Share

Membujuk

"Abang bangun, udah azan." Sari mengguncang lembut tubuh Hasan. Hasan hanya menggeliat, membalik badan memunggungi Sari. 

Wanita manis berlesung pipit itu, tak kehilangan akal. Dia juga berpindah posisi, ke hadapan Hasan yang masih dibuai mimpi. 

"Bang, bangun. Habis sholat, tidur lah lagi." Sari masih tetap mencoba membangunkan Hasan. 

"Sebentar lagi." Hasan kembali memunggungi Sari. 

Sari melengos melihat suaminya yang sangat sukar dibangunkan. Ditinggalkannya suaminya itu, untuk segera menunaikan sholat Subuh. Sepertinya percuma, kalau dia masih memaksa membangunkan Hasan sekarang. 

Sari sholat sendiri. Meski sudah menjadi kebiasaan, namun di lubuk hatinya. Teringin sangat, sholat diimami Hasan. Jangankan mengimami, bahkan Hasan sholat sendiri pun, bisa dihitung dengan jari.

Sudah jam enam lewat. Sari sudah pun selesai memasak. Tapi tak jua Hasan bergeming dari peraduannya. 

"Bang, udah jam enam lewat." Sari kembali membangunkan Hasan. Sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi harus membangunkan Hasan berulang-ulang. Kalimat yang terucap dari bibirnya yang tipis pun tetap sama. Jangankan Sari, tetangga kiri kanannya sudah hafal bagaimana cara Sari membangunkan Hasan. 

Begitulah resiko tinggal di rumah petak. Yang satu dinding dengan tetangga. Jangankan bicara dengan suara keras. Bicara berbisik saja pun tetangga dengar. Apalagi rumah yang dikontrak Hasan dan Sari, dindingnya masih separuh batu, separuhnya lagi dari papan.

"Bang, biasanya pagi gini kan, rame anak sekolah sama orang kerja. Apa gak narik?" Sari tetap dengan sabar membangunkan Hasan. 

Hasan bangun juga. Begitulah setiap pagi yang harus dilaluinya. Sari takkan menyerah sampai Hasan bangun dan duduk. Apabila Hasan telah duduk dan beranjak ke kamar mandi, baru Sari membangunkan Rehan anak semata wayangnya. 

Cukup lama, Hasan terpekur di kamar mandi. Ternyata apa yang dilihatnya tentang tubuh Rosa hanya mimpi. Ada rasa sukur dalam hatinya. Bukan karena dia lelaki tak normal. Namun, dia tak ingin mengkhianati Sari. 

Sarapan dan teh manis telah tersedia di meja yang terbuat dari kayu sederhana, yang Hasan buat sendiri. Hari ini, Sari memasak lauk yang sangat menggugah selera buat Hasan. Sari masak kepala ikan kesukaan Hasan dan ayam goreng kesukaan Rehan. Biasanya Sari hanya memasak tahu, tempe. Paling kalau Hasan memberi jatah belanja lebih sedikit dari biasa. Sari bisa memasak telur balado buat lauk makan. Tapi karena tadi malam, Hasan memberi uang cukup banyak. Sari berpikir, tak mengapa sesekali memanjakan lidah. Agar tak hanya menyesap liur, saat mendengar orang lain bercerita betapa enaknya gulai kepala ikan dan ayam goreng kriuk yang seperti banyak dijual dipinggir jalan. 

Dengan lahap Hasan menyantap sarapannya. Nafsu makannya meningkat dua kali lipat, melihat menu yang disediakan istrinya. 

"Dek, doakan Abang. Biar sering sering dapat penumpang royal kayak tadi malam. Biar sering makan enak, kayak gini. Biar badan Rehan gemuk. Gak sakit-sakitan lagi," kata Hasan dengan suara sedikit dikeraskan, agar Sari yang sedang memandikan anaknya di kamar mandi, bisa mendengar. 

"Insha Allah, selalu Adek doakan. Tapi alangkah baiknya, Abang sendiri yang meminta sama Allah. Allah itu suka dirayu, Bang," sahut Sari. Dia  menggendong Rehan yang berbalut handuk, dan membawanya lagi ke kamar untuk dipakaikan bedak dan baju. 

"Adek yang berdoa, Abang yang usaha. Kan komplit." Hasan selalu berkelit, kalau Sari mulai menyinggung soal ibadah. Mulutnya sampai belepotan, karena sambil makan juga berbicara. Dia sangat menikmati gulai kepala ikan masakan Sari. Tak ada yang terlewat, dia hisap daging dan lemak ikan yang menempel di setiap tulang kepala ikan itu.

"Beda lah, Bang. Kalau Abang yang minta sendiri. Pasti tadi Abang gak langsung

sholat, siap mandi kan?" Sari keluar kamar dengan menggendong Rehan. Wajahnya sengaja dibuat cemberut.

"Udah kesiangan. Anak Ayah, udah ganteng. Makan yang banyak ya Nak. Pake ayam goreng. Nanti malam, Ayah mau mancing. Biar kita makan ikan yang besar." Hasan sengaja mengalihkan perhatian kepada Rehan. Kalau melayani Sari, bisa panjang rentetan kalimat alasan yang harus dia buat. Untuk menampik kata-kata Sari, yang selalu mengingatkannya tentang sholat. 

"Haduh kenyangnya." Hasan mengusap-ngusap perutnya seusai dia mencuci tangan. 

"Alhamdulillah, gitu Bang." Sari membenarkan ucapan yang seharusnya diucapkan Hasan. 

"Iya, Abang mau bilang gitu tadi. Udah duluan Adek." Hasan memang mahir berkelit. 

"Halah, alasan." Sari tak mudah percaya begitu saja. Dia hafal benar watak suaminya. 

Hasan terkekeh melihat mimik wajah Sari yang cemberut. Dicubitnya hidung bangir Sari. Sari semakin cemberut sembari mengelus pucuk hidungnya yang memerah. Sejak mereka pacaran, kebiasaan Hasan itu tak pernah berubah. Dia sudah tak bisa marah, untuk hal yang satu itu. 

Hasan adalah sosok suami dan ayah baik, bagi Sari dan Rehan, anak semata wayang mereka. Dia juga selalu jujur, tentang setiap penghasilan dari hasil jerih payahnya. Hanya soal ibadah yang selalu membuat Sari suka kesal dengan Hasan. Untuk yang satu itu, Hasan selalu punya seribu satu alasan.

"Abang berangkat narik dulu ya. Rehan masih demam? Biar setengah hari nanti, Abang balik. Kita bawa Rehan berobat." Hasan memegang kening Rehan, memeriksa kondisi anaknya itu. 

"Udah nggak Bang. Alhamdulillah. Semalam sore, Sari urut pakai minyak bawang. Dari tadi malam udah dingin badannya. Tapi, Sari pengen ke rumah Mamak. Udah lama gak kesana. Mumpung ada uang, kita bisa beli makanan buat Mamak." 

"Sukurlah. Ya sudah, nanti Abang balik. Minta uang bensin, Dek." Hasan memang selalu menyerahkan sepenuhnya hasil ngojek pada Sari. Makanya setiap akan narik, dia selalu minta uang bensin. 

Sari masuk ke dalam kamar. Dan mengambil selembar uang dua puluhan ribu buat Hasan. Setelah menerima uang itu, Hasan berangkat. Tak lupa diciumnya pipi kedua orang yang disayanginya itu. 

Sari dan Rehan memandang Hasan yang terus berlalu hingga tak tampak di pandangan mata. Dengan sebait doa, semoga Hasan pulang membawa hasil jerih payah yang halal. Terkadang, tak jarang Hasan pulang dengan membawa uang pas-pasan buat beli beras dan isi bensin untuk keesokan harinya saja.

★★★KARTIKA DEKA★★★

"San, sakit kau Nak?" Mamak Hasan bertanya sembari memandangi wajah Hasan. Wanita tua itu merasa, wajah Hasan tak seperti biasanya.

"Tak lah, Mak. Hasan sehat. Kenapa Mak?" 

"Mamak, tengok. Muka engkau macam lesu saja, pucat Mak rasa."

"Tadi malam, ngojek sampai tengah malam, Mak." Hasan memberi alasan yang memang benar adanya.

"Kenapalah sampai tengah malam? Angin malam tak baik buat badan engkau." 

"Berapa hari ini sepi Mak, kalau ngojek siang. Baru hari ini, Hasan lumayan dapatnya Mak."

"Alhamdulillah, kalau begitu."

"Tadi malam, Abang dapat langganan ojek baru Mak. Royal sekali orangnya. Abang dikasih lima ratus ribu," kata Sari ikut nimbrung pembicaraan mertua dan suaminya itu. 

'Kenapa Sari bilang Mamak?' batin Hasan. Padahal Hasan ingin, jangan ada yang tau soal Rosa. Dia takut akan banyak pertanyaan yang akan ditanyakan Mamaknya. Soalnya dia terlanjur janji sama Rosa, untuk merahasiakan tentang dirinya. 

"Hati-hati menerima pemberian tak wajar dari orang lain San. Apalagi orang yang tak engkau kenal." Nasehat Mamak Hasan. 

"Tak perlu lah terlalu curiga dengan kebaikan orang lain, Mak." 

"Bukan curiga Hasan. Tapi waspada lah sedikit. Hati Mamak nih, rasa tak tenang. Sejak semalam teringat engkau saja. Beruntung kalian datang hari ini. Kalau tidak, Mamak yang datang ke rumah kalian."

"Perasaan Mamak, saja itu. Mungkin karena Rehan yang demam kemarin. Atau, Mamak rindu dengan anak Mamak yang ganteng ini." 

"Oi, benarnya itu Sari. Sakit cucu Mamak kemarin?" tanya Mamak Hasan dengan suara dikuatkan pada Sari, menantunya yang sedang sibuk mencuci pakaian mertuanya di kamar mandi. Bermaksud agar Sari bisa mendengar suaranya.

"Iya, Mak. Alhamdulillah sudah sehat. Sudah Sari urut pakai minyak bawang," sahut Sari dari kamar mandi.

"Sukurlah, kenapa tak telepon si Ratna. Kan Mamak bisa datang sama Ratna." 

"Tak apalah Mak. Cuma demam saja. Kasihan juga Ratna, capek pulang kerja harus ke rumah lagi," kata Sari yang baru selesai membilas baju mertua dan adik iparnya.

Sari, memanglah menantu yang berbakti. Mamak Hasan tinggal satu atap dengan adik Hasan yang masih gadis. Tapi jam begini, biasanya adik Hasan, Ratna. Masih bekerja di sebuah pabrik yang cukup besar di kota mereka. 

Setiap datang ke rumah mertuanya. Sari selalu saja membersihkan rumah, juga mencucikan baju mertua dan adik iparnya. Dia yang yatim piatu, tak menganggap lagi Mamak Hasan sebagai mertuanya. 

"Kalian tidak ke rumah Pamanmu Sari?" 

Sari diam, tak lantas menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memilih ke halaman belakang untuk menjemur pakaian yang baru saja dicucinya. Rasanya enggan, bila dia singgah ke rumah pamannya. Masih jelas diingatan Sari. Penghinaan yang dilontarkan Paman dan Bibinya terhadap Hasan dan mertuanya.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status