"Kenapa kau diam, Sari? Tak mau engkau ke rumah si Fudin? Ada apa rupanya? Cerita sama Mamak. Sini lah duduk, jangan bekerja saja kerjamu. Sudah bersih pun rumah ini." Mamak Hasan mencecar Sari yang sibuk menyapu rumah mertuanya itu.
"Mumpung Rehan tidur, Mak," alasan Sari.
Sari memang sengaja menghindar dari mertuanya. Kalau hanya untuk membahas tentang dirinya yang malas ke rumah pamannya. Hasan sebenarnya tak begitu ambil pusing. Tapi Sari yang berperasaan sendiri.
"Kau masih marah dengan si Fudin, pasal cakapnya yang dulu itu? Sudahlah, tak usah dibawa dendam. Sudah pun lama berlalu. Dulu pun karena memang salah Hasan juga. Sudah buat malu keluarga Pamanmu. Kau kan tau, si Fudin itu termasuk orang terpandang di kampung ini. Wajar saja dia marah. Jangankan orang seperti dia. Kalau Ratna seperti itu pun, pasti Mamak marah." Mamak Hasan terus menyerocos.
Sari menghentikan aktifitasnya. Lalu mengambil posisi duduk di sebelah mertuanya yang lebih suka duduk di atas tikar. Dibelainya lembut kepala Rehan yang tidur pulas di atas pangkuan neneknya.
Hati Sari merasa tak nyaman kalau membahas masa lalunya dengan Hasan. Terutama hal yang membuatnya harus menikah muda dengan Hasan. Kalau diingatnya pun, dia merasa malu karena telah melakukan dosa yang sangat besar.
"Sari pindahkan Rehan ke kamar dulu, ya Mak," kata Sari. Digendongnya anaknya itu, dibawanya ke dalam kamar mertuanya. Diletakkannya pelan-pelan tubuh Rehan di atas tilam kapuk milik mertuanya. Keluar dari kamar, dia mengambil posisi duduk lagi di sebelah mertuanya.
"Mamak benar, Dek. Sejak menikah, kita tak pernah lagi kerumah Paman Fudin. Nanti kita singgah kesana sebentar ya," kata Hasan sambil mengemil biskuit yang memang mereka bawa untuk Mamak Hasan.
"Kapan-kapan aja lah, Bang," jawab Sari, dia masih enggan bertemu dengan Pamannya itu.
"Kenapa kali ini kau keras hati, Sari? Tak baik menyimpan benci di hati. Cuma dia keluargamu. Dia marah, sebab sayang dengan engkau." Mamak Hasan tetap berusaha memberi nasehat sama menantunya itu.
"Sari tak benci dengan Paman Fudin, Mak. Tapi saat ini, Sari belum siap berjumpa dengannya. Lagi pula, Rehan baru sehat. Takkan kami berlama-lama di sini. Kalau singgah ke rumah Paman, bisa sampai malam baru sampai rumah. Sari takut, Rehan terkena angin malam. Bagaimana kalau nanti Rehan sakit lagi?"
Mamak Hasan akhirnya mengerti dan menganggap alasan Sari cukup masuk akal. Wanita paruh baya itu pun, tak ingin cucunya sakit lagi.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Abang pergi mancing di sungai ya," kata Hasan berpamitan pada Sari. Sudah ada joran ditangannya. Padahal mereka baru beberapa menit saja sampai di rumah kontrakan mereka. Sepulang dari rumah Mamak Hasan tadi.
"Sudah jam enam, Bang.Tak usah lah lagi kemana-mana. Istirahat aja. Dari semalam kurang istirahat. Tadi pun di rumah Mamak, tak ada juga tidur siang. Biar besok bisa bangun pagi-pagi." Sari mencoba mencegah Hasan. Dia khawatir suaminya akan jatuh sakit, karena kurang istirahat. Apalagi kata-kata Mamak Hasan tadi, ada benarnya. Wajah Hasan memang nampak sedikit pucat.
"Abang sudah janji sama Rehan, mau memancing ikan untuknya."
Hasan memang tipikal orang yang selalu berusaha menepati janjinya. Apalagi kali ini, janji itu terlontar untuk buah hati tercinta.
"Beli aja ikan lele besok." Sari mencoba mengajukan satu solusi. Namun Hasan tak setuju.
"Lebih segar hasil mancing." Sepertinya percuma membujuk Hasan untuk tak pergi memancing. Hasan selalu saja ada jawaban.
"Ya sudah lah, kalau begitu. Tapi sudah mau Maghrib, sholatlah dulu," kata Sari. Namun Hasan tak lagi mengindahkan kata-kata Sari. Dia langsung saja menstater sepeda motornya. Sari hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Hasan.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Hasan memilih tempat yang airnya agak tenang. Menurut Hasan di situ banyak ikannya. Diparkirkan motornya di bawah rimbunan pohon bambu. Mulai dipasangnya umpan ke kail dan mencari posisi yang pas untuk mulai memancing.
Tak ada sedikitpun rasa takut di benak Hasan. Padahal tempatnya berada saat ini begitu menyeramkan. Banyak rimbunan pohon bambu juga pohon-pohon besar yang sengaja dibiarkan tumbuh perkasa. Untuk menahan pinggiran sungai dari erosi. Apalagi hari mulai gelap, juga sedikit gerimis. Sekarang memang lagi musim penghujan. Beruntung malam ini tak hujan, hanya gerimis kecil yang takkan membuat tubuh Hasan basah, karena rintik air terhalang rimbunan pohon bambu.
Sampai hari benar-benar gelap gulita. Hasan belum juga mendapatkan seekor pun ikan. Jangankan yang besar, bahkan sebesar teri pun tidak. Rasa kantuk mulai menyerang, Hasan sampai berulang kali menguap. Namun semangatnya belum kendor. Paling tidak, dapat seekor saja pun jadi. Untuk memenuhi janjinya pada sang buah hati.
Hasan berulang kali menyapu wajahnya dengan air sungai. Untuk sedikit menawarkan rasa kantuknya. Rokok pun sudah hampir tiga batang habis.
PLUNG
Seperti ada yang melempar batu ke sungai.
"Siapa itu?!" teriak Hasan yang terkejut. Dinyalakan senter ponselnya ke sekitar pinggiran sungai, hingga ke seberang sungai. Senyap, tak ada sesiapapun. Hanya terdengar suara kodok dan jangkrik.
Kantuk Hasan seketika menghilang, dia mulai waspada. Pikirannya sudah tak fokus lagi pada pancingannya. Matanya sesekali melirik ke sekitar tempat itu.
Blubukblubukblubuk.
Suara apa itu? Hasan mulai menajamkan pendengarannya. Diarahkan lagi senter ke sekitar tempat itu. Sampai lampu senternya menyorot ke arah tengah sungai.
Hasan memperhatikan dengan seksama. Apa itu? Hasan melihat air sungai seperti menggelegak. Tapi hanya di satu titik saja. Lama-lama semakin membesar hingga seperti membentuk pancuran.
Rasa takut mulai menyergap diri Hasan. Tapi rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya. Dia terus saja memperhatikan ke arah air yang membentuk pancuran di tengah-tengah sungai itu. Hanya dengan penerangan yang minim dari senter ponselnya. Mata Hasan membeliak, melihat ada sesuatu yang muncul dari dalam air yang memancur itu.
Tanpa aba-aba, dia ambil langkah seribu. Dia lari terpontang panting, hingga lupa akan sepeda motornya yang tertinggal. Hasan terus berlari, hingga tanpa sadar dia menabrak seseorang.
"Maaf maaf," katanya agak tergagap dan terengah-engah. Lalu terperangah saat melihat sosok di depannya.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Maaf maaf," katanya agak tergagap dan terengah-engah. Lalu terperangah saat melihat sosok di depannya. "Rosa!" katanya terkejut. Kenapa bisa, Rosa berada di tepian sungai di malam hari begini. "Loh, Bang Hasan! Abang kok di sini?" Pertanyaan yang seharusnya dilontarkan Hasan untuk Rosa, justru Rosa yang bertanya pada Hasan."Abang mancing tadi. Kamu kenapa di sini?""Kalau mancing, mana ikannya? Pancingannya juga gak ada," kata Rosa sengaja tak menjawab pertanyaan Hasan. 'Oh iya, masih disana,' batin Hasan. "Abang tinggal tadi. Abang mau cari cacing untuk umpan." Hasan beralasan. Tentunya dia malu juga, kalau ketahuan lari karena melihat sesuatu yang tak wajar. "Kamu belum jawab pertanyaan Abang tadi. Kenapa malam-malam ke sini?" Hasan bertanya lagi. "Aku mau ke pasar malam, Bang," jawab Rosa. Tentu saja membuat kening Hasan melipat. Dimana ada pasar malam di daerah sini? Pikirnya."Pasar malam? Dimana?" "Itu, disana," jawab Rosa menunjuk ke tempat yang tak jauh dari Hasan mem
Sampai di tempat pancingnya terpacak, alangkah terkejutnya Hasan melihat banyak ikan menggelupur di dekat jorannya. Senyumnya mengembang seketika. Cepat-cepat ditangkapnya ikan-ikan yang menggelupur itu dan memasukkan ke kantong jaring miliknya. Rosa tersenyum puas, melihat pujaan hatinya girang bukan kepalang melihat banyaknya ikan yang bisa dibawa pulang. Hasan sampai terlupa akan keganjilan yang baru saja dirasakannya. Tentang pasar malam, dan juga orang-orang yang ada di sana. Bahkan dia sendiri tak merasa aneh tentang ikan-ikan yang begitu banyak menggelupur di pinggiran sungai, saking senangnya. Akhirnya dia bisa menepati janji pada Rehan. Bahkan ikan ini lebih banyak dari bayangannya. Sampai kantong jaring miliknya penuh sesak dengan ikan sungai. "Rezekiku sedang bagus malam ini." Hasan bergumam pada dirinya sendiri. Senyum bahagia terus mengembang di wajahnya. "Rosa, Abang mau pulang. Kamu mau diantar sekalian?" tanya Hasan pada Rosa yang duduk di atas motornya, menunggu Ha
"Bang mandilah dulu. Sudah mau azan Subuh. Sudah sholat, baru tidur lagi," kata Sari pada Hasan yang langsung tidur menelungkup setelah menunaikan hasratnya. "Abang ngantuk, udah gak tahan lagi," sahut Hasan dengan suara yang nyaris tak terdengar. Dia sudah hampir kehilangan kesadarannya, karena kantuk berat yang mendera kedua matanya. "Sebentar saja. Mandilah dulu, biar sedikit segar mata Abang." Sari tetap merayu, namun hanya dibalas dengan dengkuran halus yang keluar dari mulut Hasan. Sari hanya bisa menggeleng melihat tingkah suaminya. Entah kapan hidayah akan datang pada suaminya itu. Suara azan mulai dikumandangkan. Sari bergegas menuju ke kamar mandi, untuk membersihkan dirinya dari hadats besar. Dan segera menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dia tetap tak lupa mendoakan dan memohonkan hidayah buat Hasan. Sari membagi ikan-ikan yang dibawa Hasan ke dalam beberapa kantong plastik. Dia berniat ingin berbagi rezeki pada jiran tetangga kiri kanannya. Sebelum dia m
"Mana pasar malamnya, Bang?" tanya Sari celingukan, karena tak mendapati ada pasar malam. Bahkan bekas-bekasnya pun tak ada. Biasanya akan banyak sampah berserakan selepas pasar malam bubar, dan seluruh arena permainan dibongkar."Iya ya. Kok gak ada?" Hasan kebingungan sendiri. Digaruknya kepalanya yang tak gatal. Jelas-jelas semalam dia melihat ada pasar malam di sini, pikirnya. Tapi sekarang tak ada tampak jejaknya. "Balik aja lah Bang. Banyak nyamuk. Kasian Rehan." Hasan mengikuti Sari yang jalan di depannya. Benaknya masih kebingungan, kenapa pasar malam yang tadi malam dilihatnya tak ada lagi?"Abang mancing di sebelah mana semalam?" tanya Sari, ketika pa*t*tnya mulai didudukkan di atas motor Hasan. Hasan pun mulai akan melajukan motornya. "Di sebelah sana." Hasan menunjuk rerimbunan pohon bambu di arah belakang yang tak jauh dari tempat mereka berada saat ini."Ih, serem amat. Abang gak takut?" tanya Sari. Motor Hasan mulai melaju perlahan. Jalan di tepian sungai itu agak s
"Abang langsung berangkat narik, ya," pamit Hasan pada Sari ketika mereka sudah sampai di rumah."Iya, jangan malam sekali pulangnya ya Bang. Entah kenapa, perasaan Adek gak enak." "Adek ini, kayak orang gak punya iman aja. Perasaan gak enak, mungkin karena Adek mau ke belakang." "Nggak kok. Bukan mules. Jantung Adek rasanya berdebar-debar." "Udah, gak usah dipikirin. Doakan aja yang baik-baik. Tidur duluan, gak usah nunggu Abang. Adek harus banyak istirahat. Kan, seharian capek ngurusin Rehan, juga yang di perut semakin besar," kata Hasan penuh perhatian pada istrinya itu."Ayah pergi kerja, ya Nak. Cepat bobok ya." Hasan mencium pipi Rehan juga Sari. "Kunci pintunya, Dek," pesan Hasan, sebelum motornya mulai melaju menuju ke pangkalan ojek lagi. "Kemana si Budi tadi?" Hasan bergumam sendiri, saat mendapati pangkalan ojek kosong. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, waktu belum lagi menunjukkan angka sepuluh. Hasan duduk sendirian di pos ronda itu. Diambilnya gawai dari sak
Suasana di pinggir sungai, sontak ramai. Kabar berita tentang hilangnya Samun langsung tersebar ke seluruh kampung. Masyarakat berduyun-duyun datang untuk menyaksikan langsung proses pencarian Samun. Pihak berwajib dan Tim Sar turut dikerahkan. Tim Sar membentuk ombak buatan di sekitar lokasi Samun menghilang, dengan harapan mayat Samun yang tenggelam akan muncul ke permukaan. Begitulah asumsi sementara, Samun kemungkinan tenggelam ke dasar sungai. "Coba tanya ke orang pintar. Siapa tau mayatnya disembunyikan hantu sungai.""Sungai ini sudah lama gak makan korban, mungkin si Samun jadi tumbal." "Dulu pernah ada juga orang hilang di sini, katanya penghuni sungai ini manusia ular." "Barangkali dia mau menyeberang, makanya dia buka baju.""Mungkin tadi malam tiba-tiba ada pusaran air, makanya Samun tenggelam.""Bisa jadi, orang yang pandai berenang sekalipun tak bisa keluar dari pusaran air."Berbagai macam komentar bermunculan, dari orang-orang yang menyaksikan. Masing-masing dari m
"Kenapa kau kejam sekali Sanca? Apa kau tak kasihan melihat istri dan anak laki-laki tadi?" "Tak usah kau menasehati aku Rosa. Tak ada bedanya dengan engkau. Engkau pun berusaha merebut hati laki-laki bernama Hasan kan?" "Kita berbeda Sanca aku sungguh-sungguh mencintai Bang Hasan. Tapi kau, kau hanya ingin melampiaskan nafsumu saja. Seharusnya, tak perlu kau membuatnya mati. Anaknya masih kecil!" "Bedanya dimana Rosa? Kalaupun kau tak membunuh si Hasan, tetap saja kau ingin memisahkan dia dari anak istrinya. Bahkan kau lebih kejam. Kalau aku, paling tidak, aku membiarkan mereka menemukan jasad laki-laki itu. Sementara kau! Kalau nanti si Hasan itu tergila-gila padamu. Dia pun akan lupa pada anak istrinya. Bukankah lebih menyakitkan? Melihat suami masih bernyawa, tapi tak mengingat istrinya!" tukas Sanca, mendebat Rosa.Makhluk bertubuh setengah ular itu merayap pergi menjauhi Rosa yang masih terpekur di rimbunan pohon bambu yang besar. Rosa tak bisa menampik kata-kata Sanca. Manak
"Tolong, Bibi bantu bicara dengan Ayah. Agar memberi restu pada Rosa. Rosa lebih tenang mendekati Bang Hasan kalau Ayah memberi restu." "Mana mungkin Ayahmu mau mendengar Bibi. Dia pasti masih marah dengan Bibi, karena dulu lebih memilih Pamanmu daripada menikah dengan Panglima Derik." Ayah Rosa yang merupakan Raja dari siluman ular, memang pernah menjodohkan Nyi Baisucen dengan panglima Derik, panglima kerajaan ular. Tapi ditolak oleh Nyi Baisucen, bukan hanya karena dia sudah jatuh cinta pada manusia bernama Hanif. Namun juga mengingat tabiat buruk Panglima Derik, yang suka bercinta dengan banyak siluman ular betina. "Cobalah dulu, Bi. Ayahkan sangat sayang sama Bibi. Makanya dulu Bibi diberi izin menikah dengan Paman." Rosa berusaha membujuk Nyi Baisucen. "Kenapa kau tak bicara langsung dengan Ayahmu. Kau kan, anak kesayangannya?" "Rosa tak berani, Bi. Rosa takut Ayah akan murka. Ya Bi, tolong Rosa. Rosa bisa mati merana kalau Bang Hasan tak berhasil Rosa miliki," kata Rosa pe