti tepat di depan rumah keluarga istrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status