"Abang langsung berangkat narik, ya," pamit Hasan pada Sari ketika mereka sudah sampai di rumah."Iya, jangan malam sekali pulangnya ya Bang. Entah kenapa, perasaan Adek gak enak." "Adek ini, kayak orang gak punya iman aja. Perasaan gak enak, mungkin karena Adek mau ke belakang." "Nggak kok. Bukan mules. Jantung Adek rasanya berdebar-debar." "Udah, gak usah dipikirin. Doakan aja yang baik-baik. Tidur duluan, gak usah nunggu Abang. Adek harus banyak istirahat. Kan, seharian capek ngurusin Rehan, juga yang di perut semakin besar," kata Hasan penuh perhatian pada istrinya itu."Ayah pergi kerja, ya Nak. Cepat bobok ya." Hasan mencium pipi Rehan juga Sari. "Kunci pintunya, Dek," pesan Hasan, sebelum motornya mulai melaju menuju ke pangkalan ojek lagi. "Kemana si Budi tadi?" Hasan bergumam sendiri, saat mendapati pangkalan ojek kosong. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, waktu belum lagi menunjukkan angka sepuluh. Hasan duduk sendirian di pos ronda itu. Diambilnya gawai dari sak
Suasana di pinggir sungai, sontak ramai. Kabar berita tentang hilangnya Samun langsung tersebar ke seluruh kampung. Masyarakat berduyun-duyun datang untuk menyaksikan langsung proses pencarian Samun. Pihak berwajib dan Tim Sar turut dikerahkan. Tim Sar membentuk ombak buatan di sekitar lokasi Samun menghilang, dengan harapan mayat Samun yang tenggelam akan muncul ke permukaan. Begitulah asumsi sementara, Samun kemungkinan tenggelam ke dasar sungai. "Coba tanya ke orang pintar. Siapa tau mayatnya disembunyikan hantu sungai.""Sungai ini sudah lama gak makan korban, mungkin si Samun jadi tumbal." "Dulu pernah ada juga orang hilang di sini, katanya penghuni sungai ini manusia ular." "Barangkali dia mau menyeberang, makanya dia buka baju.""Mungkin tadi malam tiba-tiba ada pusaran air, makanya Samun tenggelam.""Bisa jadi, orang yang pandai berenang sekalipun tak bisa keluar dari pusaran air."Berbagai macam komentar bermunculan, dari orang-orang yang menyaksikan. Masing-masing dari m
"Kenapa kau kejam sekali Sanca? Apa kau tak kasihan melihat istri dan anak laki-laki tadi?" "Tak usah kau menasehati aku Rosa. Tak ada bedanya dengan engkau. Engkau pun berusaha merebut hati laki-laki bernama Hasan kan?" "Kita berbeda Sanca aku sungguh-sungguh mencintai Bang Hasan. Tapi kau, kau hanya ingin melampiaskan nafsumu saja. Seharusnya, tak perlu kau membuatnya mati. Anaknya masih kecil!" "Bedanya dimana Rosa? Kalaupun kau tak membunuh si Hasan, tetap saja kau ingin memisahkan dia dari anak istrinya. Bahkan kau lebih kejam. Kalau aku, paling tidak, aku membiarkan mereka menemukan jasad laki-laki itu. Sementara kau! Kalau nanti si Hasan itu tergila-gila padamu. Dia pun akan lupa pada anak istrinya. Bukankah lebih menyakitkan? Melihat suami masih bernyawa, tapi tak mengingat istrinya!" tukas Sanca, mendebat Rosa.Makhluk bertubuh setengah ular itu merayap pergi menjauhi Rosa yang masih terpekur di rimbunan pohon bambu yang besar. Rosa tak bisa menampik kata-kata Sanca. Manak
"Tolong, Bibi bantu bicara dengan Ayah. Agar memberi restu pada Rosa. Rosa lebih tenang mendekati Bang Hasan kalau Ayah memberi restu." "Mana mungkin Ayahmu mau mendengar Bibi. Dia pasti masih marah dengan Bibi, karena dulu lebih memilih Pamanmu daripada menikah dengan Panglima Derik." Ayah Rosa yang merupakan Raja dari siluman ular, memang pernah menjodohkan Nyi Baisucen dengan panglima Derik, panglima kerajaan ular. Tapi ditolak oleh Nyi Baisucen, bukan hanya karena dia sudah jatuh cinta pada manusia bernama Hanif. Namun juga mengingat tabiat buruk Panglima Derik, yang suka bercinta dengan banyak siluman ular betina. "Cobalah dulu, Bi. Ayahkan sangat sayang sama Bibi. Makanya dulu Bibi diberi izin menikah dengan Paman." Rosa berusaha membujuk Nyi Baisucen. "Kenapa kau tak bicara langsung dengan Ayahmu. Kau kan, anak kesayangannya?" "Rosa tak berani, Bi. Rosa takut Ayah akan murka. Ya Bi, tolong Rosa. Rosa bisa mati merana kalau Bang Hasan tak berhasil Rosa miliki," kata Rosa pe
"Apa yang ingin Bibi Bai bicarakan dengan Ayah? Tumben sekali. Semenjak menikah dengan manusia, tak pernah lagi dia berhubungan dengan kaum kita. Pasti yang ingin dibicarakan, adalah sesuatu yang sangat penting," tanya Sanca pada Rosa, saat sudah keluar dari ruangan singgasana Tuan Anaconda.Dengan wujud siluman ular, mereka berdua melingkar di tepian sungai. Memperhatikan banyak anak-anak kampung yang mandi di sungai. Tak ada yang bisa melihat mereka dengan mata telanjang.Mereka sudah hafal wajah anak-anak kampung yang biasa mandi di sungai, sehingga tak mengganggunya. Beberapa kali Sanca, melempar batu kerikil kecil pada anak-anak yang berenang semakin ke tengah hingga mendekati lubuk yang dalam. Anak yang dilempar akan merasa kebingungan, biasanya akan kembali berbaur dengan teman-temannya. Bila tidak, Sanca tidak akan berhenti melemparinya dengan kerikil."Kenapa kau usil sekali mengganggu anak itu? Biarkan saja mereka," kata Rosa. Beruntung ada bahan pembicaraan untuk mengalihka
"Putri Rosa, dipanggil Tuanku Anaconda." Seorang prajurit kerajaan Siluman Ular memanggil Rosa yang masih memandangi kepergian Nyi Baisucen. "Rosa saja prajurit? Aku tidak?" tanya Sanca, sedikit menyelidik."Maaf Putri Sanca. Tuanku hanya memanggil Putri Rosa," kata prajurit itu agak membungkukkan tubuhnya. Sanca melengos, kembali melingkar di tepian sungai dengan wajah cemberut. Hatinya sangat penasaran, apa gerangan yang terjadi di dalam tadi? Sehingga Ayahnya memanggil Rosa setelah Bibinya pergi.Dengan jantung berdebar, Rosa masuk kembali ke rimbunan pohon bambu. Tampak di pandangan mata manusia, memang lah hanya berupa rimbunan pohon bambu belaka. Tapi tidak di mata para bangsa siluman. Dibalik rimbunan pohon itu terdapat sebuah istana siluman yang sangat megah. Pohon bambu itu, layaknya gerbang penghubung antara dunia manusia dan dunia siluman."Ayah," panggil Rosa dengan suara yang pelan pada Ayahnya yang melingkar dengan posisi kepala membelakangi pintu masuk. Sehingga dia t
Sari merasa sangat gelisah malam ini, sejak siang tadi dia merasakannya. Pikirannya tak tenang, selalu teringat pada Hasan, suaminya. Berulangkali dia istighfar untuk mengurangi kegundahannya, tetap tak bisa. Hatinya terus saja berdebar. Dia pun tak mengerti kenapa dia begitu gelisah."Ah, itu Abang pulang,* gumamnya ketika mendengar suara motor Hasan sudah sampai ke teras rumahnya. "Yok, sayang. Ayah udah pulang," kata Sari menggandeng tangan Rehan yang baru selesai dia mandikan.Rehan langsung berlari, melepaskan tangannya dari gandengan Sari. Lebih dulu menuju ke pintu rumahnya. Tanpa menunggu Hasan mengetuk pintu, Sari lebih dulu membukanya untuk suaminya."Ayah." Rehan sangat girang langsung berlari menuju pada Hasan."Eh, anak Ayah. Udah mandi, udah ganteng dia. Udah makan apa belom?" Hasan langsung meraih tubuh Rehan ke dalam gendongannya. "Udah.""Waah, makan pake apa?" "Telong dadang," kata Rehan lucu dengan logatnya yang masih cadel."Sama Bunda dulu ya. Ayah mau mandi."
"Astaga! Kenapa bisa pecah begini cerminnya?" tanya Hasan yang terkejut melihat banyak serpihan kaca dari cermin yang pecah. Hasan melihat sebuah cermin besar yang menempel di dinding rumah Rosa, pecah berkeping-keping."Tadi tiba-tiba kepalaku pusing Bang, nggak sengaja tubuhku limbung ke arah cermin," kata Rosa yang masih dalam posisi terkulai lemas di dinding. "Sabar di situ, biar Abang bersihkan dulu ini. Mana sapunya?" tanya Hasan dengan mata celingukan."Biar aja Bang. Besok yang biasa bersih-bersih rumah juga datang. Tolong angkat aku ke kamar Bang. Badanku lemas sekali," minta Rosa.Hasan agak sedikit ragu untuk menggendong Rosa. Dia takut Rosa berpikir yang tidak-tidak, juga untuk menjaga akan terjadi sesuatu yang buruk. Dia takut kalau para penghuni komplek perumahan ini menganggapnya, lancang masuk ke rumah seorang perempuan yang tinggal sendiri."Tolong Bang," rengek Rosa."I–iya." Mau tak mau Hasan menolong Rosa juga. Tak ada pilihan lain juga. Setelah memindahkan tubuh