Sampai di tempat pancingnya terpacak, alangkah terkejutnya Hasan melihat banyak ikan menggelupur di dekat jorannya. Senyumnya mengembang seketika. Cepat-cepat ditangkapnya ikan-ikan yang menggelupur itu dan memasukkan ke kantong jaring miliknya. Rosa tersenyum puas, melihat pujaan hatinya girang bukan kepalang melihat banyaknya ikan yang bisa dibawa pulang.
Hasan sampai terlupa akan keganjilan yang baru saja dirasakannya. Tentang pasar malam, dan juga orang-orang yang ada di sana. Bahkan dia sendiri tak merasa aneh tentang ikan-ikan yang begitu banyak menggelupur di pinggiran sungai, saking senangnya. Akhirnya dia bisa menepati janji pada Rehan. Bahkan ikan ini lebih banyak dari bayangannya. Sampai kantong jaring miliknya penuh sesak dengan ikan sungai.
"Rezekiku sedang bagus malam ini." Hasan bergumam pada dirinya sendiri. Senyum bahagia terus mengembang di wajahnya.
"Rosa, Abang mau pulang. Kamu mau diantar sekalian?" tanya Hasan pada Rosa yang duduk di atas motornya, menunggu Hasan yang asik menangkap ikan-ikan yang menggelupur.
Dia tersenyum puas, melihat Hasan yang girang menangkap ikan-ikan yang naik ke atas daratan itu.
"Rosa belum mau pulang, Bang. Mau balik ke pasar malam. Tadi belum sempat menikmati permainan yang ada di sana."
"Abang minta maaf ya. Gara-gara Abang mau pulang, kamu jadi ikut keluar dari pasar malam itu." Hasan merasa bersalah juga dengan Rosa. Gara-gara dia mau pulang, Rosa jadi tak bisa menikmati permainan yang ada di pasar malam.
Tapi dia merasa benar-benar tak nyaman berada di pasar malam itu. Hanya saja tak ada rasa takut sedikitpun. Padahal kalau saja dia sendirian tentu dia akan bergidik ngeri melihat tatapan dingin orang-orang yang ada di sana. Bahkan tak ada satu pun orang yang dikenalnya. Paling tidak pernah melihat wajahnya. Padahal sungai itu tak terlalu jauh dari rumahnya. Hasan tak menyadari hal itu, karena dia bersama Rosa.
Sementara di rumah, Sari terus merasa khawatir. Sampai hampir pagi suaminya tak pulang-pulang. Padahal dari hari masih sore, Hasan sudah pergi memancing. Biasanya tak pernah sampai selama ini, kalau Hasan memancing. Paling tengah malam, sudah pulang. Berulangkali dia melongok ke pintu rumahnya. Barangkali bisa mendengar deru mesin motor suaminya.
"Kok lama sekali si Abang. Apa Abang jatuh ke sungai? Astaghfirullah, ya Allah, buang pikiran buruk ini." Sari terus beristighfar manakala memikirkan sesuatu yang buruk berlaku atas suaminya.
Sari mengambil wudhu. Tahajud menjadi pilihannya untuk menenangkan hatinya yang gundah gulana. Yang sejak tadi tak henti memikirkan suaminya. Pikiran Sari terus saja melayang ke Hasan. Ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya, manakala memikirkan laki-laki yang dicintainya itu.
Usai tahajud, tak juga didengarnya suara motor Hasan. Dilihatnya jam di dinding papan rumahnya. Sudah hampir jam empat pagi. Sebentar lagi Subuh. Tapi Hasan belum pulang juga. Mau menelepon Hasan, Sari tak punya hape. Hape mereka hanya ada satu. Itu pun selalu dibawa Hasan.
Sari melipat kembali mukena dan sarung sholatnya. Dibelainya rambut Rehan anaknya. Untuk mengurangi rasa cemasnya. Namun tetap saja rasa itu betah berlama-lama di hatinya. 'Kalau sampai pagi, Abang tak pulang. Aku akan mencarinya ke sungai,' batin Sari.
Baru lagi pikiran itu melintas dipikirannya. Sari mendengar suara sepeda motor Hasan. Cepat-cepat dibukanya pintu, tanpa menunggu Hasan mengetuk pintu dahulu. Hatinya langsung tenang, manakala melihat suaminya pulang dengan keadaan baik-baik saja.
"Cepat sekali bangunnya, Dek?" tanya Hasan saat melihat Sari sudah membuka pintu dengan lebar. Tangannya sibuk menurunkan ikan yang begitu banyak di dalam kantong jaringnya.
"Udah tidur tadi, tapi terbangun. Karna Abang gak pulang-pulang. Banyak sekali ikannya, Bang?"
"Iya, tadi banyak ikan yang naik ke darat. Mungkin terikut air yang pasang," jawab Hasan dengan membawa masuk ikan-ikan itu, diikuti Sari di belakangnya.
"Baru juga Abang sebentar memancing. Sudah dibilang gak pulang-pulang," kata Hasan seraya mencuci tangannya dengan sabun.
Sari membuatkan segelas teh manis panas, diletakkannya beberapa irisan jahe. Agar Hasan tidak masuk angin, sehabis pulang memancing.
"Mana Abang sebentar, lihatlah. Sudah mau Subuh sekarang," sahut Sari, dia sudah duduk duluan di kursi meja makan mereka yang sederhana.
Mereka berbicara dengan suara yang sangat pelan, takut didengar Rehan juga tetangga kiri kanan. Sungkan kalau suara mereka sampai mengganggu tidur tetangga.
Hasan duduk di sebelah Sari. Dituangnya teh manis ke atas piring untuk mengurangi uap panasnya. Ditiupnya sedikit lalu diseruputnya. Lalu dituangnya lagi, dan menyerahkannya pada istrinya untuk ikut meminum teh jahe itu. Sari menerimanya dan menyeruputnya juga. Selalu begitu, bentuk perhatian kecil dari Hasan itu yang membuat Sari sangat mencintainya. Hasan selalu berbagi, apapun yang jadi bagiannya pada Sari. Seperti teh jahe yang dibuatkan Sari untuknya.
Hasan melirik jam di dinding. Benar kata Sari sudah pun jam empat. Perasaan Hasan dia hanya sebentar tadi. Di pasar malam tadi pun, paling hanya sekitar lima belas menit. Tapi kenapa bisa hampir pagi dia sampai di rumah. Hasan sendiri merasa bingung.
"Abang tadi ke pasar malam sebentar," kata Hasan. Tak ada salahnya kalau menceritakan perihal pasar malam pada Sari.
"Pasar malam? Dimana?" Sari merasa aneh.
"Di dekat sungai," jawab Hasan, dia kembali menikmati teh jahenya.
"Kok suaranya tak terdengar sampai ke sini. Biasanya kalau ada pasar malam, pasti tetangga pada heboh mau kesana. Ini tak ada yang cerita pun." Sari masih merasa bingung dengan cerita Hasan. Jarak dari sungai tak begitu jauh. Kalau ada pasar malam, pastilah akan sayup-sayup terdengar keriuhannya.
"Mungkin belum ada yang tau. Abang aja taunya karena mancing tadi."
"Kalau begitu, nanti malam kita kesana ya Bang. Habis Magrib saja." Sari jadi antusias ingin kesana. Sudah lama dia tak mengajak Rehan bermain.
"Tapi sebentar saja ya. Soalnya langganan kemaren, minta dijemput nanti malam."
"Abang apa dengan dia?" Sari menyelidik.
"Nggak. Dia menelepon tadi." Hasan berkelit. Tak mungkin dia cerita sama Sari, kalau dia bersama Rosa, malam ini. Walaupun tidak ngapa-ngapain, Hasan sangat menjaga perasaan istrinya itu.
"Abang belum cerita. Langganan Abang itu, cowok apa cewek?"
"Kenapa, cemburu ya? Kalau cewek pun, Abang gak akan tergoda. Tetap istri Abang ini yang paling cantik di hati Abang. Apalagi anak sudah mau dua, buat apa lagi Abang cari yang lain." Hasan mengelus perut Sari yang mulai membesar. Diciumnya lembut pipi wanita terindahnya itu. Membuat pipi Sari bersemu merah.
"Ah, semua laki-laki sama saja. Kalau nampak perempuan cantik, imannya goyah juga." Sari cemberut, segera bangkit dari duduknya untuk menutupi semu merah yang ada di kedua pipinya.
Meski sudah lama berumah tangga, Hasan selalu saja memperlakukan Sari seperti mereka masih pengantin baru saja.
Hasan sigap memeluk Sari dari belakang. Diciuminya rambut panjang Sari yang wangi sampo, merambat ke leher Sari yang jenjang. Hinggga membuat Sari menggelinjang, menahan desir hasrat yang merambat perlahan.
"Percaya sama Abang. Sampai rambut Adek ini, jadi putih semua. Abang takkan mendua hati. Apalagi sampai meninggalkan Adek. Selama Adek pun tak berubah, tetap seperti sekarang. Mau menerima segala kekurangan Abang." Hasan mulai merayu. Rayuan yang bukan sekedar omong kosong belaka. Dia memang sangat mencintai Sari, dan tak terlintas niat untuk mengkhianatinya.
Dibalikkannya tubuh Sari, menjadi berhadapan dengannya. Didekatkan wajahnya ke Sari, dipagutnya lembut bibir yang selalu ranum tanpa polesan lipstik itu. Sari berusaha mengimbangi perlakuan Hasan. Mereka saling memadu kasih dengan hasrat yang menggelora.
Tanpa mereka sadari, ada satu sosok yang mengintip dari celah papan yang tak terlalu rapat. Dengan mata merah berkilat menahan cemburu, melihat dua insan yang sedang bergelung dalam kenikmatan ragawi.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Bang mandilah dulu. Sudah mau azan Subuh. Sudah sholat, baru tidur lagi," kata Sari pada Hasan yang langsung tidur menelungkup setelah menunaikan hasratnya. "Abang ngantuk, udah gak tahan lagi," sahut Hasan dengan suara yang nyaris tak terdengar. Dia sudah hampir kehilangan kesadarannya, karena kantuk berat yang mendera kedua matanya. "Sebentar saja. Mandilah dulu, biar sedikit segar mata Abang." Sari tetap merayu, namun hanya dibalas dengan dengkuran halus yang keluar dari mulut Hasan. Sari hanya bisa menggeleng melihat tingkah suaminya. Entah kapan hidayah akan datang pada suaminya itu. Suara azan mulai dikumandangkan. Sari bergegas menuju ke kamar mandi, untuk membersihkan dirinya dari hadats besar. Dan segera menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dia tetap tak lupa mendoakan dan memohonkan hidayah buat Hasan. Sari membagi ikan-ikan yang dibawa Hasan ke dalam beberapa kantong plastik. Dia berniat ingin berbagi rezeki pada jiran tetangga kiri kanannya. Sebelum dia m
"Mana pasar malamnya, Bang?" tanya Sari celingukan, karena tak mendapati ada pasar malam. Bahkan bekas-bekasnya pun tak ada. Biasanya akan banyak sampah berserakan selepas pasar malam bubar, dan seluruh arena permainan dibongkar."Iya ya. Kok gak ada?" Hasan kebingungan sendiri. Digaruknya kepalanya yang tak gatal. Jelas-jelas semalam dia melihat ada pasar malam di sini, pikirnya. Tapi sekarang tak ada tampak jejaknya. "Balik aja lah Bang. Banyak nyamuk. Kasian Rehan." Hasan mengikuti Sari yang jalan di depannya. Benaknya masih kebingungan, kenapa pasar malam yang tadi malam dilihatnya tak ada lagi?"Abang mancing di sebelah mana semalam?" tanya Sari, ketika pa*t*tnya mulai didudukkan di atas motor Hasan. Hasan pun mulai akan melajukan motornya. "Di sebelah sana." Hasan menunjuk rerimbunan pohon bambu di arah belakang yang tak jauh dari tempat mereka berada saat ini."Ih, serem amat. Abang gak takut?" tanya Sari. Motor Hasan mulai melaju perlahan. Jalan di tepian sungai itu agak s
"Abang langsung berangkat narik, ya," pamit Hasan pada Sari ketika mereka sudah sampai di rumah."Iya, jangan malam sekali pulangnya ya Bang. Entah kenapa, perasaan Adek gak enak." "Adek ini, kayak orang gak punya iman aja. Perasaan gak enak, mungkin karena Adek mau ke belakang." "Nggak kok. Bukan mules. Jantung Adek rasanya berdebar-debar." "Udah, gak usah dipikirin. Doakan aja yang baik-baik. Tidur duluan, gak usah nunggu Abang. Adek harus banyak istirahat. Kan, seharian capek ngurusin Rehan, juga yang di perut semakin besar," kata Hasan penuh perhatian pada istrinya itu."Ayah pergi kerja, ya Nak. Cepat bobok ya." Hasan mencium pipi Rehan juga Sari. "Kunci pintunya, Dek," pesan Hasan, sebelum motornya mulai melaju menuju ke pangkalan ojek lagi. "Kemana si Budi tadi?" Hasan bergumam sendiri, saat mendapati pangkalan ojek kosong. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, waktu belum lagi menunjukkan angka sepuluh. Hasan duduk sendirian di pos ronda itu. Diambilnya gawai dari sak
Suasana di pinggir sungai, sontak ramai. Kabar berita tentang hilangnya Samun langsung tersebar ke seluruh kampung. Masyarakat berduyun-duyun datang untuk menyaksikan langsung proses pencarian Samun. Pihak berwajib dan Tim Sar turut dikerahkan. Tim Sar membentuk ombak buatan di sekitar lokasi Samun menghilang, dengan harapan mayat Samun yang tenggelam akan muncul ke permukaan. Begitulah asumsi sementara, Samun kemungkinan tenggelam ke dasar sungai. "Coba tanya ke orang pintar. Siapa tau mayatnya disembunyikan hantu sungai.""Sungai ini sudah lama gak makan korban, mungkin si Samun jadi tumbal." "Dulu pernah ada juga orang hilang di sini, katanya penghuni sungai ini manusia ular." "Barangkali dia mau menyeberang, makanya dia buka baju.""Mungkin tadi malam tiba-tiba ada pusaran air, makanya Samun tenggelam.""Bisa jadi, orang yang pandai berenang sekalipun tak bisa keluar dari pusaran air."Berbagai macam komentar bermunculan, dari orang-orang yang menyaksikan. Masing-masing dari m
"Kenapa kau kejam sekali Sanca? Apa kau tak kasihan melihat istri dan anak laki-laki tadi?" "Tak usah kau menasehati aku Rosa. Tak ada bedanya dengan engkau. Engkau pun berusaha merebut hati laki-laki bernama Hasan kan?" "Kita berbeda Sanca aku sungguh-sungguh mencintai Bang Hasan. Tapi kau, kau hanya ingin melampiaskan nafsumu saja. Seharusnya, tak perlu kau membuatnya mati. Anaknya masih kecil!" "Bedanya dimana Rosa? Kalaupun kau tak membunuh si Hasan, tetap saja kau ingin memisahkan dia dari anak istrinya. Bahkan kau lebih kejam. Kalau aku, paling tidak, aku membiarkan mereka menemukan jasad laki-laki itu. Sementara kau! Kalau nanti si Hasan itu tergila-gila padamu. Dia pun akan lupa pada anak istrinya. Bukankah lebih menyakitkan? Melihat suami masih bernyawa, tapi tak mengingat istrinya!" tukas Sanca, mendebat Rosa.Makhluk bertubuh setengah ular itu merayap pergi menjauhi Rosa yang masih terpekur di rimbunan pohon bambu yang besar. Rosa tak bisa menampik kata-kata Sanca. Manak
"Tolong, Bibi bantu bicara dengan Ayah. Agar memberi restu pada Rosa. Rosa lebih tenang mendekati Bang Hasan kalau Ayah memberi restu." "Mana mungkin Ayahmu mau mendengar Bibi. Dia pasti masih marah dengan Bibi, karena dulu lebih memilih Pamanmu daripada menikah dengan Panglima Derik." Ayah Rosa yang merupakan Raja dari siluman ular, memang pernah menjodohkan Nyi Baisucen dengan panglima Derik, panglima kerajaan ular. Tapi ditolak oleh Nyi Baisucen, bukan hanya karena dia sudah jatuh cinta pada manusia bernama Hanif. Namun juga mengingat tabiat buruk Panglima Derik, yang suka bercinta dengan banyak siluman ular betina. "Cobalah dulu, Bi. Ayahkan sangat sayang sama Bibi. Makanya dulu Bibi diberi izin menikah dengan Paman." Rosa berusaha membujuk Nyi Baisucen. "Kenapa kau tak bicara langsung dengan Ayahmu. Kau kan, anak kesayangannya?" "Rosa tak berani, Bi. Rosa takut Ayah akan murka. Ya Bi, tolong Rosa. Rosa bisa mati merana kalau Bang Hasan tak berhasil Rosa miliki," kata Rosa pe
"Apa yang ingin Bibi Bai bicarakan dengan Ayah? Tumben sekali. Semenjak menikah dengan manusia, tak pernah lagi dia berhubungan dengan kaum kita. Pasti yang ingin dibicarakan, adalah sesuatu yang sangat penting," tanya Sanca pada Rosa, saat sudah keluar dari ruangan singgasana Tuan Anaconda.Dengan wujud siluman ular, mereka berdua melingkar di tepian sungai. Memperhatikan banyak anak-anak kampung yang mandi di sungai. Tak ada yang bisa melihat mereka dengan mata telanjang.Mereka sudah hafal wajah anak-anak kampung yang biasa mandi di sungai, sehingga tak mengganggunya. Beberapa kali Sanca, melempar batu kerikil kecil pada anak-anak yang berenang semakin ke tengah hingga mendekati lubuk yang dalam. Anak yang dilempar akan merasa kebingungan, biasanya akan kembali berbaur dengan teman-temannya. Bila tidak, Sanca tidak akan berhenti melemparinya dengan kerikil."Kenapa kau usil sekali mengganggu anak itu? Biarkan saja mereka," kata Rosa. Beruntung ada bahan pembicaraan untuk mengalihka
"Putri Rosa, dipanggil Tuanku Anaconda." Seorang prajurit kerajaan Siluman Ular memanggil Rosa yang masih memandangi kepergian Nyi Baisucen. "Rosa saja prajurit? Aku tidak?" tanya Sanca, sedikit menyelidik."Maaf Putri Sanca. Tuanku hanya memanggil Putri Rosa," kata prajurit itu agak membungkukkan tubuhnya. Sanca melengos, kembali melingkar di tepian sungai dengan wajah cemberut. Hatinya sangat penasaran, apa gerangan yang terjadi di dalam tadi? Sehingga Ayahnya memanggil Rosa setelah Bibinya pergi.Dengan jantung berdebar, Rosa masuk kembali ke rimbunan pohon bambu. Tampak di pandangan mata manusia, memang lah hanya berupa rimbunan pohon bambu belaka. Tapi tidak di mata para bangsa siluman. Dibalik rimbunan pohon itu terdapat sebuah istana siluman yang sangat megah. Pohon bambu itu, layaknya gerbang penghubung antara dunia manusia dan dunia siluman."Ayah," panggil Rosa dengan suara yang pelan pada Ayahnya yang melingkar dengan posisi kepala membelakangi pintu masuk. Sehingga dia t